Sebagai generasi overthinking, saya selalu dihantui perasaan was-was ketika akan menghadapi sesuatu. Misalnya, hal sederhana seperti menghadapi hari pertama masuk kerja bisa membuat saya gelisah dan sulit tidur. Pikiran saya pun terombang-ambing memikirkan skenario terburuk yang bisa terjadi; bagaimana jika saya datang terlambat, bagaimana jika saya salah dresscode, bagaimana jika saya kesulitan bersosialisasi, dan lain sebagainya. Secara logika, skenario buruk ini tidak seharusnya terjadi karena saya sudah mempersiapkan segala hal hingga ke detail terkecil. Tapi tetap saja, otak saya tidak bisa berhenti memikirkan berbagai skenario buruk tersebut.
Ternyata, apa yang saya alami di atas dapat disebut sebagai catastrophizing atau catastrophic thinking. Catastrophizing merupakan salah satu jenis distorsi kognitif, yaitu kebiasaan berpikir negatif yang berlebihan dan tidak rasional sehingga menyebabkan gangguan psikologis tertentu. Catastrophizing membuat orang-orang menyimpulkan sesuatu yang buruk akan terjadi, meskipun mereka tidak memiliki bukti konkret yang mendukung kesimpulan tersebut. Pada dasarnya, pikiranmu akan selalu lari ke skenario terburuk meski pada realitanya kemungkinan hal tersebut terjadi sangatlah kecil.
Ilustrasi over thinking/ Foto: Freepik |
Bagi orang-orang yang memiliki kebiasaan catastrophizing, setiap kekeliruan atau ketidaknyamanan kecil bisa berubah menjadi ketakutan besar alias bencana di kepala mereka. Contohnya, kamu khawatir kamu tidak akan bisa mengerjakan soal ujian dengan baik. Kemudian, kamu langsung menyimpulkan bahwa kalau kamu tidak berhasil mengerjakannya, kamu adalah murid yang buruk, tidak akan lulus sekolah, dan tidak akan mendapat pekerjaan. Bagaikan efek domino, satu ketakutan kecil di masa sekarang bisa berujung ke ketakutan besar di masa depan.
Catastrophizing bisa disebabkan oleh berbagai macam alasan, salah satunya yaitu sebagai coping mechanism bagi orang-orang yang memiliki kepercayaan diri rendah. Kepercayaan diri yang rendah bisa membuat seseorang merasa tidak mampu menangani masalah dan merasa dirinya tidak berdaya, sehingga akhirnya mereka melakukan catastrophizing agar terlindungi dari kemungkinan terburuk. Apabila seseorang memiliki masa kecil yang traumatis, seperti orang tua yang perfeksionis atau cemas berlebihan, maka mereka bisa memiliki kepercayaan diri yang rendah dan akhirnya secara tidak sadar melakukan catastrophic thinking terhadap setiap hal yang mereka perbuat.
Ilustrasi catastrophizing/ Foto: Veectenzy |
Dalam banyak kasus, catastrophizing bisa menjadi pertanda akan adanya masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Meski terkadang sulit untuk menyadari kapan kamu melakukan catastrophizing, berikut adalah beberapa tanda yang bisa kamu cermati:
- Merasa pesimis terhadap banyak hal
- Kerap merasa terperangkap dalam pikiran-pikiran di kepala
- Merasa overwhelmed karena rasa marah dan rasa takut
- Berbicara kepada diri sendiri dengan nada yang negatif (negative self-talking)
- Overthinking terhadap situasi yang dialami atau pilihan yang diambil
Lantas, bagaimana cara mengatasi kebiasaan berpikir yang buruk ini? Berikut adalah beberapa tips untuk menghentikan catastrophizing:
Ilustrasi catastrophizing/ Foto: Freepik |
Merefleksikan Pikiran yang Membuatmu Resah
Alih-alih menganggap pikiran buruk di kepalamu sebagai fakta, perlakukanlah mereka sebagai teori. Pikirkan ulang apa yang membuatmu khawatir dan uji kebenarannya dengan mempertimbangkan semua skenario yang paling mungkin terjadi. Kamu bisa memulainya dengan bertanya kepada diri sendiri apakah ada cara pikir lain yang lebih positif dan realistis terhadap kondisimu. Kamu juga bisa mencoba menempatkan dirimu dari kacamata orang lain, dan membayangkan apa saran yang akan kamu berikan ke temanmu kalau ia melakukan catastrophizing.
Fokus ke Pemecahan Masalah
Rasa khawatir yang berlebihan hanya akan menambah masalah yang tidak perlu. Daripada memikirkan skenario buruk apa yang bisa terjadi, lebih baik gunakan waktumu untuk memikirkan solusi apa yang bisa dilakukan untuk berbagai kemungkinan buruk. Memikirkan solusi bisa membantumu untuk berpikir lebih tenang dan jernih, sehingga kamu tidak terlalu fokus pada rasa takut.
Menerima Ketidakpastian
Ketidakpastian bisa membuat siapa pun merasa cemas. Dengan mengkhawatirkan masa depan, mungkin kita bisa merasa memiliki kontrol terhadap apa yang akan terjadi di kemudian hari. Namun, perasaan aman karena memiliki kontrol ini bersifat semu dan tidak menyelesaikan masalah apa-apa. Memikirkan skenario buruk tidak akan bisa menghentikan hal-hal buruk yang akan terjadi. Oleh karena itu, lebih baik gunakan energimu untuk fokus pada hal-hal yang bisa kamu kontrol di masa sekarang.