Curah hujan sejak beberapa hari lalu menunjukkan intensitas yang cukup tinggi. Akibatnya, sejumlah wilayah yang ada di Jabodetabek dilanda banjir dengan ketinggian air yang cukup dalam. Terutama di wilayah Bekasi, Tangerang, Bogor, Tangerang Selatan, Depok, dan juga beberapa wilayah di Jakarta.
Banjir memang selalu menjadi langganan wilayah Jabodetabek setiap musim hujan tiba. Siklusnya bahkan dengan mudah bisa dihitung yakni siklus 5 tahunan atau siklus 10 tahunan. Meskipun banjir telah menjadi hal biasa dialami warga, namun banjir kali ini sepertinya tidak bisa diabaikan begitu saja.
Pada Senin (3/3) malam, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dilaporkan mengalami banjir bandang. Terlihat dari beberapa unggahan warga di media sosial menunjukkan aliran sungai yang berubah deras menerjang pemukiman warga hingga merusak akses transportasi.
"Dikarenakan hujan deras dengan intensitas tinggi mengakibatkan aliran kali Ciliwung meluap ke rumah warga di sekitaran aliran kali," ungkap Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Bogor M Adam Hamdani di Cisarua, dikutip dari Antara.
Dikutip CNBC Indonesia, Deputi Bidang Meteorologi dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Giswanto mengatakan penyebab utama banjir bandang adalah hujan lebat hingga ekstrem. di mana hujan lebat hingga ekstrem ini disebabkan adanya Meso Scale Convective Complex (MCS).
MCS sendiri adalah suatu sistem yang terdiri dari kumpulan-kumpulan sel-sel konvektif dalam skala meso. MCS terbesar yang diamati secara luas di seluruh dunia didefinisikan sebagai Mesoscale Convective Complex (MCC). Karakteristiknya berbentuk hampir melingkar, bertahan lama dan memiliki suhu yang sangat dingin.
Walaupun BMKG telah mengeluarkan peringatan diri terkait intensitas hujan yang tinggi di wilayah tersebut, namun separah apapun banjirnya, wilayah Cisarua, Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah hulu sungai. Maka semestinya wilayah ini seharusnya tidak banjir, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Wilayah hulu menjadi daerah yang paling parah terdampak.
![]() |
Krisis Hulu Sungai yang Semakin Menjadi
Puncak, Bogor dikenal menjadi salah satu destinasi wisata favorit para warga Jakarta dan sekitarnya. Angka wisatawan yang stabil bahkan kerap melonjak di event tertentu, membuat potensi ekonomi di wilayah ini semakin menjanjikan. Hal ini juga diikuti oleh pertumbuhan jumlah masyarakat di wilayah tersebut.
Puncak yang dulunya dikenal sebagai wisata alam yang asri dan sepi, dalam kurun waktu beberapa dekade saja berubah menjadi wilayah padat penduduk. Lahan yang semakin terbatas membuat masyarakat akhirnya memaksakan dengan membangun bangunan yang nyaris menutupi aliran sungai. Ya, perumahan warga pun semakin dekat dengan aliran sungai yang membuat lebar sungai semakin menyempit.
Belum lagi kebiasaan buruk masyarakat yang masih membuang sampah di sungai menambah beban hulu sungai yang seharusnya bisa membawa debit air tanpa khawatir, sekarang menjadi momok yang menghantui warga yang tinggal di pinggir-pinggirnya.
Tak bisa dimungkiri cuaca ekstrem juga menjadi penyebab utama mengapa hulu sungai mengalami banjir bandang yang datang hampir setiap tahun. Dan selama puluhan tahun itu juga penduduk Kabupaten Bogor yang tinggal di daerah Puncak dan sekitarnya harus hidup dengan bencana hidrometeorologi yang diperparah oleh kerusakan alam akibat pembangunan yang tidak sesuai perencanaan.
Dikutip Kompas, dalam kurun waktu satu dekade saja, penduduk di kawasan Kabupaten Bogor harus mengalami berbagai peristiwa bencana alam. Mulai dari banjir bandang, angin puting beliung, longsor, hingga pergerakan tanah tiba-tiba. Selama satu dekade itu pula, puluhan orang menjadi korban jiwa, dan ribuan orang harus kehilangan tempat tinggalnya.
Namun pengalihfungsian hutan menjadi pemukiman, masalah sampah di sungai, kemampuan lahan yang tak layak lagi, kualitas air yang semakin menurun, hingga keberlanjutan pariwisata yang tidak sesuai dengan keadaan geografis memperparah kondisi hulu sungai Ciliwung ini. Padahal dilihat dari penggunaan lahannya, kawasan Puncak adalah tulang punggung area konservasi, daerah tangkapan air, perlindungan satwa, penghasil komoditas pertanian, dan tujuan wisata.
Sayangnya, praktik jual beli lahan negara yang berstatus hak guna usaha (HGU) perkebunan mudah ditemukan di kawasan ini. Bahkan beberapa lahan diperjualbelikan padahal letaknya berada di lereng curam dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Namun soal peminatnya, jangan ditanya tentu saja banyak bahkan dijadikan bangunan permanen.
![]() |
Nasib Wilayah Hilir yang Kian Terkikis
Padatnya wilayah hulu bukan menjadi satu-satunya permasalahan yang dihadapi oleh Jabodetabek, namun wilayah hilir sendiri juga bisa menjadi penyebab terjadinya banjir yang parah. Pembangunan pemukiman warga yang ada di sekitar pinggir kali juga bisa memicu tingkat keparahan banjir.
Bukan hanya pinggir kali, penglihfungsian lahan yang seharusnya menjadi penampung air justru menjadi pemukiman baru juga memicu banjir. Sebab secara geografis wilayah tersebut memang difungsikan sebagai penampung air hujan, sehingga banjir pun tidak terlalu parah seperti saat ini.
Penurunan permukaan tanah di wilayah Jakarta juga bisa menjadi faktor banjir yang semakin tinggi setiap tahunnya. Tanah di Jakarta menurun rata-rata 12 cm per tahun, bahkan lebih ekstrem terjadi di bagian pesisir utara Jakarta dengan laju penurunan hingga 25 cm per tahunnya.
Beban bangunan di permukaan dan ekstraksi air tanah berlebih turut mempercepat laju penurunan tanah. Apalagi hingga saat ini sekitar 35 persen warga Jakarta masih menggunakan air tanah untuk sehari-hari. Pemakaian air yang berlebihan dapat menurunkan permukaan tanah dan kapasitas penyimpanan air menjadi lebih rendah.
Banjir tak hanya menyebabkan rumah-rumah warga rusak, tetapi ada kerugian ekonomi yang terjadi dalam satu wilayah yang terdampak. Kerugian ekonomi banjir di Jakarta saja bisa mencapai Rp2,1 triliun per tahunnya. Angka tersebut berdasarkan perhitungan banjir mengakibatkan banyak aktivitas perekonomian lumpuh, seperti hari ini.
"Salah satu tantangan Jakarta itu masalah banjir. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah tengah melakukan mitigasi dengan normalisasi sungai. Kerugian ekonomi yang mencapai Rp 2,1 triliun per tahun ini perlu ditekan agar bisa sekecil mungkin," kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta Isnawa Adji dikutip Kompas.
Meskipun hampir setiap tahun pemerintah kota dan provinsi selalu berupaya untuk menanggulangi banjir lewat mitigasi seperti transisi energi, ruang terbuka hijau yang diperbanyak, optimalisasi waduk, memasang tanggul yang semakin tinggi, hingga aturan untuk mengatur ketahanan Kota Jakarta, namun jika seluruh upaya tersebut dilakukan semakin lambat, banjir akan terus menghantui hilir setiap tahunnya.
Maka perlu ada upaya dari pemerintah daerah yang menangani hulu dan hilir untuk bekerjasama mengatasi banjir yang terjadi setiap tahunnya ini. Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan, normalisasi sungai dengan memasang tanggul, optimalisasi danau untuk menampung luapan air saat hujan bisa membantu mencegah banjir yang semakin parah.
(DIR/DIR)