Sejujurnya, saya sudah mulai lelah dengan konten anak muda yang memamerkan sederet obat penyembuh "kejompoan" di media sosial. Entah itu minyak angin, obat masuk angin, balsem, bahkan koyo. Ya, walaupun tidak lebih menyebalkan dibanding memamerkan kekayaan yang didapat dari menipu banyak orang, tetap saja memamerkan sederet obat sebagai konsumsi harian-sekalipun obat-obatan tersebut legal tidak patut untuk dianggap normal.
Maksud saya, kenapa anak muda sekarang malah bangga mengaku "jompo" dan sakit-sakitan, sementara orang yang cucunya berbelasan saja, masih ada yang ngotot mengaku berjiwa muda perkasa, bahkan blak-blakan mengaku bujangan. Sungguh sulit dimungkiri, saat ini, konten pamer "kejompoan" begitu mudah ditemui di segala platform media sosial.
Di Tiktok, obat pereda "kejompoan" digenggam para pemuda sambil berjoget ria; di Twitter, mereka mengaku jompo sembari terus rebahan dan mencuitkan jokes absurd yang tampak menyegarkan; sedangkan di Instagram, "kejompoan" muncul di deretan titik InstaStory tengah hari yang menyambung kegiatan party si pengaku jompo pada malam sebelumnya. Jadi, sampai di sini, salahkah saya jika mulai menganggap fenomena mengaku jompo ini sebagai hal yang menyebalkan?
Ilustrasi jompo ditunjukkan di media sosial/ Foto: Cottonbro - Pexels |
Jika belum cukup menyebalkan, maka akan saya paparkan lebih jauh lagi. Di media sosial, berbagai kepsyen dengan istilah yang ramah SEO, juga ramai diungkap para pemuda perihal "kejompoan" mereka. Mulai dari klaim "Ikatan Remaja Jompo Nasional," lelucon sok asyik "Gak apa-apa jompo yang penting nggak jomlo," dan masih banyak lainnya. Sungguh, saya tidak tahan lagi dengan konten semacam ini.
Jadi begini, saya tidak bermaksud melarang orang merasa sakit. Saya tahu dengan jelas dan sadar, semua orang bisa terkena penyakit, tidak peduli berapapun usianya. Tetapi, apa yang terjadi belakangan ini, menjadi sulit untuk dicerna logika. Mengapa merasa mudah sakit dan rutin mengkonsumsi obat pereda sakit menjadi hal yang patut dipamerkan? Bukankah pamer penyakit atau pamer 'jompo starter kit' bukan budaya kita? Lagipula, bukankah perilaku semacam itu tidak termasuk gengsi yang bisa menaikkan derajat sosial anak muda?
Bukannya selama ini, anak muda lebih dianggap gaul apabila rajin pamer kegiatan yang bak sosialita? Seperti kehidupan sehari-hari yang diawali dengan mengunjungi coffee shop estetis penyedia croffle di waktu pagi; beranjak makan siang dengan menu roti burger vegetarian; hingga membuka botol alkohol di acara live music sambil mengenakan outfit berharga puluhan juta.
Ilustrasi jompo starter kit/ Foto: Polina Tankilevitch - Pexels |
Ah, saya jadi curiga. Jangan-jangan, berbangga mengaku sakit adalah privilege sebagaimana yang viral tempo hari, yang katanya bisa memudahkan kenaikan derajat sosial seseorang dan pantas membuatnya diperlakukan bak sultan. Atau mungkin, perilaku semacam ini merupakan kamuflase teranyar muda-mudi agar bisa dimaklumi secara sosial sehingga hobi rebahan mereka tidak lagi membutuhkan banyak alibi.
Sebenarnya, saya hanya mendambakan sebuah lingkungan daring dan luring yang dipenuhi semangat positif. Lingkungan yang lebih banyak membagikan kasih dan kebaikan, bukan menyebarkan gimmick berpenyakitan. Saya membayangkan, betapa asyiknya jika teman muda-mudi seangkatan merasa bahwa tubuhnya sehat dan kuat, selagi tetap menjaga pola dan gaya hidup sehat dengan penuh semangat.
Rasanya, hal seperti ini bisa lebih bermanfaat untuk masyarakat, bukan? Misalnya dapat memotivasi kerabat yang tengah berjuang melawan penyakit yang kronis, keluarga yang berjuang melawan COVID-19, atau menjadi stimulan bagi sahabat lain yang lalai soal kesehatan. Jadi, saya rasa, pemuda dan pemudi yang pamer merasa jompo itu seharusnya merasa malu. Malu karena menyia-nyiakan fisiknya yang sebenarnya sehat, dan malah terbuai rayuan obat-obatan yang menanggulangi nyeri/sakit secara singkat.
Ilustrasi mudah sakit/ Foto: Karolina Grabowska - Pexels |
Jika memang, para pemuda perasa jompo namun bermoto, "Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga" itu masih mau mewujudkan mimpinya, agaknya, menyudahi "kejompoan" dan mulai menjaga kesehatan yang sangat penting dilakukan, apalagi di tengah pandemi yang belum menemukan titik akhirnya. Sebab, dengan mengaku atau menjadi sakit, tidak ada manusia yang bisa bersenang-senang sepenuhnya; menjadi tua dan kaya raya pun akan sia-sia bila tidak sehat; dan bagaimana pula mau masuk surga, jika menjaga kesehatan yang sebenarnya menjadi anjuran Tuhan-tidak dilaksanakan?
Marilah bestie, sudahi meromantisasi rasa jompo di dirimu. Penyakitan bukan budaya kita, bukan pula sebuah privilege. Budaya kita adalah mengaku sebagai "anak sehat, bertubuh kuat, karena Ibu rajin dan cermat: memberi ASI, makanan bergizi dan imunisasi." Ayo bestie, jangan mau kalah dengan Sophia Latjuba, yang meski telah paruh baya tapi tetap rajin berolahraga. Tunggu apa lagi? Sudahi jompomu, mari semangat bersamaku!
(RIA/DIR)