Beberapa tahun terakhir, semakin banyak orang memilih untuk menjadi vegan. Tempat makan yang menyediakan pilihan menu vegan pun semakin mudah ditemui. Banyak yang mengira, menjadi vegan sama seperti menjadi vegetarian. Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Sekilas, perbedaan antara vegan dan vegetarian hanya terletak pada pilihan makanannya. Vegetarian tidak mengkonsumsi daging-dagingan; mulai dari daging merah, daging unggas, dan hidangan laut. Sedangkan, vegan tidak mengkonsumsi daging-dagingan dan segala macam produk hewani seperti susu dan telur.
Namun, veganisme lebih dari sekedar plant-based diet. Veganisme pada dasarnya adalah sebuah filosofi hidup yang menentang eksploitasi hewan. Dikutip dari Vegan Society, gaya hidup vegan sebisa mungkin menghindari produk atau praktik sehari-hari yang melibatkan kekerasan terhadap hewan. Mulai dari produk pangan, produk pakaian, produk kecantikan, produk hiburan, dan segala macam produk lainnya yang menggunakan hewan. Oleh karena itu, bentuk praktik vegan bisa sangat luas.
Ilustrasi menjadi vegan/ Foto: Vegan Liftz - Pexels |
Menjadi vegan bisa dimulai dari pilihan makanan hingga gaya hidup lainnya seperti menolak membeli dan menggunakan tas yang dibuat dari kulit hewan, atau bisa juga dengan menolak produk hiburan yang mengurangi kesejahteraan hewan, seperti sirkus atau kebun binatang. Seberapa jauh seseorang menerapkan gaya hidup ini tergantung dari masing-masing individu. Meski didasari oleh ideologi yang sama, setiap individu bisa memiliki alasan personal yang berbeda di balik keputusan menjadi vegan.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai veganisme, CXO Media berbincang dengan Poppy Permatasari yang sudah menekuni gaya hidup ini selama 4 tahun terakhir. Keinginan Poppy untuk menjadi vegan muncul setelah ia mendalami isu-isu sosial yang berangkat dari perspektif keadilan. Dari sini, ia belajar mengenai kekerasan dan eksploitasi yang dilakukan kepada sapi di industri peternakan. Tapi, keyakinan Poppy untuk menjadi vegan menjadi bulat setelah ia menyaksikan pidato Gary Yourofsky, seorang animal rights activist.
Pidato tersebut mendorong Poppy untuk mencari tahu seluk-beluk industri produk hewani dan juga mengenai spesiesme. Spesiesme dipopulerkan oleh Peter Singer melalui bukunya yang berjudul Animal Liberation. Ia mendefinisikan spesiesme sebagai diskriminasi berdasarkan spesies. Oleh karena diskriminasi ini, hewan dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal inilah yang direspons oleh veganisme, melalui kepercayaan bahwa semua makhluk hidup memiliki hak yang sama.
Ilustrasi makanan vegan tanpa unsur hewani/ Foto: Fuzzy Rescue - Pexels |
Meski gaya hidup vegan semakin populer, mereka yang memilih menjadi vegan tetaplah minoritas di antara sejuta umat yang sehari-hari terbiasa mengkonsumsi produk-produk hewani. Dari sudut pandang awam, banyak yang mengira bahwa tantangan terbesar dari menjadi vegan adalah berhenti memakan daging-dagingan. Padahal, menurut Poppy tantangan terbesar yang ia rasakan adalah ketika harus menjelaskan gaya hidup yang ia pilih kepada keluarga dan teman-temannya.
"Tantangan awal jadi vegan itu pas kasih tahu ke orang tua atau teman. Kebanyakan akan nyinyir karena selain itu dianggap aneh atau ekstrem, karena makannya juga beda, ya. Tapi lama-lama kalau memang benar-benar, teman akan mencoba memahami," ungkap Poppy.
Sedangkan perkara menu makanan menurut Poppy bukan tantangan yang besar. Sebab, Indonesia sebagai negara tropis memiliki banyak sekali pilihan makanan yang tidak menggunakan produk hewani. Misalnya, gado-gado tanpa telur, nasi goreng sayur, dan tak lupa tahu tempe. Apabila niat dan tekadnya kuat, maka menu makanan akan selalu bisa disesuaikan.
Ilustrasi makanan vegan/ Foto: Jill Wellington - Pexels |
Tak semua orang setuju dan mau mempraktikkan gaya hidup vegan. Di internet, kita bisa menemukan banyak sekali konten pro-kontra mengenai veganisme. Salah satu alasan yang sering digunakan oleh kelompok yang kontra terhadap vegan adalah, menurut mereka vegan memiliki efek samping terhadap kesehatan. Di antaranya, anemia, defisit vitamin, gangguan hormon, hingga masalah kesehatan mental.
Namun menurut Poppy, dampak terhadap kesehatan bisa dirasakan berbeda-beda oleh masing-masing orang. Ia sendiri merasa tubuhnya lebih ringan dan staminanya bertambah karena berkurangnya lemak hewani dalam tubuhnya. Ia juga tetap bisa melakukan donor darah rutin. Tapi, ia pun tidak menjamin semua orang akan merasakan hal yang sama.
Terlepas dari dampak-dampak kesehatan, komitmen untuk menjadi vegan kembali lagi pada ideologi yang menentang eksploitasi terhadap hewan. Poppy pun paham bahwa tidak mudah untuk mempromosikan gaya hidup vegan, ketika masyarakat kita telah terbiasa memandang penggunaan hewan dalam produk sehari-hari sebagai hal yang lumrah.
Ilustrasi minuman vegan/ Foto: Polina Tankilevitch - Pexels |
"Tidak semua ingin mengubah, tidak semua ingin peduli. Nilai-nilai spesiesme ada di dalam kita semua karena dipelajari dari kecil hingga tua. Sangat susah untuk relearn dan unlearn hal ini. Jadi, kalau ada perbedaan tanggapan soal vegan, aku merasa itu sangat wajar," ucap Poppy.
Pengalaman Poppy menunjukkan bahwa menjadi vegan bukan sekedar mengubah diet. Gaya hidup vegan menyangkut ideologi dan pemahaman mengenai relasi manusia dengan hewan. Ini membuat veganisme tak kurang dari sebuah gerakan. Seperti yang dikatakan Poppy, untuk menjadi vegan dibutuhkan proses relearn dan unlearn yang tidak mudah.
Akan tetapi, apabila kalian tertarik untuk menjadi vegan, ada banyak sekali cara untuk memulainya. Salah satunya, kamu bisa mengakses 21 Hari Vegan. Di sini, kamu bisa mempelajari hal-hal dasar yang berkaitan dengan veganisme. Selain itu, kamu juga bisa berpartisipasi dalam Tantangan 21 Hari Vegan, di mana selama 21 hari kamu akan menerima resep dan panduan makan dari ahli gizi secara gratis. Bagaimana, apakah kamu tertarik untuk mencobanya?
(ANL/DIR)