Kekerasan domestik yang kerap dialami oleh perempuan di Indonesia, maupun seluruh dunia kini kian bertambah jumlah kasusnya. Layaknya yang pernah dibahas sebelumnya, kekerasan domestik merupakan sebuah tindakan kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, serta intimidasi atau ancaman. Namun kerap kali, banyak korban yang memiliki kesulitan untuk keluar dari lingkungan atau hubungan yang mereka sadari dapat merusak mentalnya.
Salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan tentang korban kekerasan domestik adalah mengapa begitu banyak perempuan memilih untuk tinggal bersama pria yang secara kasar melukai mereka. Respon wanita yang mengalami kekerasan domestik dan terhadap para pelaku kekerasan sering membingungkan para profesional dan masyarakat umum. Respon ini termasuk mengungkapkan cinta kepada pelaku kekerasan, menyangkal atau meremehkan kekerasan, menyalahkan diri sendiri atas kekerasan, tetap tinggal bersama para pelaku kekerasan, kembali kepada mereka setelah melarikan diri, dan menolak untuk bersaksi melawan para pelaku.
Hal ini bisa disebut juga dengan Stockholm syndrome.
Sindrom Stockholm (SS) adalah kondisi psikologis yang tidak disengaja dialami korban kekerasan mulai merasakan simpati, ikatan emosional, dan solidaritas terhadap mereka yang melakukan kekerasan atau menahan mereka dalam situasi yang menindas. Istilah ini muncul pada tahun 1973 oleh psikolog Nils Bejerot setelah penculikan dan perampokan selama enam hari di Stockholm, Swedia.
"Sindrom Stockholm" dalam konteks kekerasan domestik adalah coping mechanism untuk bertahan dalam kekerasan yang terus-menerus di lingkungannya. Korban selalu memikirkan tentang kelangsungan hidupnya dan bagaimana mereka bisa mengendalikan lingkungan yang tidak dapat mereka kendalikan. Mereka merasakan kehampaan secara konstan, memisahkan diri dari sebagian diri mereka namun tetap berpegang pada realitas agar tidak terputus sepenuhnya. Mereka terus-menerus merencanakan strategi untuk bertahan secara emosional, dan untuk melakukannya, korban fokus pada kebaikan pelaku kekerasan daripada aksi kekerasan yang dilakukannya.
Lingkungan yang penuh tekanan juga membuat korban menjadi sulit melihat semuanya dengan jelas. Pelaku kekerasan biasanya menciptakan lingkungan yang bisa mengendalikan korban secara emosional dan fisik. Pelaku secara sistematis merencanakan untuk melemahkan korban secara psikologis dengan ancaman kekerasan secara terus-menerus. Sehingga, korban menjadi yakin bahwa dia harus tinggal bersama pelaku kekerasan untuk melindungi mereka dari kekerasan yang dialami. Setelah dia mendapatkan kendali atas korban dengan rasa takut akan kekerasan, dia mulai mengisolasi korban dari keluarganya, pekerjaannya, dan segala ancaman lain yang dilihat pelaku kekerasan sebagai kemungkinan untuk melihat realitas di luar dunianya.
Pengasingan atau isolasi adalah salah satu poin kunci dalam metode pelaku kekerasan. Jika korban mendapatkan tekanan lain selain rasa takut dan intimidasi—menurut pikiran pelaku—maka korban akan lebih mudah dikendalikan dan dimanipulasi.
Tidak hanya dari sisi pelaku kekerasan, teori lainnya yang dapat mendukung adanya Stockholm syndrome adalah sifat alami manusia. Pada masa lalu, korban yang mengalami penangkapan atau penculikan oleh sebuah kelompok sosial memiliki kecenderungan untuk percaya bahwa membentuk ikatan terhadap para penawan dapat meningkatkan peluang untuk bertahan hidup. Bahkan pada suatu situasi, ketika korban kekerasan mendapatkan perilaku manusiawi atau saat mereka tidak disakiti oleh pelaku kekerasan, korban akan merasa berterima kasih.
Seorang korban yang menderita Stockholm syndrome dalam kekerasan domestik telah dicuci otaknya sehingga ia percaya pada perilaku dan dunia pelaku. Baginya, pelaku kekerasan tersebut adalah penjaga keselamatannya, kehidupannya, dan kelangsungannya. Sehingga, korban melihat bahwa satu-satunya cara baginya untuk bertahan hidup adalah setia dan menuruti kemauan sang pelaku.
(DIP/alm)