Ketika mengambil suatu keputusan, tentu akan banyak pertimbangan yang harus kita pilih untuk dijadikan acuan. Namun hal yang kerap digunakan banyak orang dalam mengambil sebuah keputusan apapun adalah insting dan intuisi. Saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mengandalkan dua hal tersebut untuk mengambil keputusan.
Tidak mudah untuk mempercayai kedua hal tersebut, sebab sedikit banyak semuanya mengandalkan perasaan, bukan data logis yang telah terbukti secara empiris. Tapi menurut saya, insting maupun intuisi merupakan fakta yang tak bisa juga diabaikan, karena keduanya berasal dari dalam diri kita. Insting misalnya, merupakan sesuatu yang ada di dalam diri dan telah ada ketika kita lahir ke dunia ini.
Perilaku lahiriah ini diaktifkan ketika kamu berinteraksi dengan sebuah trigger dari lingkungan sekitar. Insting atau naluri juga dianggap sebagai mekanisme psikologis tertua kita yang dikendalikan oleh bagian paling kuno dari otak, sehingga kita dapat merespons dengan refleks. Sementara intuisi datang dari pengalaman hidup, baik atau buruk, jadi bisa membantumu memberikan kesadaran akan pro dan kontra dari suatu situasi, misalnya menciptakan solusi atau justru sebaliknya, menyebabkan masalah.
Selain itu, intuisi hanya bisa muncul dari pengalaman masa lalu dan pemikiran yang disengaja seperti firasat kepada petunjuk logis potensial. Intuisi juga mengarah pada intensionalitas tentang apa yang harus dilakukan dengan perasaan daripada reaksi spontan. Melihat dari fungsinya, keduanya memang cukup bisa menjadi pilihan untuk pengambilan keputusan.
Namun, haruskah kita terus mengandalkan insting dan intuisi dalam setiap pengambilan keputusan?
Faktanya, sudah sejak lama manusia mengandalkan insting dan intuisi untuk bertahan hidup. Mempelajari bagaimana cara mempercayai keduanya, mungkin bisa membantu kita untuk membangun perisai diri untuk mempersiapkan situasi yang tidak terduga. Seperti yang kita tahu, kunci dalam pengambilan keputusan besar adalah selalu meluangkan waktu sejenak untuk berpikir dan mendengarkan diri sendiri dengan baik.
Mempercayai naluri terkadang memberikanmu kesempatan untuk mengembangkan diri dan lebih mengenal siapa dirimu. Memang banyak stigma soal intuisi yang digunakan terus menerus dalam berbagai pengambilan keputusan akan berakhir dengan buruk, bahkan cenderung dianggap aneh. Tapi, emosi bukanlah respons yang perlu selalu diabaikan dan mengedepankan rasionalitas. Emosi juga merupakan bentuk pemrosesan informasi.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa otak adalah mesin prediksi yang besar, terus menerus membandingkan informasi sensorik yang masuk dari pengalaman saat ini dan ingatan masa lalu, dan mampu memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Inilah yang disebut kerangka pemrosesan prediktif. Pikiran ini akan memastikan otak akan selalu siap menghadapi situasi apapun. Di samping itu, untuk merealisasikan pemikiran intuitif, diperlukan insting untuk mewujudkannya. Bila pikiran intuitif kita yakin terhadap keputusan yang akan kita ambil, secara otomatis tubuh akan merasakan tanda-tandanya dan bergerak untuk mengambil keputusan.
Meskipun sebagian besar penelitian tidak mempermasalahkan pengambilan keputusan dengan mengandalkan insting dan intuisi, terlalu mengandalkannya di setiap situasi bukan sesuatu yang bijak dan cenderung bisa berbahaya. Dalam sebuah artikel di Harvard Business Review berjudul, "Don't Trust Your Gut" yang ditulis oleh Gary Klein, menyatakan bahwa kepercayaan pada intuisi bisa dimengerti, tapi juga bisa berpengaruh buruk.
"Intuisi memiliki tempatnya dalam pengambilan keputusan; kamu tidak boleh mengabaikan naluri seperti halnya mengabaikan hati nurani. Tetapi terlepas dari analisis yang ketat, intuisi adalah panduan yang berubah-ubah dan tidak (selalu) bisa diandalkan--kemungkinan besar bisa menyebabkan bencana," ujarnya.
Jadi, sebenarnya sah-sah saja mengambil suatu keputusan dengan mengandalkan insting dan intuisi kita, selagi kita benar-benar yakin serta memahami risiko yang akan diterima. Tapi alangkah lebih baik jika kita lebih mengedepankan sikap dan pemikiran rasional juga, ketimbang hanya mengandalkan perasaan lewat insting dan intuisi.
(HAL)