Ada saja yang dilakukan orang untuk mendapatkan penghasilan tambahan atau untuk sekadar bersenang-senang. Akhir-akhir ini, ramai diperbincangkan soal sewa menyewa pacar, baik dalam bentuk online maupun di dunia aslinya. Beberapa waktu lalu, saya sempat melihat salah satu akun yang menyediakan jasa pacar sewaan dengan menetapkan tarif tertentu di Instagram.
Dalam akun tersebut, menyediakan informasi talent yang akan menjadi pacar sewaan online maupun offline lengkap, layaknya curriculum vitae saat ingin melamar kerja. Wajar saja bila para talent melengkapi profil mereka seperti ingin bekerja, sebab jasa penyewaan ini memang bisa dianggap sebagai bisnis jasa yang melibatkan klien dan pemberi jasa yang profesional. Tak hanya di Jakarta, penawaran jasa pun tersedia di kota besar lainnya seperti Yogyakarta, Malang, Bandung, dan Surabaya. Tarif yang dipasang pun beragam, mulai dari puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah per jamnya, tergantung paket yang diambil oleh si penyewa.
Meskipun minimal usia para talent adalah 18 tahun, tapi tetap saja hal ini menjadi sebuah isu yang penting. Sebab, bukan tidak mungkin para talent adalah anak-anak remaja yang sedang mencari jati diri dengan mencoba mencari uang tambahan untuk keperluannya sehari-hari. Fenomena ini pun membuat saya penasaran, sebenarnya apa yang melatarbelakangi orang-orang tertarik untuk menyewakan dirinya kepada orang lain untuk menjadi pacar sesaat.
Ilustrasi pacar sewaan/ Foto: Freepik |
Psikolog Klinis, Feka Anggie Pramita, M.Psi, mengatakan fenomena ini sebenarnya sudah lama ada di kota-kota besar lebih dari 5 tahun lalu. Motifnya pun bermacam-macam. Jika dilihat dari penyewa, adanya kebutuhan pengakuan status dari lingkungan bahwa dirinya sudah punya pasangan, sehingga saat pacar sewaannya dibawa untuk dikenalkan pada keluarga atau teman, maka si penyewa merasa statusnya sudah menjadi lebih 'aman' dibandingkan tidak punya pacar sama sekali.
"Selain status, user (penyewa) merasa terhindarkan dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ditanyakan saat dirinya masih jomblo oleh keluarga dan teman. Atau bisa juga berusaha menghentikan adanya paksaan menikah dari keluarga. Sementara benefit bagi pelaku yang menjadi pacar sewaan adalah mereka mendapatkan keuntungan finansial atau ekonomi saat mereka disewa per jam dengan besaran yang variasi dan tips tambahan dan fasilitas yang diberikan user," kata Feka saat diwawancarai oleh CXO Media, Selasa (8/11).
Selain itu, di antara penyewa dan pelaku pacar sewaan ini biasanya terdapat aturan atau boundaries yang sudah disepakati sebelumnya. Menurutnya, ketika seorang menyewa seseorang untuk dijadikan pacar berarti awalnya dilandasi dengan ketidaktulusan satu sama lain sesuai dengan perannya sebagai pacar dan hanya untuk memenuhi kepentingan atau benefitnya saja. Para penyewa akan mendapatkan keuntungan dengan ditemani dan pelaku pacar sewaan dapat benefit finansial dan fasilitas yang diberikan.
Ilustrasi pacar sewaan/ Foto: Freepik |
Fenomena pacar sewaan ini pun menjadi tanda tanya besar, mengapa masih banyak orang yang menyewa mereka dan hal ini terus menerus berkembang di era digitalisasi seperti sekarang ini. Namun dilihat dari pelaku yang notabene adalah remaja menuju dewasa muda yang mencari jati diri, tidak heran bila ada faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku mereka. Feka pun mengamini bahwa faktor psikologis dan lingkungan bisa jadi penyebab adanya fenomena pacar sewaan.
"Bisa jadi karena tuntutan lingkungan dan bisa juga karena kondisi remaja itu sendiri yang mungkin merasa insecure ketika saat berada pada suatu acara seperti prom tidak ada pacar yang menemani. Tuntutan dari orang tua, dari teman dan saudara menimbulkan insecuritas kepada remaja sehingga dengan memiliki pacar sewaan bisa membuat remaja menjadi aman dan terhindar dari asumsi negatif yang muncul dari lingkungan mereka," ujarnya.
Feka menambahkan, perilaku ini juga muncul bisa jadi karena remaja ingin merasakan bagaimana ketika punya pacar, sebelum akhirnya punya pacar yang sesungguhnya. Tapi yang menjadi masalah adalah, ketika remaja tersebut mendapatkan pengalaman pertama yang salah, maka hal yang selanjutnya dipahami juga akan salah.
"Pacaran sejatinya dilandasi dan dipahami dulu dengan relasi sehat antara kedua pasangan, bukan karena benefit apa yang dirasakan satu sama lain yang menjadi utama," kata psikolog yang kini praktik di Klinik Anakku, Kelapa Gading, Jakarta Utara ini.
Ilustrasi pacar sewaan/ Foto: Freepik |
Bahaya yang Mengintai
Walaupun telah mendapat persetujuan dan batasan satu sama lain, tapi tetap saja melakukan kencan dengan strangers atau orang yang sama sekali tidak kita kenal, ada saja bahaya yang mengintai. Apalagi kita tidak tahu bagaimana perilakunya, sifat aslinya, atau bahkan seperti apa track record-nya ketika berkencan. Salah-salah, para talent pacar sewaan malah jadi sasaran kekerasan dalam pacaran atau bahkan menjadi korban kriminalitas.
Sebenarnya pacar sewaan ini dekat dengan remaja di Indonesia, mulai dari adegan yang muncul di cerpen onlin atau film dan anime yang mereka konsumsi sehari-hari. Dengan tipikal remaja yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, penasaran, serta ingin mencoba, maka wajar jika fenomena pacar sewaan semakin banyak ditemukan di Indonesia. Hanya saja remaja belum bisa memikirkan sebab-akibat dalam jangka panjang saat mereka melakukannya.
"Jika perilaku ini muncul pada saat remaja, maka dampaknya mereka tidak mengetahui cara yang benar dalam menjalin relasi sehat baik dengan orang lain atau dengan lawan jenis yang lebih intim. Mereka hanya akan melihat bahwa relasi itu bersifat 'with benefit' sehingga perlu ada yang diberikan terlebih dulu, sebelum akhirnya mereka mendapatkan return baliknya," kata Feka.
Remaja, papar Feka, merasa perlu memberikan fasilitas dulu kepada pasangannya dengan harapan pasangannya juga mungkin akan melakukan hal yang serupa-relasi yang dilihat bisa saja hanya secara material saja, namun bukan bagaimana relasi dan hubungan itu terbentuk dengan kata saling untuk satu sama lain.
Ilustrasi pacar sewaan/ Foto: Freepik |
Jika Anggota Keluarga adalah Pelaku dan Penyewa Pacar Sewaan
Fenomena pacar sewaan yang makin marak ini, tak menutup kemungkinan akan menyasar keluarga kita sendiri nantinya. Lantas, apa yang harus kita lakukan ketika anggota keluarga menjadi pelaku ataupun penyewa? Feka memberikan saran bahwa kita harus mengetahui dulu apa motif dan alasan mereka melakukan hal itu.
"Diskusikan apakah tidak ada pilihan lain untuk memenuhi motifnya selain melakukan perilaku tersebut. Lalu kita harus bersikap merespons bukan reaktif yang akhirnya membuat anggota keluarga menjadi tidak terbuka dengan kita dengan kebutuhannya untuk menjadi pelaku atau penyewa pacar sewaan. Lalu dengarkan ceritanya, tanyakan apakah solusi dari kita, sebagai keluarga yang bisa membantunya. Jika kesulitan, bagian mana yang sulit," kata Feka.
Meskipun para remaja telah memahami mana yang baik dan buruk, tapi mereka bisa saja melihat jalan pintas ini sebagai suatu hal yang lebih mudah untuk dilakukan atau hanya satu-satunya jalan untuk mendapatkan jalan keluar. Padahal masih ada cara lain yang mungkin mereka coba atau pertimbangkan.
Intinya, walau pacar sewaan akan memberikan benefit bagi pelaku dan penyewanya, tapi tetap saja, ini hanya kepura-puraan tidak akan membuat siapapun bahagia. Tapi justru kita akan semakin denial dengan kebutuhan kita akan cinta dan pasangan.
(DIR/tim)