Merasa kesepian dalam momen-momen tertentu memang merupakan hal yang normal. Namun, tahukah kamu bahwa kini banyak orang yang mengalami loneliness epidemic? Istilah ini sendiri mengacu pada penyebaran dan pertumbuhan fenomena kesepian dalam kehidupan setiap orang yang secara signifikan kian menjadi masalah kesehatan publik. Loneliness epidemic digunakan untuk mendeskripsikan bertambahnya jumlah orang yang memiliki rasa terisolasi meskipun terhubung dengan berbagai komunitas atau lingkungan digital. Rasa kesepian ini dapat dirasakan secara emosional, psikologis, hingga secara fisik. Bahkan kondisi ini juga kerap diasosiasikan dengan berbagai masalah kesehatan.
Melansir CNN, berdasarkan survey yang dilakukan oleh Meta-Gallup, hampir 1 dari 4 orang dewasa pernah mengalami rasa kesepian yang mendalam. Pada survey terbarunya yang dilakukan di 142 negara, menemukan 24% orang berusia 15 tahun ke atas melaporkan sendiri merasa sangat atau cukup kesepian ketika menanggapi pertanyaan, "Seberapa kesepian yang dirasakan?"
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menyatakan kesepian sebagai ancaman kesehatan global yang mendesak. Seorang dokter beda umum dari Amerika Serikat yang bernama Dr. Vivek Murthy juga mengungkap bahwa dampak kematiannya setara dengan merokok 15 batang per hari. Tidak hanya itu saja, Murthy juga menjelaskan bahwa pada orang dewasa yang lebih tua, kesepian dapat diasosiasikan dengan peningkatan risiko demensia sebesar 50% dan peningkatan risiko arteri koroner atau stroke sebanyak 30%. Namun, apa sebenarnya yang mendasari loneliness epidemic ini?
Faktor-faktor penyebab loneliness epidemic
Dunia digital
Meskipun media sosial merupakan alat komunikasi digital yang menghubungkan banyak orang tanpa memandang jarak, yang mana setiap orang bebas berbagi cerita atau sisi kehidupan yang mereka inginkan untuk dilihat, kenyataannya hal ini justru sering membuat orang membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial. Perbandingan tersebut dapat menimbulkan rasa kurang percaya diri, yang membuat mereka merasa terasing, tidak terhubung, bahkan kesepian. Selain itu, kemajuan teknologi media sosial dan ruang digital juga turut membatasi interaksi langsung antar individu.
Perubahan struktur keluarga atau sosial
Perceraian atau kehilangan salah satu anggota keluarga dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami loneliness epidemic. Tidak hanya karena kurangnya anggota yang seharusnya memenuhi fungsi keluarga, namun adanya rasa rendah diri karena tidak memiliki keluarga yang utuh dan berfungsi dengan semestinya juga dapat membuat seseorang merasa terisolasi dengan dirinya dan masalah yang dihadapinya.
Pekerjaan dan gaya hidup
Pekerjaan remote, meskipun memberikan fleksibilitas, dapat menyebabkan isolasi karena mengurangi interaksi sosial langsung dengan rekan kerja dan membatasi kebersamaan tim yang biasanya terjadi di lingkungan kantor tradisional. Ditambah dengan jam kerja yang panjang dan tuntutan ekonomi yang meningkat, banyak orang menjadi sibuk dan stres dengan pekerjaan serta masalah keuangan, sehingga mereka cenderung mengabaikan hubungan pribadi dan memperburuk rasa kesepian.
Faktor emosional dan psikologis
Kondisi kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan gangguan kecemasan sosial sering kali menjadi penyebab sekaligus akibat dari kesepian. Penderita kondisi ini cenderung menarik diri dari interaksi sosial karena merasa tidak layak untuk terhubung dengan orang lain atau karena kesulitan dalam menjalin hubungan. Selain itu, individu yang introvert atau mengalami kecemasan sosial sering merasa lebih kesepian meskipun dikelilingi orang lain. Pola pikir negatif, seperti merasa tidak disukai atau yakin akan selalu kesepian, juga dapat memperburuk rasa kesepian dengan memperkuat keyakinan tersebut, sehingga mereka menghindari interaksi sosial dan semakin terisolasi.
Faktor lingkungan dan geografi
Tidak seperti perkotaan yang besar, daerah-daerah yang tidak terpusat kerap memiliki kesempatan yang lebih kecil dalam berinteraksi sosial, sehingga seseorang dapat mengalami isolasi secara geografis karena tidak terhubung secara langsung dengan kerabat, keluarga maupun komunitas sosial. Tidak hanya itu saja, hadirnya pandemi COVID-19 pada saat itu juga menghadirkan krisis sosial yang mengharuskan setiap individu untuk mengisolasi diri mereka dan mengurangi interaksi antar individu secara langsung. Hal ini tentunya dapat berekor pada perasaan kesepian yang mengganggu kesehatan mental.
Setiap orang memiliki cara dan reaksinya masing-masing terhadap perasaan kesepian. Mayoritas dari mereka cenderung menjadi lebih pendiam, sensitif, atau mudah marah. Oleh karena itu, terkadang kita perlu meluangkan waktu sejenak untuk merenungkan apa yang sedang terjadi dalam hidup kita. Selain itu, kita juga seringkali membutuhkan orang lain untuk memberi tahu jika ada perubahan dalam sikap atau cara kita bersosialisasi, agar kita bisa lebih memahami apakah kita sedang menghadapi perasaan kesepian.
(DIP/tim)