Kesetaraan gender adalah hal yang masih giat diperjuangkan oleh banyak aktivis di seluruh dunia hingga hari ini. Bukan hanya dalam lingkup sosial dan pekerjaan, tetapi diperdebatkan di ranah asmara. Perdebatan yang masih sensitif diperbincangkan adalah masih banyak orang terikat pada peran gender kuno antara laki-laki dan perempuan.
Misalnya kesepakatan yang diamini yaitu laki-laki harus lebih dulu mendekati perempuan untuk memulai interaksi, mengajak perempuan duluan untuk nge-date, membayar semua dalam kencan pertama atau saat melamar, dan di beberapa negara ada tradisi perempuan harus menggunakan nama keluarga atau dipanggil nama suaminya setelah menikah.
Ada yang bilang hal-hal tersebut tampak seksis dan tidak sesuai dengan pergerakan kesetaraan gender yang diperjuangkan selama ini, sedangkan yang lainnya justru menganggap tradisi ini sebagai bentuk upaya romantisme antar pasangan. Sehingga tidak mengherankan cerminan pembagian peran gender seperti laki-laki pemimpin dan perempuan pengikut saja terus-menerus diikuti.
Lalu ketika ada di antara mereka yang tidak mengikuti nilai yang selama ini diyakini, menjadi sebuah isu besar. Tapi benarkah peran gender yang sudah kita ikuti sebagai tradisi maupun budaya ini sebenarnya tindakan seksis?
Perkara Preferensi
Sebuah penelitian terdahulu menemukan kalau sikap seksis dan identitas feminis juga memengaruhi preferensi perempuan terhadap kebiasaan ini. Perempuan yang lebih menerima tradisi tersebut cenderung tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang feminis.
Perilaku ini cenderung dianggap sebagai benevolent sexism, yaitu sebuah bentuk seksisme yang terlihat positif dan terlihat melindungi kepentingan perempuan. Padahal jika diperhatikan lagi, seksisme ini memandang perempuan kurang kompeten dan membutuhkan laki-laki sebagai pelindung dan penyedia kebutuhan perempuan.
Misalnya saja, muncul perdebatan di media sosial tentang mempertanyakan kemampuan perempuan dalam membangun sebuah furnitur rakitan atau melakukan pekerjaan kasar yang biasanya dilakukan oleh laki-laki. Banyak di antara komen yang ada sebagian besar laki-laki meremehkan kemampuan perempuan untuk melakukannya.
Sebab, yang selama ini terjadi memang lebih banyak laki-laki yang melakukan pekerjaan tersebut. Namun hal itu bukan berarti perempuan tidak mampu, hanya saja tidak diberi kesempatan untuk mencoba atau memang perempuan itu sendiri memilih untuk tidak melakukannya.
Hal ini terjadi atas dasar preferensi perempuan dalam memilih laki-laki sebagai pasangannya dan nilai-nilai tradisional yang selama ini ada. Banyak perempuan berkeinginan memiliki pasangan yang perhatian dan mempertahankan hubungan jangka panjang bukan lagi alasan utama bagi mereka.
Singkatnya, seksisme masih melatarbelakangi dan memengaruhi preferensi perempuan terhadap pasangan dan hubungan asmara. Pada akhirnya, tradisi peran gender ini muncul didukung oleh sikap yang seksis.
Tak Selalu Memunculkan Seksisme
Bagi sebagian kalangan, hubungan asmara mungkin akan lebih tulus dan menyenangkan ketika punya tradisi pemisahan peran gender itu sendiri. Tapi, beberapa orang menganggap hal ini problematik jika ia justru malah memperkuat ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam suatu hubungan. Padahal seksisme sehari-hari dan benevolent sexism pun tidak berbeda, bisa mengancam kesejahteraan perempuan.
Sayangnya semakin kita paham soal kesetaraan gender, kesadaran kita tentang betapa kakunya peran gender dalam hubungan asmara menjadi lebih besar. Beberapa orang pun khawatir kalau peningkatan kesetaraan gender akan menghancurkan hubungan asmara.
Lalu, bagaimana agar terlepas dari pikiran peran gender akan memunculkan seksisme? Kita juga harus lebih kritis dan membantu melepaskan keterikatan kita untuk mengikuti formula atau tradisi yang ditetapkan orang lain selama ini.
Bisa dimulai dari merangkul perbedaan individu atas tradisi yang tidak fleksibel dan mencoba mengeksplorasi cara alternatif pembagian peran dalam hubungan asmara. Dengan begitu, kita mampu lebih terbuka dan dinamis melihat percintaan yang lebih egaliter. Sehingga, suatu ketika saat perempuan memimpin alur dalam hubungan, tidak akan ada perbedaan yang berarti sebab sudah memahami satu sama lain.
(DIR/alm)