Petang itu di taman, aku dan kamu bertemu untuk terakhir kalinya.
Berminggu-minggu penuh rasa gusar membuat kita membesarkan hati untuk menghadapi kenyataan dengan sedikit logika yang masih tersisa.
Kamu bertanya: "Apakah ini adalah keputusan yang tepat?" Jujur saja aku tidak tahu.
Aku hanya tahu bahwa kita berdua sudah lelah pura-pura buta atas rintangan yang terbentang di depan. Ibumu diam-diam menginginkan kita mengakhiri hubungan, sedangkan ayahku sedari awal tidak pernah mendukung kita berdua. Perkara ketakutanku menghadapi masa depan yang tak pasti, lagi-lagi hanya bisa kusimpan sendiri tanpa terucap langsung kepadamu.
Mereka bilang, iman adalah sumber kekuatan. Mereka berucap, agama adalah sumber kedamaian. Tapi hari itu aku tak merasa kuat. Tanpa rasa damai. Aku merasa marah dan kalah. Sebab ternyata cinta saja tak cukup untuk meluluhkan dunia yang kadung mengutuk perbedaan.
Kamu diam, aku pun diam.
Rentetan kata-kata yang mengambang di udara perlahan menjadi kabut yang menyelimuti kita berdua. Sebab kita sama-sama tahu, sama-sama mengerti, tak ada pilihan lain selain berhenti di sini. Aku tak tahu harus merasa lega karena bisa terbebas dari perjuangan yang terjal, atau menyesal karena melepaskan seseorang yang begitu berharga.
Hari sudah semakin gelap, dan kita memutuskan untuk kembali.
Kembali ke jalan masing-masing.
Sebelum beranjak pergi, kamu memelukku sambil berkata: "Selamat tinggal, aku mendoakan yang terbaik untukmu." Memang sehabis ini hanya itu yang bisa kita lakukan, menyisipkan nama satu sama lain dalam peribadatan yang tak seorang pun tahu.
Mungkin aku telah menjelma sebagai pengecut karena membiarkanmu pergi dan melepaskan yang kita miliki tanpa berjuang lebih keras. Sambil memandangi siluetmu yang pergi menjauh, aku hanya bisa berharap agar penyesalan tak terasa begitu kejam. Dan kelak, aku mampu berjalan bahagia tanpa harus kembali ada di persimpangan jalan.
(ANL/tim)