Beberapa bulan lalu, publik dihebohkan dengan viralnya sebuah video calon pasangan suami-istri yang berseteru lantaran mahar yang tidak sesuai dengan kesepakatan. Pertengkaran itu pun berujung menjadi perbincangan publik hingga diundang ke podcast-podcast untuk menjelaskan duduk perkara yang kurang penting itu. Kabarnya pertengkaran itu pun berakhir dengan damai dan isu itu menghilang begitu saja.
Belum selesai di situ, kemarin pemberitaan serupa kembali menjadi viral. Kali ini sang calon mempelai pria mengungkapkan rasa kecewanya di media sosial lewat sebuah video pendek TikTok. Dalam video yang berdurasi pendek itu, sang pria menjelaskan bahwa ia membatalkan acara pada H-1 sebelum pernikahannya karena diduga sang calon mempelai perempuan berkata kurang sopan kepada ibu dari si pria karena kurangnya mahar yang diberikan.
Bukan sekali dua kali pemberitaan macam ini muncul di media hingga melibatkan banyak pihak dalam perseteruan yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan ini. Namun fokus utama yang menjadi tulisan ini bukan menyoal orang-orang yang terlalu banyak mengungkapkan kehidupan pribadinya di media sosial, tapi permasalahan mahar pernikahan yang kerap jadi sumber perseteruan.
Sebagai seseorang yang telah menikah dan menjadi pihak perempuan, saya tidak pernah meminta mahar yang memberatkan suami saya. Sebab menurut saya pribadi, mahar adalah hal-hal yang bisa diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya, bahkan setelah menikah nanti.
Jadi kalau meminta banyak di awal, bisa saja ketika finansial suami di tengah pernikahan memburuk, ia tidak bisa memberikan seperti apa yang dia berikan ke istrinya saat menikah dulu. Jika itu terjadi, suami pun pada akhirnya bisa dianggap mendzalimi istri karena tidak mampu memberikan kebutuhan. Memang sulit menjadi kepala keluarga, tapi itulah adanya.
Saya memahami bahwa sebagai pihak perempuan, kita pasti ingin dinilai berharga dengan standar yang kita tentukan sendiri. Namun standar itu bukan berarti membuat orang lain menderita, tapi justru menghargai apa yang sudah kita raih selama ini. Tapi sebenarnya, apa sih esensi dari mahar itu sendiri?
Mahar Itu Wajib Tapi Bukan Memberatkan
Bagi kamu yang mungkin belum menikah, sebaiknya kamu harus memahami apa makna dari mahar itu sendiri. Jangan sampai kamu terjebak kepada sesuatu yang dapat mendzalimi orang lain calon suamimu sendiri. Dalam agama Islam, mahar atau maskawin adalah sesuatu hal yang wajib ada ketika akan melaksanakan ijab qabul.
Menurut Alquran Surat An-Nissa ayat 4, para calon suami memang diharuskan memberikan maskawin atau mahar untuk perempuan yang akan mereka nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Ingat ya, penuh kerelaan. Kalau tidak rela atau memberatkan, itu namanya bukan mahar tapi secara tidak langsung memaksakan kehendak.
Seperti dikutip Nahdatul Ulama, tujuan utama dari kewajiban pemberian mahar ini adalah untuk menunjukkan kesungguhan niat si pria untuk menikahi perempuannya dan menempatkan calon istrinya tersebut pada derajat yang mulia. Dengan mewajibkan mahar ini, Islam menunjukkan bahwa perempuan merupakan makhluk yang patut dihargai dan punya hak untuk memiliki harta.
Yang menjadi salah kaprah di sini adalah jumlah mahar yang harus disediakan oleh si pria kepada perempuannya. Sebenarnya memang tidak ada batasan maksimal khusus yang dijelaskan secara gamblang oleh Alquran tentang mahar. Namun para ulama mencoba untuk memberikan rambu-rambu batasan untuk mencegah si pria kesulitan untuk menikah dengan calon istrinya.
Dikutip dari penelitian yang berjudul Mahar dan Harga Diri Perempuan yang ditulis oleh Abdul Haq Syawqi dari Universitas Islam Negeri Malang, menurut beberapa pemahaman ulama terkait hal ini adalah mahar adalah sebuah kemampuan dari si pria untuk memberikan, lalu merupakan hal yang bermanfaat, dimiliki dan dimakan karena hal ini untuk menghormati perempuan. Sehingga kalau bicara soal kemampuan, tidak ada ukuran tinggi dan rendahnya.
Memahami Tujuan Mahar
Agama Islam telah jelas mengungkapkan bahwa pernikahan bukan hanya memuliakan calon suami tetapi juga calon istri. Adapun tujuan dari mahar yang harus kamu pahami adalah memberikan hak pemilikan harta kepada perempuan, memberikan jaminan sosial ekonomi kepada perempuan, dan juga memberikan kemuliaan kepada perempuan.
Tapi mesti diingat penshariatan mahar bukan bertujuan untuk memperdagangkan perempuan, tetapi upaya penghormatan kepada kita. Justru, mahar tidak harus dilihat sekadar pemberian wajib atau pemberian yang bersifat ritual saat akad pernikahan. Pada intinya mahar hukumnya wajib, tapi bukan termasuk rukun nikah, dan mengenai bentuk, jenis dan batasan atau ukuran mahar harus menurut persetujuan kedua belah pihak yang akan menikah.
Sayangnya, penerapan mahar di Indonesia belum menyentuh ranah Undang-Undang yang jelas. Kebanyakan masih bersifat sukarela atau menurut ketentuan tradisi yang telah dijalani secara turun-temurun. Sehingga konsekuensinya terjadi banyak kesalahpahaman terjadi di antara pasangan calon mempelai maupun keluarga. Meski begitu, ingatlah pernikahan bukan hanya sekadar pemberian harta benda atau mahar yang tinggi, namun bagaimana kedua individu menjalani kehidupan rumah tangga yang sebenarnya jauh lebih sulit ketimbang menentukan besar kecilnya mahar.
(DIR/alm)