Bicara soal kreativitas dalam bidang kuliner, orang Indonesia tampaknya tak pernah kehabisan ide. Setiap tahun ada saja tren-tren kuliner yang bermunculan dan seakan menjamur hampir di seluruh daerah. Masyarakat menyebutnya kuliner kekinian yang diciptakan untuk memenuhi hasrat para pencinta kuliner yang menginginkan kebaruan.
Berbagai cara dilakukan oleh para pengusaha kuliner untuk menemukan kebaruan tersebut, mulai dari strategi marketing yang ciamik hingga bahan yang digunakan dalam makanan tersebut agar terlihat estetik dan menarik mata. Namun, viralnya tren-tren makanan dan minuman itu, seakan menutupi kenyataan pahit perihal nilai gizi serta keamanan pangan yang ada.
Ilustrasi makan smoke snack/ Foto: Veectenzy |
Ancaman Kerusakan Organ di Balik Cantiknya Snack Ngebul
Sebenarnya ada berbagai tren makanan yang kini sedang naik daun di kalangan generasi muda, terutama anak-anak. Salah satunya adalah tren makanan yang kerap disebut snack ngebul atau smoky snack. Snack ngebul sendiri adalah inovasi kuliner kekinian yang terbuat dari snack warna-warni yang disisipi nitrogen cair di dalamnya agar mengeluarkan asap dan terlihat dingin.
Sekilas makanan ini memang menggugah selera bagi siapa pun yang melihatnya. Namun, di balik keunikan dan kecantikan yang ditawarkan dari makanan ringan ini, ternyata menyimpan bahaya yang tidak disadari. Dilansir CNN Indonesia, beberapa siswa sekolah dasar di Tasikmalaya, Jawa Barat, mengalami keracunan usai mengonsumsi snack yang ditambahkan nitrogen cair ke dalamnya, pada November 2022 lalu.
Mereka dilaporkan mengalami mual, muntah, dan begah perut usai mengonsumsi makanan kekinian tersebut. Setelah kasus itu mencuat, Dinas Kesehatan Jawa Barat (Dinkes Jabar) menetapkan status darurat medis untuk kasus keracunan makanan karena nitrogen cair tersebut. Tak hanya itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun meminta semua pihak untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya jajanan ice smoke yang tengah digandrungi.
Kemenkes pun sampai mengeluarkan Surat Edaran Nomor KL.02.02/C/90/2023 tentang Pengawasan Terhadap Penggunaan Nitrogen Cair Pada Produk Pangan Siap Saji, yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Maxi Rein Rondonuwu pada 6 Januari 2023.
"Surat edaran ini dimaksudkan sebagai upaya pencegahan dan peningkatan kewaspadaan pada penggunaan nitrogen cair pada pangan siap saji untuk mencegah terjadinya keracunan pangan," ujar Maxi seperti dikutip Kemenkes. Dalam SE tersebut dijelaskan bahwa penggunaan dan penambahan nitrogen cair pada makanan pangan siap saji yang berlebihan dan dikonsumsi jangka panjang bisa menyebabkan masalah kesehatan serius.
Smoke Snack/ Foto:Â Washington Post |
Mulai dari radang dingin, luka bakar, atau cold burn pada jaringan kulit, tenggorokan terasa terbakar, hingga kerusakan organ internal dalam kasus yang parah, seluruhnya bisa terjadi. Hal-hal tersebut disebabkan dari suhu sangat dingin yang langsung bersentuhan dengan organ tubuh dalam waktu yang panjang. Menghirup uap nitrogen dalam jangka waktu lama juga bisa menyebabkan kesulitan nafas yang cukup parah.
"Nitrogen cair ternyata tidak hanya berbahaya bila dikonsumsi, uap asap nitrogen yang dihirup dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kesulitan bernafas yang cukup parah," papar Maxi. Untuk menanggulangi dampak masif, ia pun menginstruksikan pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, Puskesmas, dan Kantor Kesehatan Pelabuhan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap produk pangan siap saji yang menggunakan nitrogen cair ini.
Pembinaan dan pengawasan tersebut meliputi, pemberian edukasi kepada masyarakat, sekolah dan anak-anak akan bahaya konsumsi snack ngebul serta mengharuskan restoran yang menggunakan nitrogen cair pada produk pangan siap saji untuk memberikan informasi cara konsumsi yang aman kepada konsumen.
"Memberikan edukasi kepada pelaku usaha dan pihak-pihak terkait terhadap bahaya nitrogen cair terhadap pangan siap saji. Selain itu, edukasi juga harus diberikan kepada sekolah-sekolah, anak-anak dan masyarakat terhadap bahaya nitrogen cair pada pangan siap saji," ujar Dirjen Maxi. Sementara itu, di Tempat Pengelolaan Pangan (TPP) selain restoran-seperti gerai pangan jajanan keliling-untuk saat ini tidak direkomendasikan menggunakan nitrogen cair pada produk pangan siap saji yang dijual.
Ilustrasi es krim/ Foto: Freepik |
Kenyataan Pahit "Sugar Generation"
Tak hanya kreasi kuliner ciptaan orang Indonesia, fenomena invasi es krim asal Tiongkok yang menjamur di berbagai daerah pun sedang menjadi sorotan. Bagaimana tidak, hanya dalam waktu singkat gerai-gerai es krim itu pun menguasai pasar makanan penutup untuk kalangan menengah ke bawah. Menawarkan harga yang murah dan variasi menu yang bermacam-macam membuat franchise ini jadi favorit para generasi muda.
Namun di balik manisnya rasa es krim, ada kenyataan pahit yang menunggu "sugar generation" ini. Bayang-bayang diabetes tidak bisa terhindarkan lagi, padahal pemerintah sendiri masih berupaya untuk menekan angka pengidapnya. Menurut laporan International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2021, Indonesia berada di posisi kelima dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 19,47 juta jiwa dari 179,72 juta jiwa. Artinya prevalensi diabetes di Indonesia adalah sebesar 10,6 persen.
Sementara dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018, penderita diabetes melitus mulai di umur 15 tahun ke atas sebesar 2 persen. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan prevalensi diabetes melitus pada penduduk di atas 15 tahun ke atas pada hasil Riskesdas 2013 yakni sebesar 1,5 persen.
Kemudian, 30,2 persen responden mengaku mengonsumsi minuman manis sebanyak satu sampai enam kali seminggu. Bahkan 61,3 persen responden mengonsumsi lebih dari satu kali setiap harinya. Padahal, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Indonesia Nomor 30 tahun 2013 menganjurkan setiap orang sebaiknya mengonsumsi sebanyak 50 gram atau setara 4 sendok makan per harinya.
Ilustrasi anak muda diabetes/ Foto: Pexels |
Namun dalam segelas es krim saja sudah ada sekitar 29,66 gram gula, artinya sudah lebih dari setengahnya. Jika orang mengonsumsinya lebih dari satu gelas, tentu saja sudah melebihi anjuran yang disarankan. Tak hanya berisiko terkena diabetes melitus, para generasi gula ini tidak lepas dari ancaman obesitas.
Dalam segelas Boba Sundae terkandung 364 kalori. Jumlah itu hampir setara dengan kalori mi instan yang biasanya mempunyai 380 kalori per kemasan. Belum lagi tambahan berbagai topping manis juga membuat jumlah kalori dan gula dari segelas es krim tersebut melonjak.
Mengetahui hal tersebut agaknya kita harus memikirkan dan menimbang kembali untuk membeli jajanan kekinian dengan frekuensi sering dan banyak. Tak bisa dimungkiri bahwa cita rasa dan estetika kuliner zaman sekarang sulit untuk ditolak, ditambah lagi kebiasaan kita yang selalu FOMO dan ingin terus up-to-date membuat keinginan membelinya sulit berhenti.
Tapi harus diingat, esensi dari menikmati makanan adalah selain lezat juga harus bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Jika semua makanan yang kita konsumsi hanya nirmanfaat, lantas buat apa mahal-mahal dan mengorbankan diri hanya untuk memenuhi FOMO?
(DIR/alm)