Tidak ada hubungan yang sempurna. Setiap individu pasti memiliki pola pikir tak serupa yang terkadang dapat memantik perdebatan dengan pasangan. Nyatanya, tidak sedikit pasangan yang masih kesulitan dalam menyelesaikan konflik di hubungannya. Malah, ada juga yang membiarkan konfliknya berlarut-larut dan membuat hubungan mereka semakin runyam.
Hanya ada dua hasil dari sebuah konflik; memperkuat hubunganmu atau malah memperlebar jarak emosional antara dirimu dan kekasih hati. Meskipun pertengkaran merupakan hal alami yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun dalam menjalin hubungan, tetapi ketegangan dan durasi konflik dapat dikontrol jika kamu mengetahui bagaimana gaya berargumen pasanganmu. Sebab, hal ini sangat mempengaruhi kesadaran dalam berkomunikasi—seperti pemilihan kata-kata dalam menyampaikan perasaanmu saat sedang berada dalam pertengkaran.
KENALI 5 GAYA ARGUMEN
Selain memahami gaya ketertarikan atau attachment style, mengetahui gaya berargumen juga bisa membantu kamu dalam menavigasi konflik dengan pasangan. Menarik teori manajemen konflik usungan Thomas-Kilmann, berikut adalah lima gaya berargumen yang harus kamu pahami.
Avoidant
Alih-alih menyelesaikan konflik, kamu memilih untuk diam atau menarik diri dari pertengkaran tersebut. Tipe ini disebut avoidant arguer. Kebanyakan orang dengan gaya avoidant lebih memilih untuk tidak menghadapi permasalahan secara langsung karena merasa lebih "aman" dan terhindar dari stress maupun perasaan negatif yang datang bersama konflik tersebut.
Membutuhkan waktu tersendiri dalam menghadapi konflik merupakan suatu hal yang lazim, tapi jika kamu mengabaikan konflik tersebut terus-menerus dengan angan-angan bahwa permasalahan akan selesai dengan sendirinya, pasanganmu bisa menganggap bahwa kamu tidak peduli dengan perasaannya. Ini juga menempatkan mereka pada situasi yang tidak nyaman. Alhasil, konflik yang seharusnya bisa lebih cepat terselesaikan dengan komunikasi yang jujur dan terbuka, dapat menjadi semakin semrawut.
Attacker
Berkebalikan dengan avoidant, tipe attacker biasanya langsung membahas permasalahan dengan menggebu-gebu. Tidak jarang gaya berargumen ini membuat konflik menjadi deadlock atau tidak terselesaikan dengan baik. Sebab, individu dengan gaya attacker biasanya melatarbelakangi komunikasi atas dasar amarah yang dapat bersifat agresif dan penuh dengan tuduhan terhadap pasangannya. Biasanya, mereka melakukan ini untuk mendapatkan konfirmasi atas asumsi-asumsi yang mereka miliki.
Tipe attacker mungkin merasa bahwa gaya ini dapat membuat mereka puas dengan menegaskan posisi atau dominasi terhadap pasangannya. Tetapi, gaya berargumen ini merupakan cara yang tidak efektif dalam mendapatkan rasa pengertian dari lawan bicaramu. Alih-alih mendapatkan kepastian dan pencerahan dari pasanganmu, mereka malah bisa menjadi defensif dan ikut bertukar argumen denganmu yang membuat masalah tidak kunjung selesai.
Accommodator
Menjadi accommodator berarti mencoba untuk memuaskan perasaan orang lain dengan mengorbankan perasaanmu. Individu dengan gaya berargumen accommodator mencoba untuk menenangkan situasi dengan menjadi submisif dan tidak keberatan untuk disalahkan agar konflik dapat selesai dengan mudah dan cepat. Mengakomodasi perasaan pihak lain bisa jadi problematik jika kamu tidak benar-benar memahami permasalahan yang terjadi dan memilih untuk menyelesaikan isu tersebut dengan rasa understanding yang palsu.
Meskipun resolusi konflik lebih cepat tercapai, gaya berargumen ini hanya akan melangsungkan dinamika pasangan yang tidak sehat di mana pasanganmu bisa saja terus-terusan berperilaku seenaknya dan percaya pendapat mereka selalu benar—karena mereka tahu toleransimu tinggi dan mudah untuk memaafkan. Jika dibiarkan, pattern argumen ini dapat melanggengkan hubungan toksik dan abusive. Tidak ada salahnya memaafkan, tapi jangan sampai kebiasaan ini dieksploitasi oleh pasanganmu. Cobalah untuk turut menyampaikan perspektif dan perasaanmu dan bangun komunikasi yang konstruktif.
Compromiser
Jika kamu tidak keberatan untuk berkompromi demi mencapai keputusan yang cukup memuaskan, maka kamu adalah tipe compromiser. Biasanya, tipe compromiser memiliki tujuan untuk menyelesaikan konflik secara adil dengan mengedepankan konsep "bertemu di tengah". Hal ini juga akan membuat hubungan dengan pasanganmu terjaga lebih baik karena didasari atas keinginan untuk saling mendengarkan dan memahami.
Tetapi kadang, tipe compromiser juga bisa merasa terjebak jika adanya ketidakpuasan dengan keputusan akhir yang sudah didiskusikan dengan pasangan. Sebab, meski adil, bisa saja ada "kerugian" atau rasa understanding superfisial yang memunculkan frustrasi terpendam yang justru berpotensi untuk menghidupkan kembali konflik yang sudah terselesaikan.
Open
Disebut juga sebagai collaborative, gaya berargumen ini mendorong sifat kooperatif dan asertif secara bersamaan, di mana pihak yang berargumen akan mencoba untuk mencari win-win solution yang benar-benar memuaskan untuk kedua pihak. Mereka akan mendorong komunikasi yang terbuka untuk mengakomodasi pendapat, kemauan, dan ekspektasi dari pasangannya—begitu pula sebaliknya. Didasari atas mutual respect, gaya berargumen ini akan mendorong komitmen untuk mewujudkan resolusi tersebut serta memperkuat rasa saling percaya.
Tentunya, tipe argumen satu ini akan memakan energi dan waktu yang lebih lama serta berpotensi membuat pasangan dihadapkan dengan topik-topik yang sifatnya sensitif secara emosional. Mereka juga bisa merasa tertantang dalam mengadopsi ide atau perspektif baru yang dapat terasa demanding secara psikologis.
Menyelesaikan sebuah konflik dalam pasangan dapat terasa sangat melelahkan, terlebih jika keduanya sama-sama tidak memiliki keinginan untuk berkompromi atau bekerjasama untuk menyelesaikan masalah. Ingat, pertengkaran itu bukan soal menang atau kalah. Melainkan sebuah upaya untuk mengenal pasangan kita lebih dalam lagi dan memperkuat hubungan. Pasangan yang memiliki rasa respect terhadap satu sama lain akan mampu berkomunikasi dengan baik dan efektif, yang berarti bahwa mereka telah menemukan fondasi dalam menjalin hubungan yang sehat.
(HAI/alm)