Kesehatan mental merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian bagi generasi muda hari ini. Di antara teman-teman saya pun, ada banyak yang menemui psikolog atau psikiater untuk bisa pulih dari kondisi mental yang mereka alami. Bagi banyak anak muda meski tak semua mencari pertolongan untuk sembuh dari penyakit mental kini sudah bukan lagi menjadi hal yang memalukan. Praktik meditasi pun kian diminati oleh banyak orang, karena dirasa mampu membantu proses pemulihan luka batin.
Mindfulness menjadi salah satu pendekatan atau metode yang populer dalam memulihkan kondisi batin dan merawat kesehatan mental. Istilah-istilah yang berhubungan dengan kesehatan mental seperti anxiety, depresi, dan healing bahkan telah menjadi kata yang populer terutama di media sosial. Namun, seiring dengan meningkatnya kepedulian anak muda terhadap kesehatan mental, banyak juga miskonsepsi atau kesalahpahaman yang muncul.
Saat ini, apapun bisa diasosiasikan dengan healing. Mulai dari pergi berlibur, menonton film, hingga makan makanan enak. Namun, apa yang sebenarnya menjadi makna dari healing dan seperti apa prosesnya? Kami berbincang-bincang dengan Adjie Santosoputro untuk mengetahui lebih dalam mengenai mindfulness sebagai salah satu pendekatan dalam pemulihan batin, makna healing yang seutuhnya, serta tantangan yang dihadapi generasi muda dalam menghadapi isu kesehatan mental saat ini.
Healing, Menemui Ketidaknyamanan dalam Diri
Dalam proses pemulihan luka batin atau healing, ada bermacam-macam pendekatan yang bisa dilakukan, salah satunya yaitu melalui mindfulness. Penjelasan dari mindfulness bisa bermacam-macam, tapi pada dasarnya ia adalah sebuah bentuk pemikiran atau kesadaran yang memusatkan diri di masa sekarang.
"Menyadari apa yang sedang kita pikirkan, apa yang sedang kita rasakan, as it is. Jadi mindfulness ini bukan berpikir positif, banyak orang salah kaprah mengira bahwa mindfulness itu adalah mengubah pikiran negatif menjadi pikiran positif. Padahal bukan itu. Jadi kalau emang pikiran negatif, ya rasakan saja," jelas Adjie.
Menurut Adjie, mindfulness merupakan pendekatan yang penting dalam pemulihan batin karena mindfulness bisa membantu kita untuk menerima apa yang kita rasakan di sini, kini. Sebab, seringkali luka batin ditimbulkan oleh diri kita yang hanyut terseret memori akan masa lalu atau imajinasi akan masa depan.
"Kalau memori dan ingatan kan masa lalu. Kalau terseret memori bisa membuat kita merasa sedih, marah, menyesal. Sedangkan hanyut terseret imajinasi dan bayangan masa depan biasanya akan diikuti oleh rasa cemas dan khawatir. Oleh karena itu, agar kita tidak mudah terseret kita perlu melatih diri kita, pikiran kita agar sadar diri di momen saat ini, bukan masa lalu dan bukan masa depan," ungkapnya. Pengertian dari mindfulness ini berkaitan erat dengan arti sebenarnya dari proses pemulihan batin. Apabila mindfulness membantu kita untuk bisa menyadari apa yang kita rasakan di saat ini, maka healing adalah proses ketika kita mampu menerima apa yang kita rasakan.
Di media sosial, istilah healing sering sekali digunakan untuk berbagai macam konten. Misalnya, konten 'Rekomendasi Tempat Wisata Untuk Healing' atau 'Rekomendasi Film yang Bisa Membantumu Self-Healing'. Kata healing seperti mendapat bermacam-macam arti yang baru. Berwisata dikatakan sebagai bentuk healing, makan makanan enak bisa disebut sebagai healing, bahkan menonton drama Korea pun juga disebut-sebut sebagai healing. Healing, nampaknya, disejajarkan dengan segala macam aktivitas yang menyenangkan dan bisa membuat kita merasa bahagia.
Kami pun bertanya kepada Adjie, apakah tren healing ini keliru dan bagaimana healing yang seutuhnya. Adjie sendiri mengaku tidak bisa menilai apakah aktivitas-aktivitas yang dicontohkan di atas tepat atau tidak disebut sebagai healing, sebab kesadaran dan pendekatan setiap orang dalam menyikapi kondisi batinnya berbeda-beda. Namun ia sendiri mempercayai bahwa healing terjadi ketika diri kita menemui pikiran dan perasaan yang menimbulkan ketidaknyamanan dalam diri kita. Misalnya, kita merasakan kesedihan yang mendalam. Sehingga, healing tidak sama dengan refreshing yang bersifat pelarian atau pengalihan.
Alih-alih mendistraksi diri kita dengan hal-hal lain untuk melupakan kesedihan itu, kita justru harus mengakui dan menerima bahwa kita sedang mengalami kesedihan.
"Meskipun gak nyaman rasa sedih itu ditemui, tapi itulah jalan yang kita lakukan yaitu menemui rasa sedih dan, ini juga penting, menemui rasa sedih dengan sikap yang welas asih, dengan sikap yang ramah atau compassionate kepada rasa sedih itu. Bukan mengusir rasa sedih, bukan melawan rasa sedih, dan juga bukan mempertahankan rasa sedih," ucap Adjie.
Kesehatan Mental di Era Media Sosial
Salah satu hal yang memicu meningkatnya diskusi mengenai kesehatan mental adalah media sosial. Di satu sisi, kehadiran media sosial membuat generasi muda menjadi lebih mudah dalam mendapatkan informasi mengenai kesehatan mental. Tapi di satu sisi, kehadiran media sosial juga memiliki efek samping terhadap kondisi mental anak muda.
Adjie mengatakan bahwa di media sosial, anak muda menjadi lebih mudah membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Kebiasaan membanding-bandingkan ini pun bisa terjadi setiap saat, kapanpun, dan dimanapun ketika kita membuka media sosial. Sedangkan, membanding-bandingkan diri dengan orang lain membuat kita mudah diikuti oleh rasa insecure, cemas, khawatir, dan overthinking. Permasalahan kedua yang berkaitan dengan media sosial, adalah bagaimana penggunaan media sosial yang berlebih bisa menyebabkan kita menghadapi rollercoaster emosi.
"Ini juga karena kecanggihan teknologi kita bisa dimanapun kapanpun mengakses apapun gitu. Jadi tidak ada batas ruang dan waktu, oh ini aku mesti istirahat, oh sekarang ini aku harus fokus ke satu hal. Sehingga terjadi emotional rollercoaster," ucap Adjie. Beragam konten bisa memunculkan emosi yang berbeda-beda, mulai dari rasa cemburu, rasa rindu, hingga rasa gembira. Berbagai emosi ini, bisa kita rasakan hanya dalam sekali scroll.
Permasalahan di atas menggambarkan bagaimana media sosial memiliki dampak terhadap kondisi kesehatan mental para penggunanya, terutama anak muda. Di luar itu, Adjie juga mengatakan bahwa media sosial juga menjadi tempat bagi banyak anak muda untuk mengekspresikan kondisi mental mereka. Namun, satu hal yang menjadi pengamatan Adjie adalah bagaimana generasi masa kini-meski tidak semuanya-memiliki kecenderungan untuk meromantisasi atau mengglorifikasi kesehatan mental.
"Generasi dulu menutup mata akan kesehatan mental, kurang peduli dan kurang sadar akan kesehatan mental. Generasi dulu dengan sikap seperti itu tidak sehat. Tapi, generasi sekarang itu kayak antitesanya dari generasi yang dulu. Generasi sekarang, meski tidak semuanya, cenderung sedikit-sedikit mengaitkan dengan kondisi mental," ungkap Adjie.
Meski kesehatan mental adalah hal yang krusial, jangan sampai kita kebablasan sampai-sampai meromantisasinya apalagi mengglorifikasinya. Pemulihan batin adalah sebuah proses, jangan sampai kondisi mental yang kita alami menjadi penentu identitas kita. Maka dari itu, kita juga harus cermat dalam memilah konten mengenai kesehatan mental. Jangan sampai, semua informasi mengenai kesehatan mental yang bersirkulasi di media sosial kita telan mentah-mentah.
Psikoedukasi bisa menjadi pilihan apabila kamu merasa memiliki permasalahan kesehatan mental, namun ragu langkah apa yang harus kamu lakukan selanjutnya. Apabila kamu ingin mempelajari lebih lanjut mengenai kesehatan mental, kamu bisa berkunjung ke Santosha Emotional Healing Center yang menyediakan sesi-sesi pembelajaran bersama para ahli.
(ANL/DIR)