Seringnya, kita tidak menyadari bahwa emosi yang kita miliki terhadap sesuatu atau seseorang dan tak dapat kita luapkan malah mendorong kita untuk melimpahkannya kepada orang lain. Dalam kacamata psikologi, hal ini biasa disebut dengan projection atau proyeksi. Melansir Psychcentral, menurut Timothy Yen, PsyD, proyeksi adalah secara tidak sadar menempatkan perasaan yang dialami kepada orang lain, di mana perasaan yang dialami sangat mengganggu di dalam diri dan tidak mampu untuk ditahan lagi sehingga dikeluarkan begitu saja.
Teori psikologi tentang proyeksi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud ini memiliki tiga jenis umum:
Ilustrasi melindungi diri/ Foto: Freepik |
Complementary projection
Jenis ini mengacu pada situasi di mana seseorang menganggap bahwa orang lain merasakan hal yang sama dengan apa yang sedang ia rasakan.
Complimentary projection
Jenis ini menjelaskan proyeksi yang berbentuk sebagai asumsi bahwa orang lain dapat melakukan hal yang sama dan kemampuan orang berada di level yang sama dengannya.
Neurotic projection
Jenis proyeksi yang satu ini adalah jenis yang paling umum, ketika mereka meluapkan perasaan atau sikap yang tertahan mengenai suatu hal kepada orang lain yang tidak bersangkutan.
Proyeksi secara umum adalah sebuah satu jenis defense mechanism yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. Jenis defense mechanism yang satu ini dapat dikatakan cukup primitif karena biasanya hal ini hanya dilakukan oleh anak-anak yang menjelang dewasa karena menggunakan proyeksi sebagai defense mechanism-nya. Ketika seseorang beranjak dewasa, maka biasanya mereka akan mulai mengganti defense mechanism-nya menjadi lebih rasional.
Meskipun demikian, bukan berarti sedikit orang dewasa yang masih melakukan proyeksi ini. Karena, banyak juga orang dewasa yang menggunakan proyeksi sebagai defense mechanism-nya. Contoh kecilnya, seperti rasa kesal yang diakibatkan oleh pekerjaan di kantor, lalu malah membawa pulang perasaan itu ke rumah dengan melimpahkan amarah kepada orang-orang sekitarnya serta mengharapkan mereka mengerti bahwa ia sedang lelah dan tertekan dengan pekerjaan yang dijalani. Contoh lainnya adalah mendorong dan memaksa orang-orang di sekitarnya untuk menjadi seperti apa yang ia mau, atau sosok yang ia rasakan sangat merepresentasikan dirinya
Ilustrasi menulis jurnal/ Foto: Freepik |
Lalu, bagaimana untuk mencegah diri agar tidak melakukan hal ini?
Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah melakukan self-reflection. Usahakanlah untuk jujur dengan diri sendiri mengenai apa yang membuat diri kamu insecure dan anxious, lalu cobalah juga untuk meneliti segala hal seputar diri kamu yang tidak kamu sukai dan apa yang kamu rasakan mengenai hal tersebut. Selanjutnya, cobalah untuk melakukan review yang objektif menarik diri sendiri untuk mengetahui apakah selama ini kamu melakukan proyeksi akan hal-hal yang kamu tidak sukai tersebut kepada orang lain.
Secara garis besar, melindungi diri dari hal negatif atau pengalaman tertentu memang hal yang manusiawi. Namun, ketika hal ini berubah menjadi proyeksi, maka penting bagi kamu untuk mulai melakukan refleksi diri. Tidak hanya bermanfaat untuk kesehatan mental, namun dengan mengelola emosi yang baik, maka kamu pun juga sekaligus mengelola hubungan kamu dengan orang-orang di sekitar.
(DIP/alm)