Sejak dulu, saya selalu diingatkan oleh orang-orang di sekitar, bahwa jangan terlalu benci, nanti jadi cinta; atau sebaliknya, jangan terlalu cinta, nanti jadi benci. Sebenarnya hal ini cukup masuk akal, mengingat kita memang lebih baik tidak berlebih-lebihan dalam segala hal, termasuk asmara.
Namun, sebagian orang ada yang memilih untuk menjalani sebuah hubungan berlandaskan dengan cinta dan benci secara bersamaan. Ini dinamakan Love-Hate Relationship. Mereka yang terjebak di dalam hubungan ini biasanya akan merasakan hubungan yang turun-naik secara ekstrem layaknya roller coaster. Terkadang bahagia karena cinta, kadang seperti 'neraka' karena membenci perilaku si dia.
Kamu mungkin pernah melihat pasangan di drama-drama Korea yang menjadikan couple utamanya mengalami love-hate relationship, kemudian mereka berakhir bahagia. Sebut saja pasangan Geum Jan Di dengan Gu Jun Pyo di drama Boys Over Flower yang diawali rasa benci kemudian cinta, dan menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih dengan pola love-hate relationship. Dalam drama tersebut, kamu mungkin melihat keduanya bertingkah sangat manis. Namun di sisi lain, terlihat Geum Jan Di merasa insecure dengan Gu Jun Pyo dan begitu juga sebaliknya. Jika kamu melihat dari sudut pandang realita, keduanya seperti terlibat dalam toxic relationship.
Meskipun banyak yang menganggap pasangan yang menjalin love-hate relationship ini sebagai couple goals, karena mampu melewati berbagai rintangan hubungan dan semakin langgeng, tapi tetap saja kurang baik untuk kesehatan mental setiap individunya. Lantas, apa penyebabnya?
Ilustrasi cinta dan benci/ Foto: Pexels |
Mencari Penyebab Love-Hate Relationship
Dilansir Verywell Mind, orang-orang yang berada dalam hubungan love-hate relationship cenderung mengalami emosi yang intens dan merasa terombang-ambing antara perasaan cinta atau benci. Sabrina Romanoff, PsyD, seorang psikolog klinis dan profesor di Universitas Yeshiva, Amerika Serikat, hubungan ini lebih melelahkan daripada hubungan yang biasanya.
Sebab pasangan tersebut bisa merasakan kegembiraan dan kelelahan yang ekstrem. Romanoff menguraikan penyebab hubungan cinta-benci dan bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mental orang yang menjalaninya.
1. Hubungan Volatile di Awal Kebersamaan
Orang-orang yang memiliki hubungan yang kacau atau tidak stabil di tahun-tahun awal mereka, cenderung merasa menemukan kenyamanan saat berada dalam hubungan love-hate. Mereka merasakan itu karena akrab dengan perasaan dan situasinya, sehingga mereka mengkonseptualisasikan konflik sebagai cara pengekspresian cinta. Mereka berpikir, bahwa konflik adalah cara untuk mengukur minat pasangan melalui ketekunan mencari penyelesaian. Kedekatan yang dialami setelah resolusi bisa membuat hubungan terasa lebih intim dari sebelumnya.
Selain itu, mereka merasa bahwa hubungan yang stabil dan seimbang mungkin terasa membosankan atau karena mereka merasa ragu soal perasaan pasangan. Lalu mereka juga meyakini bila rasa sakit dan ketegangan yang dirasakan selama menjalin hubungan karena kedekatan. Romanoff menyarankan orang-orang tersebut harus belajar melepaskan apa yang mereka inginkan dari konflik dan melihat efek jangka panjangnya dari hubungan ini.
2. Merasa Tak Layak Dicintai
Mereka yang terjebak dalam hubungan love-hate mungkin rentan mengalami predisposisi seperti merasa tidak layak atau tidak dicintai. Hubungan yang kacau mungkin memperkuat keyakinan yang mereka miliki tentang diri mereka sendiri dan mereka mungkin berpikir bahwa mereka tidak pantas mendapatkan yang lebih baik.
Oleh sebab itu, hubungan ini memperkuat pemikiran diri mereka yang paling negatif atau kritis. Mereka juga memberikan perasaan palsu tentang dicintai dan mungkin menyebabkan mereka berpikir bahwa hubungan itu lebih bermakna karena perjuangan menyelesaikan setiap konflik yang dialami. Tapi yang benar adalah, hanya karena kamu yang mengalami hubungan ini dan tidak memiliki perjuangan yang berat untuk menyelesaikan konflik, bukan berarti kamu tidak berharga. Faktanya adalah kebalikannya, dalam hubungan dibutuhkan kepercayaan dan kamu harus bisa mempercayainya tanpa harus mengorbankan perasaan atau hubungan itu sendiri.
Ilustrasi rasa cinta/ Foto: Pexels |
Yang Perlu Kamu Lakukan
Ada beberapa langkah yang bisa kamu lakukan, bila kamu terjebak dalam hubungan love-hate relationship bersama pasanganmu:
Lebih Sadar dengan Emosi: Kamu harus tahu tentang siklus toxic relationship dalam percintaanmu daripada harus menerimanya secara pasif. Mulai untuk memberi label pada emosimu dan bereaksi secara wajar terhadap perilaku pasangan. Setelah memproses perasaanmu, kamu akan mulai mendapatkan perspektif dengan solusi baru untuk masalahmu.
Tetapkan Batasan: Lakukan inventarisasi pada apa yang tidak sesuai untukmu, sehingga kamu bisa menentukan langkah-langkah tindakan yang harus diambil saat itu terjadi di masa mendatang.
Minta Bantuan: Orang-orang dalam hubungan ini cenderung terisolasi dan kekurangan dukungan sosial dari keluarga dan teman yang dapat memvalidasi pengalaman dan membantu mengelola masalah. Jadi kemungkinan besar, kamu tidak punya perspektif yang jelas dan posisi dalam hubungan menyebabkan bias.
Mencari Jalan Keluar: Kamu tidak perlu putus, tetapi kamu harus punya kendali bagaimana ada andil kamu dalam hubungan. Kenali peranmu yang dimainkan dalam aspek-aspek hubungan. Mulailah memperkenalkan perubahan atau variasi dalam menanggapi konflik dan perhatikan bila pasanganmu berubah.
Love-hate relationship memang cenderung menawarkan emosi negatif dan positif yang cukup ekstrem. Ini bisa berdampak buruk pada kesehatan mentalmu dan pasangan, tapi siklus ini bisa sulit diputus jika kamu sendiri tidak tahu seperti apa hubungan yang sehat. Jadi putuskan apakah kamu dan pasangan ingin berubah dengan memberi batasan atau lebih baik pergi mencari yang lebih baik.
(DIR/MEL)