Tumbuh besar di masyarakat yang merawat budaya patriarki terbukti melahirkan berbagai permasalahan; mulai dari bias gender, pembagian peran yang kaku, hingga ketidaksetaraan dalam hubungan. Satu hal yang pasti, budaya patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tapi juga laki-laki. Laki-laki dituntut untuk menjadi kepala keluarga, dilarang menunjukkan emosi, dan sebagainya. Tuntutan ini membuat banyak laki-laki akhirnya secara tidak sadar mempraktikkan toxic masculinity—merasa harus selalu tangguh, berkuasa, dan anti-feminisme.
Namun di ujung spektrum yang satunya, ada juga laki-laki yang merespons toxic masculinity dengan fragile masculinity. Apabila toxic masculinity membuat laki-laki merasa harus selalu mempertahankan "kejantanannya", fragile masculinity adalah kondisi yang timbul ketika laki-laki merasa gagal menjadi "jantan" seperti yang dituntut oleh lingkungan sekitarnya. Kondisi ini lantas membuat mereka merasa lemah, rendah diri, dan anxious.
Fragile masculinity bisa menimbulkan masalah dalam hubungan percintaan. Laki-laki yang insecure dengan maskulinitasnya juga akan selalu merasa terancam oleh segala kelebihan yang dimiliki oleh pasangannya. Lebih parah lagi, rasa insecure tersebut bisa menjelma menjadi amarah dan kekerasan. Di lain sisi, hal ini akan membuat para perempuan merasa bertanggung jawab untuk mengurangi rasa insecure tersebut. Mereka akan melakukan berbagai cara agar pasangan kembali merasa percaya diri dengan maskulinitasnya.
Lalu, bagaimana caranya untuk mengenali apabila pasanganmu memiliki fragile masculinity? Berikut adalah beberapa cirinya:
Menuntut perempuan untuk bergantung kepadanya
Laki-laki yang memiliki maskulinitas rapuh akan merasa terintimidasi dengan perempuan independen. Ada banyak kasus di mana laki-laki tidak mengizinkan pasangannya mencari nafkah dan memiliki pendapatan sendiri. Di kepala mereka, laki-laki harus menjadi tulang punggung keluarga dan bisa menyediakan segala kebutuhan—tanpa bantuan pasangan mereka.
Hal ini bisa menimbulkan masalah yang lebih besar di kemudian hari apabila terjadi masalah finansial dalam rumah tangga. Ketika muncul masalah keuangan, laki-laki yang fragile bisa bersikap denial dan menolak bantuan dari pasangannya. Bahkan dalam beberapa kasus, ia akan menutup-nutupi masalah yang ada.
Mudah cemburu
Ada yang bilang kalau cemburu adalah tanda cinta. Tapi rasa cemburu yang tak beralasan adalah tanda hubungan yang tidak sehat. Laki-laki yang tidak percaya diri akan mudah merasa terancam, termasuk ketika pasangannya berteman dan berinteraksi dengan lawan jenis.
Bagi mereka, kejantanan dibuktikan dengan memiliki pasangan yang mendedikasikan seluruh perhatian dan waktu hanya untuk mereka. Alhasil, terkadang mereka tidak bisa membedakan antara kasih sayang dan kepemilikan. For men with fragile egos, everything is a competition. Oleh karenanya, mereka akan mudah merasa iri dengan laki-laki lain.
Tidak mau melakukan pekerjaan domestik
Masih ada banyak laki-laki yang tidak mau mengerjakan pekerjaan domestik karena menganggapnya sebagai urusan perempuan. Bagi mereka, menyapu rumah, mencuci piring, menyetrika baju, atau bahkan merawat anak adalah pekerjaan feminin. Dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan itu, mereka takut dianggap "kurang jantan".
Fragile masculinity adalah bukti bahwa laki-laki ikut dirugikan oleh budaya patriarki. Meski demikian, bukan berarti perilaku tersebut bisa dibenarkan. Kalau kalian merasa pasangan kalian memiliki ciri-ciri fragile masculinity, langkah awal yang bisa dilakukan adalah membuka pintu komunikasi. Pasangan yang mau mendengar dan berdialog adalah tanda bahwa ia mau belajar dan menjadi lebih baik.
Namun pada akhirnya, harus diingat juga bahwa kalian tidak seharusnya bertanggung jawab untuk memperbaiki pasangan yang memiliki fragile masculinity. Seperti kata Astrid Leong dalam Crazy Rich Asians, it's not your job to make him feel like a man.
(ANL/alm)