Akuilah kalau pikiran obsesif itu toksik dan tentu saja mengganggu kehidupan pribadimu serta orang yang menjadi objek obsesimu. Memang, bicara soal melupakan orang yang kamu kagumi atau minati itu mudah-tetapi menghabiskan waktu berjam-jam menjelajahi informasi tentang mereka dan mengikuti kehidupan mereka, apakah itu sesuatu yang berguna?
Obsesi dan Penyebabnya
Awalnya kamu hanya sekadar melihat dari kejauhan, namun rasa tertarik dengan orang itu muncul tiba-tiba tanpa disadari. Sampai kamu berpikir, mengagumi dari jauh saja tidak cukup sama sekali. Inilah obsesi, tindakan dan pemikiran yang membuatmu terus-menerus disibukkan dengan pemikiran tentang orang tersebut.
Sesekali itu bukan obsesi, namun sampai memikirkan skenario masa depan dengan mereka, membuatnya masuk ke dalam hidupmu, bahkan menjadi pasangan hidupmu. Obsesi terhadap seseorang bisa bermanifestasi dalam berbagai cara. Sebagian orang mungkin terus stalking objek yang dikagumi, sementara dalam kasus ekstrem ada pula yang sampai mengganggu kehidupan pribadi objek obsesinya dan melanggar batas norma yang ada.
Dikutip Verywell Mind, menurut psikiater, Tzvi Furer, MD, obsesi disebabkan oleh beberapa faktor-bisa jadi kamu merasa kesepian atau sedang mencari hubungan dengan seseorang. Bisa juga karena bertemu seseorang yang sangat menarik, atau orang yang membuatmu jatuh cinta.
Semua mungkin bermula dari kekaguman, berharap kalau hidup kamu mencerminkan apa yang kamu anggap sebagai kehidupan mereka. Bisa juga karena kamu merasakan kesepian, sehingga ada perasaan rendah diri yang membuatmu ingin orang lain menyukai dan mengistimewakanmu.
Dalam banyak kasus, ketika kamu terobsesi pada seseorang, kamu menempatkannya pada posisi tertinggi. Kamu hanya melihat sifat positifnya saja dan cenderung mengabaikan kekurangannya. Saat kamu menganggap seseorang itu sempurna, hal ini bisa membuat pemikiranmu menjadi bias dan melihat dia adalah ideal untukmu.
Ketakutan bisa jadi faktor kenapa kamu mendapati dirimu mengembangkan pikiran obsesif tentang seseorang. Kamu mungkin takut ditolak juga atau ditinggalkan, dan ketakutan ini bisa mendorongmu untuk terus-menerus memikirkan orang tersebut sebagai cara untuk merasa lebih dekat dan intens dalam sebuah hubungan.
Bahkan, trauma pun bisa jadi pemicu pemikiran obsesifmu. Jika kamu mempunyai trauma masa kecil yang belum terselesaikan, itu bisa bermanifestasi menjadi obsesi. Obsesi ini akan berkembang dan membuatmu merasa kalau mereka bisa "memperbaiki" yang salah darimu dengan cinta, perhatian, usaha, dan perhatian.
MARI BELAJAR MERELAKAN
Kamu harus tahu kalau pikiran obsesif seringkali hanya pikiran saja, dan upaya terapeutik akan membantu kamu fokus dalam mengelola reaksi langsung dan perilaku atau perasaan yang dihasilkan dari pikiran-pikiran itu. Untuk mengelolanya, kamu harus merelakan dengan melakukan perubahan perilaku. Coba lakukan ini:
1. Akui obsesimu
Langkah pertama adalah menjadi lebih sadar ketika kamu mempunyai pikiran obsesif. Mengidentifikasi dan mengenali pikiran obsesif bisa membantu kamu mulai mencari cara untuk mengelolanya. Jadi jangan hakimi dirimu, tetapi catatlah pola-pola tersebut ketika muncul dan pergi, perhatikan pola-pola berbahaya yang muncul.
2. Alihkan perhatian dan fokus
Setelah kamu bisa mengidentifikasi kapan kamu diliputi pikiran obsesif, langkah selanjutnya yang bisa kamu ambil adalah melakukan aktivitas yang membuat pikiranmu sibuk dan menjauhi pikiran-pikiran tersebut. Kamu bisa melakukan apa saja mulai dari hobi baru, seperti berolahraga secara rutin, membaca, atau menghabiskan waktu bersama dengan teman atau keluarga.
3. Tetapkan batasan
Menetapkan batasan untuk diri sendiri bisa jadi sulit, tetapi hal ini penting jika kamu mempunyai obsesi. Kalau obsesimu menyebabkan kamu terus-menerus menguntit media sosial objek obsesimu atau mengirim pesan kepada orang tersebut, tetapkan batasan yang jelas untuk mencegah hal ini. Batasi waktu yang kamu habiskan di media sosial atau istirahat total kalau perlu.
4. Menulis jurnal
Menulis jurnal adalah sesuatu yang memaksa kamu menghadapi pikiran dan perasaanmu. Menuliskan soal perasaanmu bukan hanya cara terapeutik untuk memprosesnya; ini membantumu memahami emosi kamu dengan lebih baik dan mendapatkan perspektif tentang mengapa kamu mungkin memiliki pikiran obsesif ini.
5. Carilah dukungan
Kebanyakan orang cenderung tertutup terhadap pikiran obsesif, hingga mereka menyimpan rahasia tersebut sampai mengambil alih hidup mereka. Setelah kamu menyadari bahwa kamu telah membentuk pola pemikiran obsesif tentang seseorang, berbicara dengan teman atau keluarga yang kamu percayai bisa memberi kamu perspektif baru yang dibutuhkan untuk menyadari pemikiran itu bisa berbahaya.
Kalau sudah di taraf yang mengkhawatirkan, ada baiknya kamu menghubungi terapis yang ahli dalam membantu orang dewasa mengatasi obsesi dan berpikir berlebihan. Tetapi, semua itu kembali lagi kepada dirimu. Yang paling penting, kamu harus siap merelakan orang tersebut dan menjalani hidup yang normal serta mengagumi dengan sehat.
(DIR/alm)