Insight | Science

Lockdown COVID-19 Ternyata Bikin Otak Remaja Rusak dan Lebih Cepat Menua

Senin, 07 Oct 2024 18:00 WIB
Lockdown COVID-19 Ternyata Bikin Otak Remaja Rusak dan Lebih Cepat Menua
Foto: Unsplash
Jakarta -

Selama COVID-19, kita dipaksa untuk berada di rumah saja dalam waktu yang lama. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi interaksi yang berpotensi terjadinya penularan virus tersebut. Namun ternyata lockdown yang dilakukan di seluruh dunia menimbulkan permasalahan lainnya, terutama di kalangan remaja.

Seperti yang kita ketahui, masa remaja merupakan periode transisi antara masa kanak-kanak ke dewasa yang ditandai dengan perubahan dramatis dalam perkembangan emosional, perilaku dan sosial. Masa ini juga waktu di mana remaja mencari identitas diri, kepercayaan diri, dan pengendalian diri. Akibat pandemi dan lockdown, interaksi sosial para remaja pun berubah.

Otak Remaja Jadi Lebih Cepat Menua

Dikutip dari Science Daily, studi yang diterbitkan Proceedings of the National Academy of Sciences melaporkan kalau ada bukti lebih lanjut tentang bagaimana gangguan pada rutinitas harian bisa menyebabkan masalah perilaku, gangguan makan, kecemasan, dan depresi pada remaja perempuan dan laki-laki.

Para ilmuwan di Institute for Learning & Brain Sciences (I-LABS) dari University of Washington menemukan bahwa pandemi mengakibatkan otak para remaja lebih cepat matang alias menua lebih cepat. Kondisi ini cenderung terjadi pada anak perempuan. Jika diukur dari segi jumlah tahun percepatan perkembangan otak, percepatan rata-rata adalah 4,2 tahun pada perempuan dan 1,4 tahun pada laki-laki.

"Kami menganggap pandemi COVID-19 sebagai krisis kesehatan. Tetapi kami tahu bahwa pandemi ini juga menghasilkan perubahan mendalam lainnya dalam kehidupan kita, terutama para remaja," kata Patricia Kuhl, peneliti utama dan salah satu direktur I-LABS.

Pematangan otak diukur berdasarkan ketebalan korteks serebral   lapisan jaringan terluar otak. Korteks serebral secara alami menipis seiring bertambahnya usia, bahkan pada remaja. Stres dan kesulitan kronis diketahui mempercepat penipisan korteks, yang dikaitkan dengan peningkatan risiko perkembangan gangguan neuropsikiatri dan perilaku. Mulai dari kecemasan dan depresi.

Mereka memulai penelitian menggunakan MRI pada 2018 untuk melihat bagaimana struktur otak 160 remaja dari wilayah Seattle berkembang seiring berjalannya waktu. Para peserta, yang jumlahnya hampir sama antara laki-laki dan perempuan berusia antara 9-19 tahun pada awal penelitian. Kelompok tersebut dijadwalkan kembali pada tahun 2020, tetapi pandemi menunda pengujian ulang hingga tahun 2021. Saat itu, tujuan awal untuk mempelajari perkembangan remaja pada umumnya tidak lagi memungkinkan.

"Begitu pandemi berlangsung, kami mulai memikirkan pengukuran otak mana yang akan memungkinkan kami memperkirakan dampak karantina wilayah akibat pandemi terhadap otak. Apa artinya bagi remaja kita untuk berada di rumah daripada berada di kelompok sosial mereka-tidak di sekolah, tidak berolahraga, tidak nongkrong?" kata Neva Corrigan, salah satu peneliti.

Mereka kemudian memeriksa ulang otak para remaja, lebih dari 80% di antaranya kembali untuk rangkaian pengukuran kedua. Otak para remaja menunjukkan efek umum penipisan yang dipercepat selama masa remaja, tetapi ini jauh lebih jelas pada remaja perempuan. Efek penipisan korteks pada perempuan terlihat di seluruh otak dan semua lobus dan kedua belahan otak, sementara pada remaja pria, efeknya hanya terlihat di korteks virtual.

Lebih Banyak Terjadi pada Remaja Perempuan

Dampak yang lebih besar pada otak perempuan dibandingkan otak laki-laki bisa disebabkan oleh perbedaan pentingnya interaksi sosial bagi anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Kuhl mengatakan kalau remaja perempuan yang seringkali lebih bergantung pada hubungan dengan remaja perempuan lainnya, memprioritaskan kemampuan untuk berkumpul, berbicara satu sama lain, dan berbagi perasaan. Sementara remaja laki-laki cenderung berkumpul melakukan aktivitas fisik.

"Mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa. Kemudian pandemi global melanda dan saluran pelepasan stres yang biasa mereka gunakan pun hilang. Saluran pelepasan itu sudah tidak ada lagi, tetapi kritik dan tekanan sosial tetapi ada karena media sosial. Tampaknya efek pandemi lebih dirasakan oleh anak perempuan. Semua remaja terisolasi, tetapi anak perempuan lebih menderita. Pandemi memengaruhi otak mereka jauh lebih dramatis," ungkap Kuhl.

Korteks serebral tidak mungkin menebal lagi, kata Kuhl, tetapi potensi pemulihan mungkin terjadi dalam bentuk penipisan yang lebih lambat seiring berjalannya waktu, setelah kembalinya interaksi sosial dan sarana komunikasi yang normal. Penelitian lebih lanjut akan diperlukan untuk melihat apakah ini yang terjadi.

"Pandemi memberikan contoh kasus untuk kelemahan otak remaja. Penelitian kami memperkenalkan serangkaian pertanyaan baru tentang apa artinya mempercepat proses penuaan di otak. Semua penelitian terbaik memunculkan pertanyaan baru yang mendalam, dan saya pikir itulah yang telah kami lakukan di sini," tutupnya.

(DIR/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS