Akhir-akhir ini, sepertinya hampir setiap sudut daerah dan kota di Indonesia selalu terdengar suara bising ketukan dua bola mainan yang dimainkan oleh anak-anak hingga orang dewasa. Bahkan di pinggir-pinggir jalan ramai dijajakan alat permainan ini dan selalu saja tak sepi pengunjung. Mereka menyebutnya latto-latto, dua buah bola plastik keras terhubung tali yang mengeluarkan bunyi ketukan keras ketika keduanya diadu secara bersamaan.
Entah apa alasannya permainan ini begitu digemari oleh anak-anak. Namun mereka merasa bahwa bunyi-bunyian yang muncul dari latto-latto menimbulkan kepuasan tersendiri. Meskipun kenyataannya, suara yang dihasilkan oleh ketukan dua benda tersebut sangat mengganggu dan dapat menyebabkan stres bagi orang yang mendengarnya secara terus-menerus, tapi latto-latto ini dulu digunakan untuk kemajuan ilmu pengetahuan modern.
Permainan dua bola ini sebenarnya merupakan alat peraga ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh Isaac Newton untuk menguji coba rumus gaya yang diciptakannya. Ada tiga Hukum Newton yang bisa menjelaskan bagaimana pergerakan latto-latto ini.
Hukum Newton I menjelaskan bahwa saat gaya yang dihasilkan pada dua benda yang komposisinya sama, maka benda yang awalnya diam akan tetap terus diam, lalu benda yang awalnya bergerak lurus beraturan maka akan tetap bergerak lurus beraturan dengan kecepatan yang tetap. Lalu latto-latto yang digerakkan oleh gaya tegang tali akan menyebabkan Hukum Newton II yakni perubahan arah gerak benda akan terjadi jika diberikan gaya dari luar.
Kemudian peristiwa latto-latto atau clackers yang saling berbenturan akan memperagakan Hukum Newton III yakni, jika suatu benda memberikan gaya pada benda lain, maka benda yang mendapatkan gaya akan memberikan gaya yang sama besarnya dengan yang diterima dari benda pertama, namun arahnya berlawanan.
Latto-latto kini memang tengah digemari oleh masyarakat Indonesia, bahkan di beberapa daerah sampai mengadakan perlombaan berhadiah bagi siapa saja yang mampu menggerakkan latto-latto dalam waktu lama. Tapi tanpa disadari alat peraga ilmu pengetahuan yang dianggap menyenangkan ini menyimpan ancaman bagi yang memainkannya maupun orang di sekitarnya. Apa alasannya ya?
Ilustrasi latto-latto/ Foto: GroovyHistory |
Dulu Menyenangkan, Kini Jadi Penyebab Kecelakaan
Sebenarnya kepopuleran latto-latto di seluruh dunia mencapai kejayaannya pada akhir 1960an. Sama seperti hari ini, pada saat itu orang-orang tergila-gila dengan dua bola kecil berat di atas senar yang bersuara memekakkan telinga itu. Latto-latto sendiri mempunyai desain yang mirip dengan boleadoras, sebuah senjata yang digunakan oleh gaucho atau koboi Argentina untuk menangkap Ilama.
Kepopuleran permainan ini pada masa itu pun layaknya hari ini, di mana orang-orang membuat perlombaan latto-latto. Contohnya, provinsi terkecil di Italia bernama Calcinatello yang sampai mengadakan kompetisi tahunan untuk penggemar latto-latto. Meskipun permainan ini dianggap menyenangkan dan dipasarkan dengan tujuan sebagai alat pembelajaran anak-anak, namun fakta bahwa mainan tersebut berubah jadi proyektil karena dapat meledak akibat benturan keras terus-menerus, membuat berbagai negara akhirnya melarang peredarannya.
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat pada tahun 1971 akhirnya turun tangan untuk menetapkan standar mainan yang aman untuk dimainkan oleh masyarakat. Akibatnya para produsen mainan yang lebih dikenal dengan sebutan clackers ini kesulitan untuk memasarkannya karena dianggap berbahaya dan dapat menyebabkan kebutaan jika terkena mata.
Meskipun permainan ini telah dilarang di berbagai negara di seluruh dunia karena berbahaya, sepertinya Indonesia masih belum menyadari ancaman yang mengintai, terutama bagi anak-anak. Sampai beberapa waktu lalu muncul pemberitaan tentang seorang anak di Kubu Raya, Kalimantan Barat terkena pecahan latto-latto di matanya setelah meledak usai dimainkan. Ia pun harus menjalani operasi mata lantaran luka yang disebabkan mainan tersebut.
Latto-latto/ Foto: Shutterstock |
Mengganggu Konsentrasi
Menyadari bahaya yang mengintai di balik permainan menyenangkan itu, dinas pendidikan di beberapa daerah melarang anak-anak membawa latto-latto ke sekolah. Tak hanya itu, pelarangan tersebut juga dilakukan agar permainan ini tidak mengganggu proses kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Pesisir Barat, Lampung melarang para siswa untuk membawa latto-latto ke sekolah.
Larangan itu pun disampaikan lewat surat edaran bernomor 420/13/IV.01/2023 yang menyebutkan bahwa alasan larangan tersebut karena keberadaan permainan itu dianggap menghilangkan fokus para pelajar. Disdik pun khawatir latto-latto bisa dijadikan senjata oleh anak-anak jika terjadi keributan di lingkungan sekolah.
"Pada dasarnya kami tidak melarang untuk anak-anak bermain latto-latto, tapi yang kami larang latto-latto dibawa ke lingkungan sekolah pada saat kegiatan sekolah. Kami juga menghindari jika terjadi keributan sesama siswa dan latto-latto dijadikan alat, maka kami larang dimainkan di lingkungan sekolah," ujar Kasdik Kabupaten Pesisir Barat, Edwin Kastoladi dikutip Detik.
Tak hanya mengganggu konsentrasi, bebunyian yang dihasilkan dari hentakkan latto-latto pun bisa menyebabkan gangguan pendengaran seseorang. Praktisi kesehatan dr Ahmad Wahyuddin, SpTHT-KL dari Primaya Hospital Depok mengatakan suara yang dihasilkan dari permainan ini bisa berdampak langsung pada gangguan pendengaran jika dimainkan di ruang tertutup.
Permainan latto-latto mungkin dianggap menyenangkan bagi sebagian orang dan bisa menjadi solusi atas kecanduan gadget yang banyak dialami anak-anak dalam dekade terakhir. Tapi sepertinya alat peraga tersebut juga bukan solusi jangka panjang yang bisa menjadi pilihan, karena bahaya yang mengintai di baliknya.
Latto-latto yang menjadi hype membuktikan bahwa kita bukannya kekurangan permainan tradisional, atau anak-anak yang tidak mau memainkannya, melainkan promosi yang kurang dilakukan untuk memperkenalkan kembali permainan tersebut di tengah masyarakat modern saat ini. Semoga saja, latto-latto pun bisa digantikan dengan permainan yang lebih aman seiring waktu.
(DIR/alm)