Saat matahari mulai terbit, ayam-ayam beranjak perlahan dari kandangnya dan berkokok; sementara burung hantu berhenti mencari makan dan bergegas terbang ke sarang. Sepanjang peradaban, aktivitas keduanya tidak menjadi bahan perdebatan yang berlarut-larut. Kebanyakan orang, bisa menerima dengan legowo perihal ayam yang berhenti beraktivitas sepanjang malam di kandangnya, atau perilaku burung hantu yang terus tidur selama terang.
Namun masalahnya, orang-orang yang toleran terhadap pola aktivitas ayam dan burung hantu tersebut, justru mempersoalkan mana yang lebih baik untuk dilakukan oleh sesama spesies mereka: manusia. Perdebatan antarmanusia mengenai pola aktivitas mana yang lebih baik untuk mereka jalankan, secara aneh dan nyata menjadi persoalan yang tidak kunjung usai. Sebagai makhluk hidup, manusia--seharusnya menyadari bahwa mereka--tidak dirancang untuk beraktivitas dengan produktif sepanjang hari layaknya robot. Manusia, sebagaimana halnya ayam atau burung hantu di atas, ternyata juga memiliki pola produktivitasnya masing-masing yang tidak selalu sama.
Dalam buku berjudul "When: The Scientific Secrets of Perfect Timing", Daniel H. Pink mengungkap bahwa tubuh seorang manusia memiliki pola produktivitas alami bagai pelana. Lebih lanjut lagi, Daniel menulis bahwa pola produktivitas manusia memiliki performa puncak pada permulaannya (peak), mengalami penurunan produktivitas yang drastis di pertengahan (through/slump), dan kembali menanjak secara signifikan pada bagian akhir (rebound). Setiap manusia memiliki polanya masing-masing secara natural, namun perbedaannya terletak pada: kapan fase-fase tersebut berlangsung.
Perdebatan mengenai kapan waktu produktif seseorang memang tidak terlalu nampak di permukaan. Tetapi pada akar rumput, manusia yang memiliki perbedaan pola produktivitas itu seringkali memiliki rasa sentimen terhadap yang lainnya. Umumnya, pola produktif manusia terbagi menjadi dua bagian; satu kelompok berisi orang yang produktif di waktu siang dan menjelang larut malam; satu lainnya berisi kelompok yang produktif saat pagi hari dan sesaat sebelum tidur. Pola produktivitas yang berbeda-beda tersebut, diberi istilah chronotype oleh chronobiologist (ahli yang mempelajari siklus biologis manusia).
Secara general, kita mungkin mengenal istilah morning person atau night person. Tetapi secara khusus, Daniel dalam buku "When" membagi chronotype manusia menjadi 3 tipe, berdasarkan analogi dari tiga jenis burung.
Yang pertama disebut dengan istilah Lark--diambil dari nama dan kebiasaan burung Pakling, yang memulai aktivitas sedini mungkin dan menuntaskannya ketika yang lain baru hendak mengawali aktivitas. Tipe ini akan segera bergegas tidur saat malam tiba karena kegiatannya telah rampung sementara yang lain masih bekerja di waktu larut.
Rumusan chronotype yang diproklamirkan Daniel H. Pink pada buku "When" berikutnya adalah tipe kedua yakni Owl. Layaknya burung hantu, tipe satu ini baru akan aktif bekerja saat gelap malam tiba. Karena berkegiatan di waktu larut, tidak jarang tipe ini masih terjaga dalam tidurnya pada pagi hari, dan baru bangun menuju siang.
Tipe ketiga--sekaligus yang paling banyak ditemukan--menurut Daniel adalah Third Bird. Tipe satu ini memiliki pola bangun tidur secara lazim di pagi hari, produktif di waktu pertengahan, dan akan bergegas tidur sebelum malam menjadi larut.
Pola-pola kegiatan manusia seperti yang dijabarkan Daniel H. Pink barusan, secara sadar atau tidak, sebenarnya patut untuk diketahui dan dipahami. Selain agar tidak terjebak pada sentimen perbedaan pola produktif, mengetahui chronotype masing-masing sebetulnya dapat membantu manusia mengatur aktivitasnya secara lebih efektif. Apalagi menurut Daniel, "timing is everything."
Jika makhluk hidup lain--seperti ayam, burung hantu, dan burung pakling--dapat hidup berdampingan dalam keteraturan, lalu mengapa manusia masih mempersoalkan pola produktivitas mereka yang berbeda-beda? Menurut hemat saya, penyebab utamanya adalah kesulitan menjalin kolaborasi antara satu dengan lain akibat waktu produktivitas yang tidak bertemu.
Menindaklanjuti temuan yang dijelaskan pada buku "When", seyogyanya manusia dapat lebih memahami pola produktivitas satu sama lain dan bisa menemukan benang merah sebagai pemecah masalah. Selain itu, perbedaan pola produktivitas antarmanusia seharusnya bisa dimaklumi. Karena menurut beberapa penelitian, perbedaan pola-pola produktivitas manusia di sisi yang lain menyimpan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Menurut jurnal American Physiological Association di tahun 2021, orang-orang yang aktif di waktu terang cenderung memiliki level positive emotions yang lebih tinggi dari mereka yang aktif pada malam hari. Walaupun demikian, para pecinta pagi justru akan mengalami kesulitan apabila melangsungkan aktivitas atau interaksi pada waktu malam.
Sementara itu, menurut Psikolog asal London School of Economics and Political Science , Satoshi Kanazawa, mereka yang aktif di waktu malam (nokturnal) diketahui memiliki kecerdasan intelektual yang di atas rata-rata. Selain itu para penikmat malam juga disebut lebih tenang secara mental, karena terbiasa produktif di antara heningnya malam meskipun lebih berisiko terserang banyak penyakit.
Terlepas dari baik atau buruknya suatu pola produktivitas manusia, alasan mengapa pola-pola tersebut terpecah ke beberapa bagian--salah satunya--dikarenakan perbedaan genetik di dalam diri manusia. Selain faktor genetik, perbedaan pola produktivitas manusia disinyalir terpengaruh oleh circadian rhythms. Melansir kompas.com, ritme sirkadian atau circadian rhythms, merupakan waktu biologis seorang manusia yang mengatur beberapa fungsi tubuh, juga waktu tidur.
Ritme ini berkesinambungan dengan daya guna otak manusia, di mana sel-sel otak memberi respon kepada faktor eksternal--seperti lingkungan, untuk mengkoordinasikan sistem mental dan fisik secara menyeluruh. Keberlangsungannya mengawasi fungsi dan proses tubuh manusia selama 24 jam penuh. Selain itu, circadian rhythms juga memberi isyarat kepada tubuh perihal kapan waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu seperti kapan waktu bekerja yang optimal atau kapan waktu tidur seharusnya tiba melalui faktor hormon.
Unsur hormon dalam tubuh seperti melatonin dan kortisol, disebut berperan aktif pada ritme ini. Melatonin diketahui akan memproduksi rasa kantuk, sedangkan kortisol menumbuhkan rasa waspada atau fokus. Kedua hormon tersebut memberi pengaruh pada ritme sirkadian manusia, yang mana turut membentuk chronotype tiap-tiap individu. Sampai di sini, sebelum manusia terlalu jauh melabeli pola produktif sesamanya secara sentimental, ada baiknya tiap-tiap orang mengetahui apa yang dikatakan tubuhnya dan mulai menghargai pola masing-masing.
Memahami segala sesuatu secara menyeluruh, nampaknya memang menjadi masalah manusia pada zaman ini. Perdebatan--yang tidak perlu--mengenai perbedaan pola produktif tiap insan rasanya akan menjadi sirna jika setiap orang lebih mengenal diri masing-masing dan menghormati sesama, sebagaimana yang dilakukan spesies lain di muka bumi.
Pada akhirnya, pembahasan ringkas mengenai pola-pola produktivitas pada tulisan ini, dijukan demi keberlangsungan kehidupan yang lebih teratur di masa datang, dan bukan mengkotak-kotakan manusia berdasar jenis atau pola produktivitas yang mereka imani dan miliki. Toh, sejak awal peradaban, keteraturan hidup memang tercipta karena adanya perbedaan. Perkara siapa early birds, siapa night owls, atau siapa third bird, selayaknya membuat perputaran roda kehidupan lebih lengkap, karena setiap jenisnya justru mengisi kekosongan yang lainnya.
(RIA/DIR)