Kolagen merupakan salah satu kandungan yang kerap ditemukan dalam berbagai asupan, terlebih lagi untuk kecantikan. Mulai dari skincare hingga suplemen yang berbasis kolagen, mayoritas darinya selalu berhasil menarik perhatian para wanita. Bagaimana tidak, kolagen selalu diiming-imingkan dapat membuat seseorang menjadi awet muda, menjaga kulit tetap kencang di masa tua, hingga mendukung kesehatan tulang untuk jangka panjang. Melansir Forbes, permintaan untuk kolagen kian meroket setiap tahunnya dengan $3,5 miliar pada tahun 2018, hingga $9,12 miliar di tahun 2022. Bahkan, apabila angka ini terus meningkat, maka nilai permintaan untuk kolagen akan mencapai $20 miliar di tahun 2030.
Kolagen disebut-sebut sebagai produk ajaib yang dapat melakukan segalanya mulai dari menghilangkan tanda-tanda penuaan hingga meregenerasi tulang, mengobati luka bakar parah, dan membantu atlet yang cedera pulih lebih cepat. Tapi, bagaimana dengan buktinya? Meskipun manfaat kolagen bagi kesehatan masih belum terbukti, tingginya permintaan akan bahan yang sebagian besar bersumber dari kulit sapi ini faktanya telah memicu deforestasi, menggusur masyarakat adat, dan mendukung sistem pabrik peternakan.
Dari manakah asal kolagen?
Kolagen adalah protein struktural serat yang ditemukan di dalam tulang, kartilago, dan kulit semua mamalia, menjadikannya salah satu protein paling melimpah di bumi ini. Tubuh manusia secara alami memproduksi kolagen, karena protein ini sangat penting untuk kesehatan sendi, tulang, dan kulit secara keseluruhan. Namun, ketika produksi kolagen melambat seiring bertambahnya usia, kulit kehilangan elastisitas, dan massa tulang menurun—menyebabkan keriput dan tulang yang lebih lemah. Beberapa penyakit juga dapat menghambat kemampuan alami tubuh untuk membuat kolagen sendiri.
Bagi konsumen yang ingin melawan tanda-tanda penuaan atau menjaga kesehatan sendi dan tulang, sumber kolagen eksternal kini kian menjadi pusat perhatian. Namun, pembeli mungkin tidak menyadari bahwa kolagen yang ditemukan dalam suplemen dan produk kecantikan sebagian besar berasal dari kulit dan tulang hewan. Sebagian besar kolagen di pasaran diekstraksi dari kulit sapi, yang dipisahkan, dibersihkan, dan dihidrolisis, suatu proses yang menguraikan molekul kolagen panjang menjadi rantai yang lebih pendek yang disebut peptida, agar lebih mudah diserap oleh tubuh manusia. Setelah kolagen diekstraksi dan diubah menjadi bubuk putih halus, maka kolagen dapat dijual kepada salah satu dari banyak perusahaan di seluruh dunia yang membuat suplemen, minuman, dan produk kecantikan.
Kolagen seringkali disajikan sebagai hasil samping produksi daging peternakan massal. Perusahaan kolagen berbasis di Amerika Serikat seperti Vital Proteins (dimiliki oleh Nestlé) dengan bangga mempromosikan produk kolagen mereka sebagai cara berkelanjutan untuk mengurangi limbah-dengan memanfaatkan bagian-bagian hewan yang sudah disembelih yang seharusnya dibuang ke tempat pembuangan sampah atau dijadikan pakan hewan.
Namun, menyebut produk-produk ini sebagai "produk sampingan" mengabaikan peran penting mereka dalam menjaga agar peternakan hewan secara industri tetap menguntungkan. Produk sampingan bukanlah solusi berkelanjutan untuk masalah limbah yang meresahkan. Mereka adalah komponen yang menguntungkan dalam rantai pasokan peternakan massal. Sebuah laporan dari The Guardian dan Bureau of Investigative Journalism menemukan bahwa hingga seperempat pendapatan tahunan perusahaan pemotong daging berasal dari produk hewan non-daging. Selama masih ada pasar untuk produk seperti kulit dan kolagen, sistem peternakan massal akan tetap menguntungkan.
Lalu, apa hubungannya kenaikan minat masyarakat terhadap kolagen dengan dampak buruk terhadap lingkungan?
Tahukah kamu bahwa produksi ternak adalah salah satu sumber emisi metana terbesar di dunia dan peternakan sapi khususnya bertanggung jawab atas 80 persen deforestasi di hutan Amazon?
Pada awal tahun ini, penyelidikan oleh Bureau of Investigative Journalism mengungkapkan hubungan langsung antara produksi kolagen dan penghancuran hutan hujan Amazon. Seiring dengan meningkatnya permintaan kolagen dalam beberapa tahun terakhir, lebih banyak hutan hujan Brasil dihancurkan untuk memberi tempat bagi padang rumput sapi yang mengakibatkan pengusiran komunitas pribumi, menghancurkan daerah yang kaya akan biodiversitas, dan memperparah perubahan iklim. Penyelidikan ini juga mengaitkan perusahaan Amerika, Darling Ingredients, dengan setidaknya 2.600 kilometer persegi deforestasi. Darling Ingredients menyuplai kolagen ke Nestlé, yang memiliki Vital Proteins, merek populer untuk suplemen kolagen di Amerika Serikat.
Namun, apakah kolagen benar-benar bermanfaat untuk mencegah penuaan?
Terlepas dari klaim yang dinyatakan oleh perusahaan suplemen kolagen maupun produk kecantikan yang menggunakan kolagen sebagai kandungannya, penelitian mengenai kolagen untuk tubuh belum sepenuhnya jelas. Meskipun terdapat beberapa penelitian yang mengatakan bahwa kolagen dapat membuat kulit menjadi lebih elastis dan mencegah pengeriputan kulit, mayoritas dari penelitian-penelitian ini dibiayai oleh perusahaan kolagen dan perusahaan terkait.
Riset mengenai suplemen kolagen juga masih belum bisa benar-benar dibuktikan secara nyata karena kemampuan dari suplemen-suplemen tersebut untuk mencegah penuaan bisa juga disokong oleh mineral dan vitamin lain yang terkandung di dalam suplemen itu sendiri.
Dengan berbagai hal negatif yang menyelimuti proses produksi kolagen seperti deforestasi yang memusnahkan habitat hewan setempat, bukti yang masih terkesan abu-abu mengenai manfaat kolagen itu sendiri untuk tubuh manusia seharusnya menjadi pertanyaan besar mengapa hingga saat ini masih banyak konsumen yang terlena dengan buaian manfaat kolagen serta perusahaan-perusahaan yang memproduksinya secara masal.
(DIP/alm)