Sepanjang sejarah, manusia telah mengenal ciuman sebagai bentuk kedekatan dan kemesraan. Ada banyak gestur yang memperlihatkan kemesraan, mulai dari berpegangan tangan hingga berpelukan. Namun bagi banyak pasangan, ciuman adalah ekspresi kasih sayang yang paling intim.
Di bibir kita terdapat banyak sekali saraf yang sensitif terhadap sentuhan. Sehingga, bibir merupakan salah satu bagian tubuh yang paling peka terhadap sentuhan dan rangsangan. Ketika kita berciuman, otak akan memproduksi hormon seperti dopamin, oksitosin, dan serotonin yang bisa membuat kita merasakan sensasi senang dan nyaman. Hal ini turut berperan dalam membentuk kebiasaan menutup mata ketika berciuman.
Ketika berciuman, secara refleks kita akan menutup mata. Sebaliknya, ciuman dengan mata terbuka akan terasa aneh dan canggung. Mengapa demikian?
Ketika kita menutup mata, otak kita akan berhenti memproses sinyal visual dari segala sesuatu yang ada di sekeliling kita. Di saat yang bersamaan, indera kita yang lain akan sensitif dan peka. Berciuman adalah aktivitas fisik yang intim. Dengan menutup mata, otak kita akan lebih responsif terhadap sentuhan yang terjadi sehingga sensasi yang timbul pun lebih maksimal.
Hal ini dibuktikan melalui sebuah penelitian tahun 2016 yang dilakukan oleh psikolog Sandra Murphy dan Catherine Dalton. Pada penelitian ini, para partisipan diminta untuk memasangkan tangan mereka ke sebuah alat yang menghasilkan getaran kecil. Di saat yang bersamaan, mereka juga diberi tugas untuk mencari objek visual. Ketika diberi tuntutan untuk menggunakan indera penglihatan, sensitivitas mereka terhadap getaran di tangan pun berkurang.
Meski penelitian di atas tidak spesifik mengkaji relasi antara ciuman dan menutup mata, tapi hal ini membuktikan bahwa bahwa ketika kita menutup mata, indera kita yang lain akan lebih peka. Maka, tidak heran lagi apabila manusia menutup mata ketika berciuman. Sebab dengan menutup mata, pengalaman yang kita rasakan dari berciuman akan terasa lebih intim.