Tidak ada yang pernah mau terjebak dalam toxic relationship dan menciptakan pengalaman yang traumatis. Saya ingat saat saya masih di sekolah menengah dulu, banyak teman-teman saya terjebak dalam hubungan macam ini. Bahkan saya pun tak luput dari pengalaman memilukan dan membekas hingga saat ini tentang toxic relationship.
Beberapa orang mengatakan bahwa seseorang yang terjebak dalam hubungan tersebut adalah orang yang bodoh. Sebab, sudah tahu bahwa menjalani romansa tersebut akan membuat sakit hati tetap saja dilakukan. Namun, bagi saya yang mengalaminya langsung, bukan hal mudah untuk lepas dari jeratan hubungan beracun ini. Sering kali saat ingin lepas dari jeratan pelaku toxic relationship, mereka akan mencoba memanipulasi perasaan dan emosi kita berkali-kali.
Saya beruntung bisa lepas dari jeratan hubungan ini, dan mencoba memiliki hubungan yang sehat setelahnya. Namun bagi sebagian teman-teman saya saat itu, setelah mereka lepas dari toxic relationship yang satu, mereka selanjutnya kembali terjerembab masuk perangkap hubungan yang sama dengan orang berbeda. Lalu, benarkah kita benar-benar bodoh karena terus berulang kembali ke hubungan itu, atau ada penyebab lainnya?
Dilansir Glamour, seorang pembaca mengirimkan sebuah postingan mengenai dirinya yang selalu terjebak dalam hubungan ini dan bertanya-tanya apa penyebabnya. Emily Morse, seorang dokter seksualitas manusia menjawab pertanyaan tersebut, di mana selalu terikat dalam hubungan serupa bukan salah kita, melainkan otak kita telah terprogram untuk mencari orang yang tidak baik untuk kita.
Saat kita mendapatkan pria dengan sifat narsis dan sosiopat, sebenarnya karena 'ketagihan' kita. Proses ini melibatkan sekelompok zat kimia dan hormon yang diproduksi otak kita yang membuat campuran kuat ketertarikan yang--ironisnya, tidak ada hubungannya dengan orang yang kamu kencani dan semuanya berkaitan dengan perilaku mereka yang tidak bisa dipahami.
Misalnya kamu bingung kenapa kamu tidak bisa melepaskan si dia dan mengakhiri hubungan yang plin-plan padahal kamu sudah berusaha keras untuk menyelesaikannya. Itu bisa jadi disebabkan karena kita telah terbiasa dengan siklus perhatian obsesif yang ditunjukkan kekasih kita. Ditambah tidak ada penolakan dari kita dan menganggapnya bagian dari cinta. Secara tidak langsung otak kita terpikat pada 'pasang-surut' sensasi perhatian itu, layaknya efek narkotika.
Ketika pasangan kamu menunjukkan cinta dan perhatian kepadamu, dopamin dan serotonin dilepaskan di otak yang menciptakan emosi mesra. Namun ketika mereka berhenti memberikan perhatian itu, otakmu secara tidak langsung menginginkannya lagi. Ini dikenal sebagai 'daya tarik frustasi'. Alih-alih rasa cinta yang kamu rasakan berkurang karena ditinggal, justru permainan tarik-ulur seperti ini membuat kamu semakin cinta karena terus mencari kenyamanan itu.
Setelah pola ini terus berulang, kamu secara tidak sadar mulai mencari orang-orang yang menyakiti emosionalmu. Seperti pria atau perempuan yang suka melakukan ghosting atau gaslighting. Ketika kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan, misalnya perhatian, otakmu akan melepaskan dopamin dan kamu merasa menang. Namun ketika pasanganmu menghilang, yang kamu pikirkan adalah mengapa dia tidak memberikan 'asupan rasa' kepadamu. Pola bolak-balik inilah yang membuat kamu kecanduan.
Jadi, ikatan obsesif yang kuat yang kita rasakan dengan 'bad boy' dan 'bad girl' ini berasal dari susunan biokimiawi kita--bukan moral atau standar pribadi kita. Dopamin yang dilepaskan dalam situasi ini menyebabkan otak kita mengasosiasikan kesenangan dengan aspek menyakitkan dari hubungan kita. Jadi kunci untuk mengatasi kecanduan ini adalah membalikkan siklus dengan pengalaman baru dan sehat.