Semua pasti tak asing dengan personality test atau tes kepribadian. Zaman sekarang, terlepas dari keakuratannya, tak jarang orang membagikan hasil tes kepribadian yang sudah mereka ikuti dalam bentuk screenshot ke akun media sosialnya. Berangkat dari satu atau dua orang yang mengunggah hasil tesnya, lambat laun yang lain pun juga dibuat penasaran hingga turut mengikuti tes yang tersedia di internet secara gratis.
Kehadiran tes kepribadian menghiasi pengalaman kita dalam menelusuri internet karena sekarang beragam jenis tes kepribadian telah tersebar luas mulai dari tes dengan basis teori tingkah laku manusia yang membagi ke dalam 16 tipe kepribadian seperti MBTI, hingga tes kepribadian yang sifatnya ringan dan menghibur. BuzzFeed Quizzes contohnya, satu sub-laman yang disediakan oleh BuzzFeed berisikan banyak tes seputar budaya pop mulai dari "Which Disney princess are you?" hingga quiz yang lumayan jenaka seperti, "Order a sandwich and we'll guess your Hogwarts house." Namun, sekonyol apapun kedengarannya, tetap saja akan ada seseorang yang mengikutinya untuk sekadar memenuhi rasa penasaran dan bersenang-senang.
Kendati demikian, mengapa tes kepribadian menjadi sesuatu hal yang sangat digandrungi terutama oleh young adults? Apa mungkin ada penjelasan dari sisi psikologis yang bisa menjelaskan alasan di balik kegemaran Gen Z terhadap tes kepribadian yang merajalela secara daring? Untuk mendapat penjelasan yang tepat, CXO Media meminta pendapat psikolog klinis yang berpraktik di RSKB Columbia Asia Pulomas, Feka Angge Pramita, M.Psi.
Personality test dan pencarian jati diri
Menurutnya, secara umum, tes kepribadian merupakan cara sederhana bagi kita untuk mengenal diri lebih dalam. "Pada remaja, fase yang dialami mereka adalah mengenal jati dirinya. Pembentukan jati diri memang terjadi pada usia remaja hingga masa dewasa awal. Pada masa dewasa awal, kepribadian sudah mulai terbentuk dan mulai terbentuk penuh. Namun, bisa jadi penemuannya belum berhasil ditemukan bahkan hingga fase dewasa awal selesai." jelas Feka kepada CXO Media. Maka dari itu, tes kepribadian marak dilakukan bahkan oleh orang-orang yang sudah memasuki masa dewasa tengah dan akhir, terlepas reliabilitas, validitas, hingga alat tesnya yang formal maupun ringan.
Lebih lanjut mengenai identitas dan jati diri, Feka juga menjelaskan bagaimana hal tersebut dipengaruhi oleh nilai yang didapat dari rumah, lingkup pertemanan, lingkungan sosial di sekitarnya dan bagaimana individu tersebut menyaring dan menentukan value yang akan diyakininya.
Menambah jawaban Feka, seorang profesor psikologi di Universitas Notre Dame, David Watson, mengutarakan pada INSIDER bahwa usia 20 hingga 30 ke atas adalah masa seseorang berusaha membentuk identitas diri; bagaimana mereka bisa fit in dengan lingkungan dan bagaimana mereka membedakan diri dengan orang lain. Sehingga, tes kepribadian menjadi afirmasi terhadap apa yang mereka pelajari tentang diri mereka, atau bahkan apa yang sebenarnya sudah kita ketahui tentang diri kita sendiri.
Validasi, validasi, dan validasi
Bruce Carter, seorang profesor di Human Development and Family Science di Syracuse University menjelaskan bahwa kuis-kuis kepribadian itu sebenarnya memuaskan rasa penasaran mengenai diri sendiri dengan menyediakan gambaran yang mereka yakini sebagai informasi akurat tentang perilaku dan penyebab dari perilaku mereka. "People are eager to share their findings because they confirm what we already believe." ujarnya.
Menurut Carter, dengan membagikan hasil tes kepribadian tersebut kepada teman-teman, kita juga ingin mendapatkan validasi tentang karakteristik kita yang sebenarnya sudah kita percayai benar. "We're often living in some kind of self-fulfilling prophecy, anyway. So, we're looking for information that confirms what we already know." tambahnya.
Does it really feel fulfilling or are we just narcissistic?
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ada beberapa tes kepribadian yang dibuat ala kadarnya tanpa disokong dengan dasar saintifik-malah beberapa berasal dari stereotip-dalam menarik kesimpulan atas rangkaian pertanyaan yang telah dijawab. Meski demikian, mengapa kita tidak pernah bosan untuk mengambil tes kepribadian bahkan dengan bentuk yang variatif atau unik? Perhaps, are we a little bit self-obsessed?
"Apabila kita sering mengambil tes kepribadian, bukan berarti kita menjadi punya sisi narsistik." ucap Feka. "Narsis dengan takaran yang wajar artinya kita percaya diri dan ingin tahu lebih dalam tentang diri kita dan bagaimana kita merefleksikan hasil dari keduanya; apakah hasil tes tersebut memang menggambarkan kita? Apakah yang disampaikan orang lain mengenai diri kita itu memang diri kita apa adanya?" jelasnya.
Pada dasarnya, mungkin kita memang tertarik untuk mengenal diri lebih dalam dengan mendapatkan informasi serta afirmasi dari sumber eksternal. Sederhananya, setiap orang ingin mengenal dirinya, merasakan sense of belonging, dan juga mengerti orang lain. Hal ini merupakan hal yang sangat manusiawi, dan mungkin dituangkan melalui menjawab bermacam-macam tes kepribadian, atau juga dengan menafsirkan pergerakan bulan dan astrologi.
Seperti yang diutarakan Feka, "Tidaklah salah apabila kita melakukan tes kepribadian. Hanya saja, validitas dan reliabilitas alat tes tersebut perlu diperhatikan untuk akhirnya kita bisa percayai hasilnya. Tes yang tidak valid tentu tidak menggambarkan diri kita dan tidak bisa dipertanggungjawabkan hasilnya."
All in all, take it with a grain of salt. It's okay to have a little bit of fun. In the end, you're the only one who knows that deep down you belong to Slytherin, and not Gryffindor.
(HAI/tim)