Menyandang jabatan tinggi di dalam suatu pekerjaan, bahkan memiliki banyak orang-orang di bawahnya yang dapat diandalkan tentu membuat seseorang kerap memiliki rasa penuh akan kekuasaan. Namun, kekuasaan dalam hal ini tentu bukanlah hal yang abadi. Baik itu faktor umur, kemampuan ataupun hal yang lainnya, kekuasaan yang dimiliki dalam mengemban suatu jabatan pekerjaan tentu akan dialihkan kepada yang lebih mumpuni.
Hilangnya kekuasaan dan rasa hormat dari orang-orang di sekelilingnya, hal ini cenderung dapat memengaruhi kesehatan mental. Istilah yang digunakan untuk menjelaskan situasi dan kondisi ini adalah post-power syndrome.
Apa itu Post-Power Syndrome?
Biasanya, post-power syndrome lebih umum dialami oleh para lansia yang baru aja menjalani masa pensiunnya, di mana mereka yang biasanya sibuk dengan pekerjaan dan melakukan berbagai kegiatan sosial tiba-tiba harus menjalani kehidupan berbeda yang biasa mereka jalani. Hal ini pun dapat membuat seseorang merasakan anxiety, tension, dan stres hingga berbagai masalah psikologi dan fisik.
Seseorang yang sudah lama bergantung pada jabatan, kekuasaan, kehormatan dan status sosial, ketika status itu dilepaskan, terkadang ia tidak siap untuk menyesuaikan bahwa ia tidak lagi bekerja. Melansir Hello Sehat, menurut Citra Hanwaring Puri, S.Psi, seorang psikolog dari RS Jiwa Daerah Surakarta, Jawa Tengah, kata 'power' dari post-power syndrome tidak selalu mengacu pada kekuasaan maupun pekerjaan. Tetapi, kata ini merujuk pada kegiatan aktif yang kian berkurang sehingga dapat menimbulkan ketidaknyamanan.
Tidak hanya orang-orang yang mengalami pensiun saja, bahkan mereka yang masih muda dan mengalami hilangnya kekuasaan atau pekerjaan yang disukai juga dapat membuat seseorang mengalami post-power syndrome. Gejala dari post-power syndrome yang menonjol adalah ketika mereka melakukan berbagai perbuatan yang tidak seperti biasanya seperti sulit untuk berkata jujur sebagai bentuk subjektivitas semata untuk mencari atau mempertahankan kekuasaan pribadinya.
Selain itu, adanya rasa takut akan banyak hal seusai melepas kegiatan atau pekerjaannya juga cukup banyak. Mulai dari ketakutan akan pengakuan publik ketika harus berhenti bekerja, kekhawatiran perihal masalah keuangan untuk memenuhi kebutuhan, ketakutan akan pembalasan dendam dari orang-orang yang bekerja di bawah pimpinannya hingga kekhawatiran akan hancurnya keberhasilan yang selama ini dibangun.
Post-power syndrome juga diakui dapat mempengaruhi ketidakstabilan emosi. Mereka yang mengalami siklus ini biasanya menjadi lebih senang untuk menyendiri, mudah tersinggung dan marah ketika apa yang ia katakan diabaikan oleh orang-orang di sekitarnya. Hal ini berkaitan dengan bagaimana ia saat memiliki kekuasaan akan suatu hal merasa sangat dihormati dan didengarkan.
Tidak sampai di sini saja, karena mereka tidak terbiasa dengan keseharian pasca kekuasaan, mereka juga cenderung sering melamun dan merasakan kesepian serta hampa yang membuat mereka bersedih dan kecewa dengan situasi yang dialami. Kondisi ini pun dapat menyebabkan mereka menjadi tidak nafsu makan yang berekor pada kekurangan nutrisi serta penyakit-penyakit lainnya.
Meskipun bukanlah suatu kondisi kesehatan mental yang parah, hal-hal yang mengikuti di belakangnya dapat membuat kondisi ini menjadi suatu hal yang memerlukan pertolongan. Bersedih akan lepasnya suatu jabatan atau pekerjaan yang sangat dicintai memang dapat membuat kondisi mental terganggu baik itu secara signifikan maupun tidak, tetapi yang perlu ditekankan adalah fakta bahwa segala suatu hal tidak akan pernah menjadi miliki kita untuk selamanya, sehingga hal-hal seperti ini seharusnya sudah menjadi situasi yang diantisipasi.
(DIP/tim)