Ketika menghadapi suatu masalah, memang terkadang kita butuh diberikan kata-kata yang membuat kita tenang secara emosional. Baik itu dari sahabat, keluarga maupun kekasih, setiap masalah yang kita keluh kesahkan memang sebaiknya ditanggapi dengan kata-kata positif. Namun tak jarang orang-orang malah memberikan toxic positivity yang berujung tidak baik untuk perkembangan diri hanya demi mengelak apa yang sebenarnya seharusnya menjadi kekhawatiran utama dan membuat dirinya merasa lebih baik dengan pikiran positif yang berlebihan ini.
Tidak diragukan lagi bahwa memang pikiran positif dapat memberikan dampak yang baik pada hidup seseorang. Hal ini pun sudah dibuktikan oleh berbagai penelitian, bahkan pikiran yang positif dari kata-kata atau dorongan orang-orang sekitar juga dibuktikan dapat memberikan dampak kesehatan yang signifikan, baik itu secara fisik maupun mental. Meski demikian, bila pemikiran positif ini dilakukan berlebihan atau terlalu sering maka yang ada seseorang hanya akan tenggelam dalam toxic positivity yang tidak baik untuk dirinya sendiri seperti konsekuensi kesehatan mental yang terganggu.
Ketika sedang menghadapi sebuah masalah, memang penting untuk mencoba melihat titik terang dari masalah tersebut. Terlepas dari itu semua, emosi yang terdampak dari suatu masalah tetap harus kita terima dan berikan validasi. Daripada menolak untuk merasakan sesuatu dan menutupinya dengan toxic positivity, setiap orang seharusnya justru lebih fokus untuk mendapatkan emotional validation.
Menurut Nina Vasa, MD, MBA, dan Chief Medical Officer di Real, toxic positivity biasanya dilakukan untuk membantah emosi yang dirasakan atau bahkan perasaan orang lain dan menutupinya dengan pemikiran positif yang berlebihan. Hal ini tentu tidak memberikan ruang untuk individu merasakan emosi yang dirasakan, ketika sedih ia harus dipaksakan dengan pikiran positif yang membuatnya terhibur. Padahal, merasakan sedih adalah hal yang normal dan justru penting untuk dirasakan demi menjaga kesehatan mental.
Berbeda dengan validasi emosi yang sangat bertolak belakang dengan toxic positivity. Hal yang satu ini justru memberikan waktu dan ruang untuk seseorang merasakan dan mendalami perasaan yang sedang dirasakan. Mengakui perasaan yang dialami adalah emosi negatif pun tetap penting untuk divalidasi. Seorang terapis pernikahan dan keluarga berlisensi, Janika Veasley mengatakan, "Emotional validation is when you take the time to learn, understand, and accept the other person's emotions and experience".
Ia juga menambahkan bahwa toxic positivity adalah sebuah bentuk emotional invalidation karena hal tersebut menolak realita dari pengalaman atau perasaan yang sedang dialami. Jadi, bukannya dirasakan, perasaan seperti sedih dan frustasi malah dikesampingkan. Lalu bagaimana agar kita dapat melakukan emotional validation dan menghindari toxic positivity?
Ketika kita sedang dihadapi suatu kendala dalam kehidupan, biasanya kita merasakan emosi, baik itu sedih, kecewa maupun marah. Untuk mendapatkan validasi emosi, usahakanlah untuk tidak tergesa-gesa dalam mengatasi emosi tersebut. Justru, kamu malah disarankan untuk meresapi emosi yang dialami dengan memberikan validasi kepada diri sendiri bahwa tidak apa-apa untuk merasakan hal ini.
Alih-alih ingin mengatasi emosi yang dirasakan, banyak orang yang justru menimpalinya langsung dengan pemikiran-pemikiran positif yang toksik. Daripada menyusahkan diri untuk memaksa meninggalkan emosi membara yang sedang dirasakan dan langsung menutupnya rapat dengan harapan-harapan atau khayalan-khayalan positif semata yang tidak membawamu ke mana-mana, lebih baik kamu berdiam diri dan mencoba untuk menikmati emosi yang dirasakan.
Bagi kamu yang dikeluhkan oleh orang terdekat mengenai perasaannya, jangan terburu-buru langsung menyarankannya untuk melihat the bright side dari sebuah permasalahan yang dihadapi. Namun, cobalah untuk mendengarkan terlebih dahulu dan menunjukkan bahwa kamu mengerti dan paham akan apa yang sedang dirasakannya agar ia pun merasa bahwa apa yang sedang dialaminya secara emosional adalah suatu hal yang valid.
(DIP/DIR)