Insight | Science

Mengapa Myanmar Rawan Mengalami Gempa Bumi yang Cukup Hebat?

Sabtu, 29 Mar 2025 14:31 WIB
Mengapa Myanmar Rawan Mengalami Gempa Bumi yang Cukup Hebat?
Gempa Bumi meruntuhkan bangunan yang ada di Myanmar dan Thailand/Foto: AP
Jakarta -

Beberapa wilayah di Myanmar dan Thailand baru saja dilanda gempa berkekuatan 7.7 Magnitudo pada Jumat siang (28/3). Gempa yang berpusat di Saigang, Myanmar Tengah tersebut berada di kedalaman 10 kilometer di atas permukaan bumi dan menimbulkan kerusakan yang cukup parah serta ratusan korban jiwa.

Namun siapa sangka, ternyata gempa yang cukup hebat ini bukan hanya terjadi kemarin saja. Antara 1930 hingga 1956, Myanmar mengalami gempa serupa dan sebagian besar di dekat Sesar Saigang. Bahkan pada Agustus 2016, gempa berkekuatan 6.8 Magnitudo juga melanda negara yang berbatasan dengan Thailand tersebut.

Lantas, apa yang membuat Myanmar menjadi langganan mengalami gempa yang cukup hebat selama beberapa dekade?

.Jalan-jalan menjadi terbelah usai gempa bumi melanda di Myanmar pada Jumat (28/3)/ Foto: AP

Myanmar yang Rawan Gempa

Menurut Peta Risiko Seismik Global, Myanmar merupakan salah satu wilayah yang punya aktivitas seismik paling aktif di dunia. Berada di antara dua lempeng tektonik   lempeng India dan Eurasia   Myanmar masuk ke dalam zona merah risiko gempa bumi sedang hingga tinggi.

Batas antara kedua lempeng ini disebut Sesar Saigang, yang diyakini oleh para ahli merupakan garis lurus panjang yang membentang sekitar 1.200 kilometer dari utara ke selatan melalui kota-kota seperti Mandalay dan Yangon. Tak mengherankan jika sekalinya terjadi gempa, korban jiwa cukup banyak karena letaknya berada di jantung kehidupan masyarakat di negara tersebut.

Menurut United States Geological Survey (USGS), gempa bumi Myanmar terjadi karena lempeng India dan Eurasia bergesekan satu sama lain. Inilah yang disebut dengan sesar geser. Pakar tektonik di Imperial College London, Dr. Rebecca Bell seperti dikutip Science Media Center mencoba membandingkan batas antara kedua lempeng itu dengan Sesar San Andreas yang terkenal di California.

"Sifat lurus berarti gempa bumi dapat terjadi di wilayah yang luas - dan semakin besar area patahan yang bergeser, semakin besar pula gempa bumi yang terjadi," ujarnya.

USGS memperkirakan bahwa hampir 800.000 orang yang ada di Myanmar mungkin berada di dalam zona guncangan paling mematikan dengan jumlah korban tewas diperkirakan akan meningkat tajam selama beberapa hari mendatang.

Hal ini bukan tanpa alasan, Dr Ian Watkinson yang berasal dari Departemen Ilmu Bumi di Royal Holloway, London University mengatakan, gempa bumi dangkal seperti yang terjadi kemarin lebih menimbulkan banyak kerusakan. Sebab, energi seismik tidak banyak hilang pada saat mencapai permukaan.

Ini juga didukung oleh pernyataan dari Direktur Gempa bumi dan Tsunami BMKG Daryono. Menurutnya bencana tersebut adalah fenomena Vibrasi Periode Panjang (Long Vibration Period), yakni akni fenomena gelombang gempa yang direspons oleh tanah lunak.

"Mengapa Bangkok bisa rusak akibat gempa Myanmar? Fenomena ini disebut efek Vibrasi Periode Panjang (Long Vibration Period) di mana gelombang gempa yang sumbernya jauh direspons tanah lunak," ujarnya seperti dikutip Detikcom.

Dia mengatakan bahwa gempa bumi yang terjadi di tanah lunak akan lebih berbahaya daripada yang tidak. Sebab menurut berbagai penelitian, reclaimed land adalah unconsolidated material yang sangat berbahaya jika terjadi gempa kuat.

Daryono menduga efek tersebut merupakan dampak dari ketiga energi gempa yang hanya terfokus pada satu arah saja.
"Kemungkinan kedua rusaknya bangunan di Bangkok disebabkan oleh efek direktivitas yaitu efek yang terjadi ketika energi gempa terfokus dalam satu arah. Efek ini dapat terjadi pada gempa bumi. Semakin tinggi direktivitas, semakin terkonsentrasi energi dalam satu arah," tuturnya.

.Bangunan yang ada di Thailand roboh dalam sekejap, Jumat (28/3)./ Foto: AP

Kurangnya Pengetahuan dan Kesiapan Bencana Gempa Bumi

Berbeda dengan negara atau wilayah yang sudah menjadi langganan gempa sejak dulu seperti California dan juga Jepang. Menjadi wilayah yang dilewati oleh lempeng-lempeng benua, membuat pemerintah mereka sudah siap bila bencana itu datang secara tiba-tiba.

Mulai dari pengetahuan penyelamatan diri ketika terjadinya gempa, infrastruktur dan teknologi untuk membantu mendeteksi gempa lebih awal, sampai mereka punya standarisasi membangun sebuah bangunan yang tahan gempa. Semua ini dimaksudkan agar korban jiwa, terutama akibat reruntuhan bangunan lebih bisa diminimalisir.

Hal itu jauh berbeda ketika kita melihat foto-foto dampak yang diakibatkan gempa pada Jumat siang itu. Di Thailand misalnya, tersebar video yang menunjukkan gedung percakar langit yang tengah dibangun, runtuh dalam sekejap dan menewaskan puluhan pekerjanya. Sementara di Myanmar, bangunan-bangunan tua dan konstruksi bangunan yang buruk, terlihat langsung runtuh dalam sekejap.

Menurut Watkinson, urbanisasi yang pesat di Myanmar memaksa negara itu mengalami ledakan pembangunan gedung-gedung tinggi yang terbuat dari beton-beton bertulang tanpa adanya standarisasi gempa.

Sepertinya para warga yang berada di Myanmar, Thailand dan sekitarnya belum bisa bernafas lega. Sebab Seismolog dari USGS, Will Yeck seperti dikutip AP mengatakan kemungkinan besar masih akan ada gempa susulan yang terjadi.

"(Gempa susulan) Mungkin bisa terjadi karena adanya perubahan tekanan di Bumi akibat gempa utama. Kamu mungkin akan mengalami gempa susulan selama beberapa bulan ke depan," ungkapnya.

(DIR/DIR)

Author

Dian Rosalina

Description
Have experience be a journalist at least 6 years now, And i'm a new wife.
NEW RELEASE
CXO SPECIALS