Indonesia merupakan negara beriklim tropis. Dalam artian lain, Indonesia hanya mengalami dua musim; musim hujan dan musim kemarau. Seperti yang sudah kita ketahui, beberapa titik di wilayah Indonesia memang memiliki suhu yang lebih tinggi dibanding daerah lain. Sehingga, saat musim kemarau atau musim panas tiba, daerah-daerah tersebut tentu bisa mencetak suhu hingga lebih dari 33 derajat Celcius.
Diapit oleh dua samudra dan dua benua, wilayah Indonesia dilewati oleh angin muson. Ini yang menyebabkan terjadinya musim hujan dan musim kemarau. Saat musim kemarau tiba di Indonesia, posisi matahari sedang berada pada belahan Bumi bagian utara, terutama pada bagian Asia yang banyak menerima pemanasan matahari. Hal ini berakibat suhu di benua Asia menjadi tinggi dengan tekanan udara yang rendah. Kemudian, angin muson akan bergerak dari Australia menuju Asia, yang menyebabkan Indonesia mengalami musim kemarau karena angin yang membawa sedikit uap air.
Idealnya, musim kemarau di Indonesia dimulai pada bulan April hingga bulan Oktober. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa hal itu dapat berubah atau bergeser. Faktor yang mempengaruhi waktu musim kemarau di Indonesia sendiri adalah sebuah fenomena yang dinamakan El Nino. Secara definisi, El Nino merupakan pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normal yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Dampak El Nino sendiri adalah berkurangnya curah hujan di wilayah Indonesia yang akhirnya memicu terjadi kondisi kekeringan di wilayah Indonesia secara umum.
Awalnya, terminologi El Nino digunakan oleh nelayan di pantai Ekuador untuk menunjukkan adanya arus panas yang muncul saat Natal hingga beberapa bulan berikutnya. Saat waktu itu tiba, jumlah ikan pun menurun karena adanya arus panas. Sehingga, nelayan akan memanfaatkan fenomena tersebut untuk kembali ke darat dan menyisihkan waktu jauh dari laut untuk beristirahat dan menghabiskan waktu bersama keluarga.
Tahun ini, El Nino diprediksi berkunjung ke Indonesia hingga memunculkan musim kemarau kering. Prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa curah hujan di Indonesia akan semakin berkurang dan berpotensi memunculkan kekeringan hingga kebakaran hutan dan lahan.
Musim Kemarau/ Foto: Unsplash |
Tiga tahun ke belakang, Indonesia mengalami musim kemarau yang basah atau curah hujan berlebih akibat fenomena La Nina yang mencapai 70% atau hingga 100%. Namun, indeks El-Nino Southern Oscillation (ENSO) pada 10 hari pertama Januari 2023 berada di angka 10, 08 yang mengindikasikan bahwa La Nina terus melemah dan diprediksi semakin menuju netral hingga Maret 2023. La Nina yang terjadi selama tiga tahun berturut-turut ini akhirnya meluruh sehingga kondisi akan kembali relatif lebih hangat di beberapa bagian Pasifik tropis. Untuk enam bulan ke depan, BMKG memprediksi sifat hujan bulanan di tahun 2023 akan relatif menurun dibanding curah hujan di Indonesia selama 3 tahun terakhir. Melansir CNN Indonesia, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Dodo Gunawan, menambahkan El Nino lemah punya peluang 50 persen hadir pada Juni hingga Agustus.
Sebelumnya, rekor tahun terpanas dipegang oleh tahun 2016 di mana kala itu, pola iklim El Nino di Pasifik telah mendorong suhu global di atas tren pemanasan global. Indonesia sendiri mengalami kenaikan suhu hingga 0,8 derajat Celcius di tahun 2016. Lebih lanjut, Met Office Inggris memprediksi bahwa tahun 2023 akan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah dunia yang mana suhu rata-rata global akan mengalami kenaikan sekitar 1,2 derajat Celcius. Jika prediksi ini jadi nyata, maka suhu wilayah di Indonesia pada tahun 2023 akan serupa dengan tahun 2016 yang berarti bahwa Indonesia bisa saja mengalami kekeringan yang ekstrem.
(HAI/alm)