Rene Descartes pernah mengemukakan gagasannya perihal eksistensi manusia. Katanya, "cogito ergo sum", artinya "aku berpikir, maka aku ada." Secara singkat, gagasan tersebut menjelaskan bahwasannya manusia akan menjadi lebih utuh dan eksis ketika manusia itu berpikir. Syahdan, sekadar berpikir saja ternyata belum cukup untuk mengantar manusia ke derajatnya yang tertinggi, karena berpikir juga bisa salah.
Di masa modern, berpikir bagi manusia didefinisikan kembali ke ranah yang lebih lanjut, di mana terdapat kekeliruan, bias dan sejumlah kesesatan. Hal-hal barusan sering terjadi bagaikan kesilapan yang luput dari kesadaran kita semua, juga menjadi kerugian besar karena kerap merugikan para korban dari pemikiran yang salah. Untuk itu, manusia perlu berpikir dengan benar dalam menghidupi hidupnya.
Kembali ke poin Descartes yang menggagaskan "aku berpikir, maka aku ada," tersirat bahwa dalam berkehidupan, manusia tidak boleh berhenti berpikir. Hal ini selaras dengan kodrat manusia itu sendiri, yang memang diciptakan Tuhan untuk terus belajar dan berpikir. Dalam memaksimalkan kinerja alat pikirnya, yakni otak, manusia memerlukan banyak pengetahuan serta pelatihan berpikir agar tidak terjerembab pada bias-bias atau kesalahan yang malah menghasilkan ketidakrasionalan.
Atau paling tidak, manusia bisa menghindari segala macam bias dan kesalahan lewat berkenalan dengan beberapa jenis bias dan kesesatan pikir yang umum ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Perihal bias dalam berpikir dan kecacatan logika, hal ini diterangkan lebih lanjut oleh seorang praktisi filsafat asal Yogyakarta, Fahruddin Faiz dalam bukunya yang berjudul Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika.
Dalam buku tersebut, cognitive bias dan logical fallacy yang sering terjadi di kehidupan dibahas secara gamblang demi menyudahi kesalahan-kesalahan yang ada. Untuk itu, pada tulisan ini kami akan mencoba mengulas beberapa bias dalam berpikir, yang sering kita temui dan cukup mempengaruhi kehidupan, di antaranya adalah action & association bias, information bias, framing, conjunction bias, dan beberapa lainnya.
Ilustrasi berpikir/ Foto: Pixabay |
Action Bias
Action bias ditemukan pada pengambilan tindakan di situasi yang rancu, di mana standar ketepatan serta efektivitasnya belum memiliki patokan. Bias berpikir ini terwakili oleh tindakan yang cuma-cuma atau sekadar dilakukan. Seperti pada beberapa pernyataan berikut ini. "Yang penting ahlinya sudah bertindak, berarti urusan beres," atau "Yang penting sudah berusaha, hasilnya bisa dimaklumi". Contoh lainnya adalah ungkapan yang sering kita temui di dunia akademik, yakni, "Asal sudah mengumpulkan tugas, maka mahasiswa akan diluluskan."
Pernyataan-pernyataan di atas jelas mengandung unsur action bias karena kualitas atau efektivitasnya terbilang minim. Karena, jika seorang ahli telah bertindak, belum tentu semuanya terselesaikan dengan baik sebab banyak unsur lain yang turut berpengaruh. Sama halnya dengan usaha atau tugas yang sekadarnya, lalu menggantungkan harapan kepada hasil kemudian. Hal-hal itu bukanlah sikap yang bijak karena usaha yang seadanya sama dengan hasil seadanya, atau bisa saja lebih buruk dari yang dibayangkan. Pada action bias, orang cenderung menganggap bahwa lebih baik melakukan sesuatu daripada diam, sekalipun tindakan yang dilakukan tersebut tidak memiliki kualitas dan efektivitas.
Association Bias
Bias satu ini mirip dengan perilaku cocoklogi yang banyak diterapkan masyarakat. Association bias menjadi suatu kesesatan berpikir karena hal-hal yang kerap dihubungkan ternyata tidak berhubungan sama sekali, namun tetap dirasa memiliki kausalitas. Misalnya pada pernyataan berikut: "Setiap kali mengenakan jersey putih-putih, AC Milan pasti menang di partai final." Atau "Jika seekor burung gagak berbunyi dan hinggap di atap rumah, maka seorang yang ada di rumah tersebut pasti akan meninggal".
Association bias terjadi secara alami karena manusia merasa apa yang pernah terjadi sebelumnya pasti akan berulang apabila memiliki formula yang sama. Padahal, kesimpulan dari cara berpikir semacam ini bisa jadi sangat keliru karena faktor tersebut belum tentu berkaitan. Seperti AC Milan yang pernah kalah di final meski telah berseragam putih-putih, atau anggota keluarga yang rumahnya dihinggapi gagak justru panjang umur. Intinya, dua kasus tersebut memang tidak bergantung pada asosiasi yang ada namun pada faktor lainnya. Sepak bola mengandalkan strategi dan kemampuan mencetak gol untuk menang sementara kematian adalah takdir Tuhan dan bukan pertanda lewat burung.
Ilustrasi berpikir/ Foto: Pixabay |
Conjunction Bias
Kekeliruan berpikir berikut ini terjadi ketika manusia cenderung tertarik dengan segala yang terlihat "lebih harmonis" atau "lebih masuk akal", meski yang "kurang harmonis" bisa saja berisikan hal yang sama. Misalnya pada dua pernyataan berikut, yang sebenarnya berarti sama namun berbeda ungkapan. Pertama, "Bandara Adisucipto ditutup sehari. Semua penerbangan dibatalkan". Selanjutnya, "Bandara ditutup sehari karena cuaca buruk, semua penerbangan dibatalkan".
Dari dua pernyataan barusan, manusia cenderung menerima yang kedua meskipun pernyataan pertama juga memuat suatu kebenaran: yakni bandara ditutup, meski tanpa penjelasan lebih lanjut. Alasan mengapa pernyataan kedua lebih disukai dan diterima adalah karena manusia menganggapnya lebih masuk akal dan memiliki sebab-akibat yang layak. Itulah yang disebut dengan conjunction fallacy, di mana berpikir secara intuitif lebih dominan dipilih daripada berpikir secara logis, sekalipun inti dari kesimpulan atau tindakan yang ada memuat suatu kesamaan mendasar.
Information Bias
Bias ini terjadi saat seseorang menganggap semakin banyak informasi yang diperoleh, maka akan semakin benar pula keputusan yang bisa diambil. Kekeliruan berpikir semacam ini sering terjadi di saat kita tengah memilah tempat staycation/restoran yang tepat untuk dikunjungi. Sering kali, sekalipun kita sudah merasa cocok dengan satu pilihan di awal, kita malah tetap menggali informasi tempat lain, demi mendapat keputusan yang lebih tepat. Meskipun pada ujungnya, kita tetap saja kembali ke pilihan yang dirasa cocok di awal.
Banyaknya informasi yang kita peroleh justru akan menjadi suatu pola kekeliruan dalam berpikir. Sebab dengan begitu, kita menjadi tidak tepat guna dalam mencari pilihan yang utama dan hanya menghasilkan kesia-siaan demi suatu ego yang kita harap dapat mendapuk pilihan pertama itu sendiri sebagai keputusan yang benar dan tidak akan disesalkan. Pada bukunya, Fahruddin Faiz mengutip Daniel J. Boorstin perihal bias informasi. "Halangan terbesar bagi penemuan baru bukanlah ketidaktahuan-namun ilusi pengetahuan."
Ilustrasi bias berpikir/ Foto: Pixabay |
Framing
Bias berpikir ini merupakan suatu teknik yang kerap ditemukan pada praktik komunikasi, di mana hal yang terpenting adalah bagaimana cara kita mengatakan sesuatu dan bukan tentang apa yang akan dikatakan. Manusia memang lebih senang merespon sesuatu yang diterima secara lebih menenangkan. Seperti yang terlihat dari cara kita menerima promosi sebuah produk. Contohnya, orang akan lebih menganggap daging yang diklaim 99 persen bebas lemak sebagai produk yang sehat, ketimbang menerima informasi tentang daging yang mengandung lemak sebesar 1 persen.
Padahal jika dicermati lebih jauh, dua deskripsi daging tersebut memiliki suatu kesamaan. Hanya saja, promosi awal membesarkan kandungan daging sementara yang kedua justru meng-highlight ketidaksehatan dari daging itu sendiri. Atau bisa juga dilihat dari cara kita memamerkan hidup di media sosial, di mana sifat glamor, mewah, dan serba enak, adalah hal-hal utama yang kita bagikan, meskipun terdapat banyak perjuangan dan penderitaan di belakangnya.
***
Itulah beberapa bias dalam berpikir yang bisa kita ketahui dan sering terjadi di sekitar kita. Sebenarnya ada banyak bias-bias dalam berpikir lainnya yang juga kerap terjadi di masyarakat, seperti social proof, yakni kekeliruan pengambilan sikap akibat pengaruh tindakan orang banyak, atau survivorship bias yang menjelaskan kekeliruan berpikir pada sikap overestimate seseorang pada dirinya sendiri, karena melihat kesuksesan orang yang menurutnya juga bisa dicapai dengan mudah.
Pembahasan singkat mengenai bias dalam berpikir pada tulisan ini sendiri, lebih bersifat menjadi pengantar ke pintu pengetahuan mengenai berpikir seperti yang dimuat Fahruddin Faiz pada buku Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika, atau buku yang ditulis Bo Bennett, berjudul Logically Fallacious: The Ultimate Collections of Over 300 Logical Fallacies.
(RIA/HAL)