Belasan tahun yang lalu, ada masanya televisi Indonesia dipenuhi dengan reality show luar negeri. Salah satu yang cukup laris pada masa itu adalah Fear Factor, di mana para peserta harus menyelesaikan tantangan ekstrem demi mendapatkan uang. Banyak di antara episode Fear Factor menantang peserta untuk mengonsumsi hal-hal yang menjijikkan, seperti bokong kuda, wine cacing, hingga jus yang terbuat dari daging tikus. Meski terlampau ekstrem, nyatanya tayangan ini tetap digemari.
Memasuki era digital, konten-konten yang membuat jijik bisa kita temukan hampir di setiap sudut internet. Mulai dari video pimple-popping, video yang menunjukkan luka borok, hingga video ratusan kecoa, semua dengan mudahnya tersebar di internet. Selain mudah tersebar, beberapa orang bahkan tergoda untuk mencarinya. Logikanya, ketika melihat sesuatu yang menjijikkan, hal pertama yang dilakukan adalah menghindar. Tapi sebaliknya, sebagian dari kita justru menikmati dan merasa puas ketika menyaksikan konten-konten seperti ini. Mengapa demikian?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengetahui dulu bagaimana rasa jijik bekerja. Rasa jijik pada dasarnya adalah jenis emosi yang memicu kita untuk menghindari sesuatu. Ketika kita merasa jijik, tubuh kita sebenarnya sedang memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang berpotensi membahayakan. Pada mulanya, rasa jijik berkaitan dengan sesuatu yang kita konsumsi. Menurut Charles Darwin, insting inilah yang membuat nenek moyang manusia bisa bertahan hidup, karena terhindar dari makanan yang busuk atau beracun.
Seiring waktu, rasa jijik berevolusi menjadi lebih luas. Manusia juga merasa jijik dengan patogen berbahaya yang bisa ditularkan melalui penyakit, hewan, atau luka di tubuh. Selain itu, rasa jijik juga merembet ke hal-hal yang dianggap tak bermoral; misalnya jijik terhadap hubungan inses atau jijik terhadap perilaku rasis.
Pada akhirnya, rasa jijik membuat manusia bisa bertahan hidup. Akan tetapi, kenikmatan dan dan kepuasan yang muncul dari melihat hal menjijikkan adalah suatu fenomena psikologis. Menurut profesor psikologi Clark McCauley, ketertarikan terhadap konten menjijikkan berkaitan dengan tendensi manusia untuk mencari pengalaman negatif di lingkungan yang bisa mereka kontrol dan relatif aman.
McCauley mencontohkan, orang-orang yang naik roller coaster bisa merasakan sensasi atau gairah yang membuat jantung berdebar-debar, tanpa harus menghadapi ancaman yang berbahaya. Hal ini berlaku juga untuk rasa penasaran terhadap hal-hal yang dianggap menjijikkan. Jadi sebenarnya, rasa kepuasan yang muncul dari menonton konten menjijikkan tidak bisa dikategorikan sebagai abnormalitas. Sebab nyatanya, manusia memang punya tendensi untuk mencari tahu hal-hal yang buruk bagi mereka.
(ANL/alm)