Dunia riset dan ilmu pengetahuan di Indonesia dilanda duka. Sebanyak 113 tenaga honorer Lembaga Biologi Molekuler Eijkman diberhentikan pasca dileburkannya Eijkman ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN. Dari 113 tenaga honorer, 71 di antaranya adalah staf peneliti. Meski Eijkman secara hukum tetap ada, kehadirannya tidak lagi sama. Proses integrasi ini telah membuat Eijkman kehilangan sebagian besar penelitinya karena diberhentikan. Beberapa akademisi bahkan menilai bahwa peleburan ini merupakan kehilangan besar bagi dunia riset Indonesia. Hal ini menambah catatan panjang tantangan menjadi peneliti di Indonesia, termasuk bagi generasi muda.
Perjalanan Eijkman
Meski secara resmi nama Lembaga Biologi Molekuler Eijkman baru muncul di tahun 1992, namun jejak lembaga sudah ada sejak tahun 1888. Sebelumnya, lembaga ini bernama Central Geneeskundig Laboratorium, yaitu Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda. Nama "Eijkman" sendiri diambil dari Christiaan Eijkman, seorang dokter syaraf dan ahli mikrobiologi asal Belanda yang menjadi direktur pertama di lembaga tersebut. Perubahan nama ini terjadi setelah Eijkman mendapatkan penghargaan Nobel atas pencapaiannya dalam menguak penyakit beri-beri. Namun selepas Indonesia merdeka, lembaga ini mengalami kesulitan dan sempat dinonaktifkan hingga akhirnya diaktifkan kembali di era BJ Habibie. Dalam perjalanannya, kehadiran Lembaga Eijkman telah menjadi kunci bagi perkembangan teknologi biomolekuler di Indonesia. Lembaga ini telah terlibat dalam riset yang menyelidiki berbagai penyakit mulai dari HIV-Aids, flu burung (H5N1), hingga SARS COV-2.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada LBM Eijkman? Apa yang memicu babak baru LBM EIjkman dan mengapa ia menyebabkan begitu banyak pegawainya diberhentikan? Untuk menjawab ini, kita harus melihat terlebih dahulu konteks dari keberadaan BRIN sendiri. BRIN didirikan oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden No. 74 tahun 2019, dan pada tahun 2021, BRIN ditetapkan sebagai satu-satunya badan penelitian nasional. Singkatnya, semua kegiatan penelitian nasional kini terpusat di BRIN.
Berdirinya BRIN sendiri tak lepas dari kontroversi. Dipilihnya Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN menjadi salah satu contohnya, lantaran kapasitas Megawati sebagai politisi dan pemimpin partai dinilai tidak sejalan dengan fungsi BRIN yang adalah lembaga penelitian. Meski mendapat banyak kritikan, keputusan sudah dibuat. Kedudukan BRIN sudah tidak bisa diganggu gugat, dan kehadirannya secara perlahan tapi pasti akan mengubah wajah riset Indonesia. Selain Eijkman, sudah ada beberapa lembaga riset lain yang juga diputuskan melebur ke BRIN. Beberapa di antaranya adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Jagat maya ramai dengan kritikan terhadap pemberhentian pegawai LBM Eijkman, baik dari peneliti maupun masyarakat awam. Bagaimana tidak, puluhan peneliti yang telah mendedikasikan pekerjaannya untuk kemajuan sains diberhentikan begitu saja, karena persoalan birokrasi. Dikutip CNN Indonesia, BRIN memberikan lima opsi bagi peneliti Eijkman. Pertama, peneliti yang berstatus PNS bisa melanjutkan menjadi PNS BRIN sekaligus diangkat menjadi peneliti. Kedua, peneliti honorer yang berusia di atas 40 tahun dan sudah mendapatkan gelar S3 dapat mengikuti penerimaan ASN jalur PPPK 2021. Ketiga, peneliti honorer yang berusia kurang dari 40 tahun dan sudah mendapatkan gelar S3 bisa mengikuti penerimaan ASN jalur PNS 2021. Keempat, peneliti honorer yang belum mendapatkan gelar S3 bisa melanjutkan studi dengan skema by-research dan research assistantship. Terakhir, tenaga honorer non-peneliti diambil alih RSCM sekaligus mengikuti rencana pengalihan gedung LBM Eijkman ke RSCM.
Adanya opsi yang tersedia tidak menghapus fakta bahwa 113 pegawai honorer Eijkman, yang sebagian besar adalah peneliti, akan kehilangan pekerjaan mereka. Begitu juga dengan Eijkman yang akan kehilangan ratusan orang yang selama ini telah berjibaku menopang lembaga tersebut. Sebab kelima opsi di atas sangatlah terbatas, terutama bagi peneliti non S3 dan pegawai non-peneliti. Meski secara hukum dan birokrasi Eijkman masih ada, tapi sebagian besar tubuhnya telah hilang.
Ketidakpastian Ekosistem Riset Indonesia
Jurnalis Ahmad Arif menyebut peristiwa yang menimpa Eijkman sebagai kehilangan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan di indonesia. Sebab menurutnya, Indonesia sudah terlalu sering menjadi laboratorium bagi peneliti asing, tapi tidak bagi peneliti dalam negeri. Indonesia sendiri masih kalau jauh dari negara-negara lain dalam dunia riset.
Jumlah peneliti di Indonesia masih terlalu sedikit. Berdasarkan data dari laporan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), rasio jumlah peneliti di Indonesia pada tahun 2017 hanya 1.071 peneliti per satu juta penduduk. Jumlah ini masih jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia yang memiliki 2.590 peneliti per satu juta penduduk atau Singapura yang memiliki 7.000 peneliti per satu juta penduduk. Di samping itu, jumlah peneliti yang ada di Indonesia masih didominasi oleh peneliti dari sektor pemerintahan.
Selain jumlah peneliti yang sedikit, anggaran untuk riset pun juga masih sangat kecil. Pada tahun 2019, Kementerian Keuangan mengatakan bahwa alokasi dana riset dari Pendapatan Domestik Bruto masih di bawah satu persen. Jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang dan Korea yang sudah di atas 3-4,5 persen. Dana riset sendiri termasuk dalam anggaran untuk pendidikan. Sebagai perbandingan, anggaran pendidikan tahun 2019 mencapai Rp 492,5 triliun, sedangkan dana riset hanya sebesar Rp 35,7 triliun.
Di luar anggaran yang minim, pemerintah kita juga telah beberapa kali menunjukkan keengganan mereka untuk berpihak kepada sains dan peneliti. Contoh paling konkretnya adalah bagaimana pemerintah mengesampingkan sains dan saran-saran dari peneliti di awal mula pandemi Covid-19. Hingga akhirnya keluar pernyataan-pernyataan kontroversial seperti masyarakat Indonesia kebal dari virus corona karena suka makan nasi kucing, virus corona tak kuat dengan cuaca Indonesia, dan klaim khasiat kalung anti-corona.
Ini bukan pertama kalinya lembaga riset harus mengalah dan dikecewakan oleh kebijakan pemerintah. Posisi peneliti kerap dikesampingkan oleh para pembuat kebijakan, sekalipun para peneliti sudah membuat banyak kajian yang seharusnya bisa berdampak baik bagi negara. Menjadi peneliti di Indonesia bagaikan menjadi warga negara kelas dua.
Meski berkontribusi banyak, pekerjaannya seringkali hanya menjadi pelengkap bagi agenda politisi dan pengusaha. Melihat banyaknya ketidakpastian dalam ekosistem riset Indonesia, maka tak mengherankan apabila hanya sedikit generasi muda yang ingin menjadi peneliti. Banyak dari angkatan muda lebih memilih menempuh pendidikan di perguruan tinggi luar negeri dan menjadi peneliti di negara lain. Jika begini terus, maka masa depan ekosistem riset di Indonesia akan nampak suram.
(ANL/DIR)