Produk gender-neutral dalam industri beauty & wellness semakin marak ditemui. Dua minggu lalu, selebriti Hollywood Brad Pitt baru saja mengeluarkan produk skincare gender-neutral yang diberi nama Le Domaine. Seminggu kemudian, Jared Leto juga melakukan hal yang sama dengan meluncurkan Twentynine Palms yang juga menawarkan produk kecantikan genderless.
Apa yang dilakukan para selebriti ini sebenarnya bukanlah hal baru. Salah satu brand yang sudah melakukan ini sejak lama adalah Aesop, brand kecantikan asal Australia yang berdiri sejak 1987. Meski tidak menggunakan label gender-neutral, tapi semua produk Aesop dikemas secara uniseks dan dipasarkan tanpa menyasar kelompok gender tertentu. Tapi harus diakui, meski produk kecantikan genderless sudah ada sejak lama, tapi ia tidak mendominasi pasar.
Nyaris semua beauty brand menjual produknya dengan menyasar gender tertentu. Di semua supermarket, produk kecantikan untuk laki-laki dan perempuan pasti dijual di lorong yang terpisah. Tanpa melihat keterangan nama produknya, biasanya kita sudah langsung bisa menebak mana yang diperuntukkan untuk perempuan dan mana yang untuk laki-laki. Kalau kemasannya berwarna biru tua, abu-abu, atau hitam, sudah bisa dipastikan itu adalah produk kecantikan laki-laki. Sedangkan apabila kemasannya berwarna putih, pink pastel, atau baby blue, maka besar kemungkinannya itu produk kecantikan perempuan.
Tak hanya dari kemasan, dari segi komposisi pun biasanya juga dibedakan. Misalnya, produk untuk perempuan lebih didominasi dengan bahan dan wangi yang lebih 'feminin' dan subtle seperti floral. Sedangkan produk untuk laki-laki lebih didominasi dengan bahan dan wangi yang lebih 'maskulin' dan musky, seperti sandalwood. Tapi, mengapa kebanyakan produk kecantikan dipasarkan berdasarkan gender?
Kalau dari segi ilmiah, kulit wajah laki-laki dan perempuan memang memiliki beberapa perbedaan. Menurut dermatolog Marnie Nussbaum, kulit laki-laki pada umumnya lebih tebal, lebih mudah berminyak, dan kolagen yang lebih padat dibandingkan perempuan. Akan tetapi, Dr. Nussbaum juga mengatakan bahwa bukan berarti laki-laki dan perempuan membutuhkan produk skincare yang berbeda. Sebab faktor yang paling penting adalah kondisi kulit masing-masing individu. Oleh karena itu, produk skincare seharusnya dipilih berdasarkan tipenya, misalnya untuk kulit berjerawat, kulit berminyak, kulit kering, dan sebagainya.
Penjelasan ilmiah di atas membuktikan bahwa tak ada urgensi dalam mengklasifikasikan produk kecantikan berdasarkan gender. Maka dari itu, alasan paling logis yang ada di balik klasifikasi ini adalah strategi pemasaran. Sejak kecil, pembagian biner maskulin-feminin telah mempengaruhi konsumen dalam memilih produk. Misalnya, orang tua akan membelikan mainan mobil untuk anak laki-laki dan boneka Barbie untuk anak perempuan. Hal ini berlanjut sampai masa dewasa, di mana konsumen akhirnya memilih produk yang lebih sesuai dengan citra mereka, yaitu sebagai laki-laki yang maskulin atau perempuan yang feminin. Citra gender yang biner inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh banyak brand untuk meningkatkan pemasaran produk mereka.
Selain melanggengkan pembagian gender yang biner dan kaku, klasifikasi produk ini terbukti juga merugikan konsumen perempuan dari segi ekonomi. Berdasarkan studi yang dilakukan di New York, rata-rata produk kecantikan yang dipasarkan untuk perempuan harganya 13% lebih mahal dari produk sejenis yang dipasarkan untuk laki-laki.
Kembali ke pertanyaan awal: seberapa penting produk skincare 'genderless'? Bagi para konsumen, produk gender-neutral bisa membuat dunia kecantikan lebih inklusif. Baik laki-laki, perempuan, maupun non-binary, bisa menikmati produk kecantikan tanpa harus terkotak-kotakkan oleh gender mereka. Produk kecantikan memang seharusnya tak mengenal gender, toh yang terpenting adalah bagaimana produk tersebut bisa membantu kita untuk merawat diri.
(ANL/alm)