Era teknologi mengubah banyak hal dalam kehidupan, tidak terkecuali, gaya berkomunikasi dan hubungan romansa antarmanusia. Buktinya, semenjak era digital datang, banyak orang yang lebih memilih menebar pesona asmaranya melalui dating apps. Meski begitu, setelah kurang lebih satu dekade dimanfaatkan, para ahli justru mengungkap pengaruh signifikan dating apps terhadap otak dan kehidupan manusia.
Hari ini, penggunaan dating apps kerap dianggap sebagai corong utama dalam mencari pasangan. Tak heran jika karakteristik dan spesifikasi dating apps semakin beragam dan menyesuaikan kehendak para calon sekaligus penggunanya. Merujuk databoks.katadata, setidaknya terdapat 10 dating apps popular seperti Tinder, Bumble, dan lainnya yang telah diunduh sebanyak 216,4 juta kali per tahun 2021.
Sementara merujuk businessofapps.com, sejak awal berkembang sampai tahun 2021, aplikasi kencan daring disebut telah dipergunakan oleh sekitar 323,9 juta orang di seluruh dunia. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 10,3% dari tahun sebelumnya, dan diperkirakan akan cukup stabil pada akhir tahun 2022 ini.
Melihat data tersebut, ditambah dengan fakta kebiasaan orang-orang di sekitar kita yang rajin bermain dating apps, hipotesa bahwa dating apps dapat memberi pengaruh signifikan terhadap otak dan kehidupan manusia, tampak layak untuk mendapat perhatian dan tidak boleh ditolak secara mentah-mentah. Faktanya, semenjak dating apps datang, dunia perkencanan telah jauh berubah.
Baik-buruk pengaruh Dating Apps kepada para pengguna
Ada satu kepastian yang mutlak dimiliki seseorang saat menggunakan dating apps secara serius, yakni mencari pasangan dengan ketertarikan yang sama. Masalahnya, di tengah jalan, tidak semua jalinan pada situs penjajakan online tersebut berbuah manis. Paling tidak, pengalaman kurang menyenangkan di dating apps menimbulkan istilah ghosting serta memvalidasi tuduhan PHP (Pemberi Harapan Palsu) pada sesama penggunanya.
Lebih jauh lagi, bmcpsychology pada salah satu penelitiannya pernah menemukan bahwa, para pengguna dating apps yang militan, cenderung memiliki tingkat depresi, kecemasan, dan kesengsaraan lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakan aplikasi kencan. Dampak buruk di atas umumnya ditemukan pada pengguna yang bermain dating apps untuk jangka waktu yang tidak sebentar dan intens. Kendati demikian, 40,4% sampel dalam penelitian ini malah mengaku bahwa harga dirinya cukup terdampak positif akibat menggunakan dating apps.
Di samping itu, menurut penelitian FC Donders Center for Cognitive Neuroimaging, dengan melihat orang yang membuat kita tertarik di dating apps, maka akan mengaktifkan nucleus accumbens, suatu wilayah di otak manusia yang bekerja ketika seseorang mendapat konsekuensi menyenangkan, seperti halnya saat memenangkan hadiah-atau dalam hal ini, menemukan match usai berpuluh-puluh hingga ratusan kali swipe profile.
Pada titik tertentu, terlampau aktif di dating apps mungkin dapat menjadi penyebab utama hilangnya kepekaan dalam hubungan antarmanusia. Sebab pada hakikatnya setidaknya bagi saya sendiri jalinan asmara adalah sebuah lanskap yang berada di ranah emosi dan spontanitas, sehingga teknologi tidak bisa diandalkan sebagai pilihan utama.
Mungkinkah mencari jodoh lewat bantuan teknologi mengurangi kepekaan hubungan antarmanusia?
Lucunya, meski sering tidak disadari, semakin ke sini para pengguna dating apps mulai menganggap 'menggeser-geser profile' di layar adalah sarana pelepas kejenuhan dan tidak melulu soal mencari pasangan. Untuk hal ini, Pew Research bahkan mengungkap bahwa 45% orang yang telah menggunakan aplikasi kencan punya banyak alasan: mengapa mereka merasa lebih frustasi karena terlampau mengandalkan situs kencan.
"App dating menjadi sangat membatasi bagi sebagian orang yang menganggap seluruh proses itu membosankan, memakan waktu, dan mengintimidasi," kata Marc Hekster, konsultan psikologi klinis, seperti dilansir dari Stylist. Marc juga menambahkan, "Proses membuka aplikasi, menemukan kecocokan, mengobrol, dan mulai terlibat telah menjadi bagian integral dari keterlibatan sosial, tetapi juga mengungkapkan pola kecanduan sosial dalam romansa."
Sampai di sini, eksistensi aplikasi kencan tidak lagi mutlak dianggap sebagai medium pencari jodoh yang murni. Sebab sebagaimana platform media sosial lainnya, dating apps juga dirancang untuk membuat ketagihan, sebuah konsep yang sepenuhnya bertentangan dengan niat yang diiklankan. Sederhananya, didorong untuk menghabiskan seluruh waktu Anda mencari cinta didasarkan pada gagasan bahwa Anda tidak akan pernah menemukannya. Oleh karena itu mengapa banyak ahli berpendapat bahwa aplikasi kencan sebenarnya mempersulit orang untuk berkencan.
"Orang-orang akan bereaksi dalam hitungan detik terhadap gambar profil orang lain, baik menggesek ke kiri hampir seketika atau memilih untuk mencocokkan dengan preferensi mereka tanpa memikirkan alasan tertentu, di luar bagaimana mereka muncul di layar," lanjut Marc Hekster. "Dengan demikian, bayangan stereotip yang agak kejam mungkin saja muncul di antara pengguna baik secara online maupun offline."
Secara ironik, fenomena ini memang sesuai dengan bagaimana aplikasi kencan dirancang sejak awal. Menurut Nancy Jo Sales, penulis Nothing Personal: My Secret Life In The Dating App Inferno, "Mekanisme swipe itu sendiri dirancang untuk mengubah kencan menjadi permainan kasino." Senada dengan ucapan Nancy, pembuat dokumenter Swiped: Hooking Up In The Digital Age, Jonathan Badeen juga bilang kalau 'mekanisme menggesek seperti mesin slot'."
Simpulnya, selama berkembang satu dekade ke belakang, dating apps yang awalnya dimanfaatkan sebagai biro jodoh online malah beranjak menjadi sebuah game penyebab candu bagi para pengguna-yang juga bisa membosankan. Dan faktanya, aktif di dating apps layaknya sedang memainkan sebuah game tidak akan berhasil baik bagi manusia, karena menang atau kalah seharusnya tidak menjadi urgensi dalam hubungan asmara.
(RIA/tim)