Hubungan percintaan adalah sesuatu yang kompleks untuk dijalani. Namun sejak kecil, dalam pikiran kita sudah tertanam berbagai ekspektasi mengenai hubungan yang ideal. Faktor yang membuat kita berekspektasi pun bermacam-macam, mulai dari hubungan orang tua, budaya dan norma sosial, hingga media. Melansir Very Well Mind, terapis pernikahan dan keluarga Anabel Basulto mengatakan bahwa media—seperti berita, film, musik, dan sastra—cenderung menggambarkan hubungan dalam pandangan yang sempit. Dalam film misalnya, hubungan percintaan yang kompleks dan nuanced kerap disederhanakan menjadi cerita yang menghibur.
Akibatnya, tanpa disadari muncul berbagai stereotip yang melekat pada hubungan yang ideal. Stereotip-stereotip ini adalah bentuk ekspektasi yang kaku dan bahkan bisa membuat hubungan menjadi tidak sehat. Apa saja stereotip dalam hubungan yang sering ditemui di kehidupan sehari-hari?
Perempuan Selalu Jadi Caretaker
Dalam setiap hubungan, seringkali pihak perempuan otomatis jadi caretaker dalam hubungan. Dia yang mengurus semua kebutuhan pasangannya, merawat pasangannya ketika sedang sakit, sampai membuat planning untuk kegiatan tamasya. Meski sederhana, tapi hal-hal seperti ini menguras tenaga, emosi, dan terkadang membutuhkan pengorbanan. Jadi dalam sebuah hubungan, idealnya masing-masing pihak menjadi caretaker untuk satu sama lain.
Laki-laki Harus Selalu Mentraktir
Pembagian peran yang kaku bukan hanya berdampak ke perempuan, tapi juga laki-laki. Salah satu stereotip dalam hubungan yang paling sering ditemui adalah adanya ekspektasi bahwa laki-laki harus mau menjemput dan mengantar pacarnya ke manapun mereka pergi. Tak hanya itu, mereka juga dituntut untuk selalu mentraktir pasangannya ketika pergi kencan. Padahal, tidak ada salahnya ketika peran itu dibalik atau dibagi rata.
Selalu Sama Rata Sama Rasa
Idealnya, dalam hubungan yang sehat ada relasi yang setara. Namun, bukan berarti semua pihak yang terlibat harus selalu berkontribusi sama besarnya. Terkadang, ada hal-hal di luar kuasa kita yang membuat salah satu pasangan tidak bisa mendedikasikan waktu dan tenaga sebanyak yang satunya. Misalnya, ketika salah satu pasangan ada yang menghadapi situasi sulit di tempat kerja atau sedang bergelut dengan kesehatan mental, pasangan mereka harus bisa memahami bahwa mereka tidak bisa mengalokasikan tenaga, waktu, dan emosi sebanyak di hari-hari biasa.
Selalu Bersama 24/7
Bagi banyak orang, selalu menghabiskan waktu bersama menjadi ukuran pasangan yang ideal. Kalaupun mereka sedang tidak menghabiskan waktu bersama, maka idealnya mereka akan melakukan voice call atau video call—apapun dilakukan agar komunikasinya rutin dan intens. Padahal, setiap pasangan memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Ada pasangan yang tidak bertemu berhari-hari karena kesibukan masing-masing, ada pula pasangan yang memberikan boundaries agar masing-masing tetap memiliki ruang privat. Intensitas waktu bertemu bukanlah cerminan terhadap kualitas hubungan dengan pasangan, jadi tidak usah khawatir apabila tidak ingin menghabiskan waktu terus-menerus bersama pasangan.
Pada akhirnya, kita sendirilah yang berhak untuk menentukan hubungan seperti apa yang ingin kita jalani. Setiap pasangan pasti berbeda-beda, sehingga tidak ada panduan tunggal untuk membangun hubungan yang sempurna. Tidak usah terpaku dengan stereotip-stereotip yang ditetapkan oleh masyarakat. Kuncinya adalah berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan pasangan, lalu buat peraturan kalian sendiri.
(ANL/alm)