Friendzone memang dapat dikatakan sebagai love-trope yang sangat klasik, di mana seseorang jatuh cinta dengan orang yang hanya memandangnya sebagai sahabat saja, padahal ia sudah mengirimkan sejuta sinyal mengenai ketertarikannya terhadap orang tersebut. Alih-alih mengakhiri pertemanannya, seseorang yang sudah tahu bahwa temannya tidak memiliki perasaan yang sama malah memilih untuk tetap berada di sekitar orang yang ia sukai-berharap keajaiban akan datang. Terjebak di friendzone bukanlah hal yang nyaman, dan bila keduanya tidak dapat menangani perihal ini dengan baik, friendzone dapat merusak bahkan mengakhiri persahabatan yang ada di keduanya.
Tidak jarang juga orang-orang yang mengalami hal ini, baik pelaku friendzone maupun korban friendzone memiliki sudut pandangnya sendiri mengenai siapa yang salah di antara keduanya. Banyak orang yang menjadi korban friendzone mengaku bahwa ketertarikan mereka sebenarnya didasari oleh perilaku yang diberikan oleh si pelaku yang dianggap "lebih". Berbeda dengan sudut pandang pelaku yang mengaku bahwa perilaku mereka merupakan bare-minimum di mana hal itu bukanlah sesuatu yang perlu dibaperin.
Ilustrasi friendzone/ Foto: Pexels |
Untuk memberikan pandangan lengkap mengenai friendzone, saya sudah mewawancarai beberapa teman saya yang mengaku pernah terjebak di dalam hubungan ini sebagai korban dan juga pelaku. Mereka memaparkan sudut pandangnya masing-masing, mulai dari bagaimana mereka bisa berada di dalam hubungan ini dan pendapatnya terkait siapa yang salah di antara keduanya.
Sav (bukan nama asli) mengaku bahwa ia pernah mengalami friendzone dengan teman dekatnya selama 7 tahun. Ia merasa bahwa perasaannya ini didasari oleh perilaku tidak biasa yang ia terima dari temannya. "Setiap hari, makan siang sampai malem ngajak gue mulu, skripsian bareng terus sampe tengah malem. Ngajak gue nonton konser, pas magang main terus udah kayak enggak punya teman lain aja. Malem-malem nganterin makanan, nganterin barang-barang yang gue butuh, minjem barang nyamper ke kostan kayak enggak punya temen yang kostannya lebih deket aja. Bilang I am your priority but also break it right away for putting me after his gebetan. Pas gue sakit dateng nganterin makanan. Sampe semua orang kalo ada perlu ke dia nyarinya ke gue."
Ia yang mengaku victim pun dengan lantang menyatakan bahwa hubungan tidak jelas yang membuatnya terjerat dalam friendzone merupakan salah temannya yang memberikannya perhatian lebih. "Gue sadar di-friendzone-in sama dia setelah dia ngelarang gue buat naksir sama dia after everything he did to me." tambahnya.
Ilustrasi cinta dengan sahabat/ Foto: Pexels |
Jika dilihat dari perspektif Sav, permasalahan dalam hubungan friendzone ini memang dapat dikatakan cukup kejam baginya, di mana ia diberikan treatment yang spesial namun di saat yang bersamaan terdapat boundaries yang dibangun oleh si pelaku agar Sav tidak menaruh hati padanya. Padahal, bila memang hubungan yang diinginkan hanyalah sebatas teman, mengapa ia memberikan perhatian khusus dan waktu lebih untuk Sav? Sampai saat ini, Sav pun mengaku bahwa ia masih menyimpan perasaan lebih kepada temannya walaupun berkali-kali ia sudah melihatnya bergonta-ganti pasangan.
Tidak hanya Sav yang memberikan sudut pandangnya sebagai korban friendzone, saya pun juga berhasil mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai seseorang yang mengaku pernah menjadi pelaku friendzone. Sebut saja Mawar, ia mengaku bahwa ia pernah tidak sengaja melakukannya dan tidak ada sedikitpun niat untuk membuat seseorang baper karena perlakuannya.
"Awalnya kan emang kita temenan, terus ya udah gitu tiba-tiba dia sikapnya aneh kayak suka ngasih gue perhatian lebih, yang jujur itu bikin gue gak nyaman. Udah asyik-asyik temenan tiba-tiba salah satunya ngasih perasaan," ujar Mawar.
Tidak hanya Mawar, Sydney (bukan nama asli) juga mengaku pernah melakukan hal ini kepada sahabat karibnya yang ia anggap one text away ketika ia membutuhkan apapun. Namun, memang ia hanya menganggapnya sebagai teman saja dan tidak pernah memberikan perlakuan yang lebih. "Waktu itu gue curhat karena lagi insecure, terus dia malah tiba-tiba confess. Dia sampe bilang 'gue tahu sih lo enggak bakal ngorbanin pertemanan kita, gue tahu lo enggak mau lebih dari temen tapi gue tungguin lo sampe lo ketemu yang tepat.' since then, gue jadi takut gerak ke dia sampai gue sempat away for months biar abis itu biasa aja lagi sama dia. Tapi sampai sekarang gue enggak pernah chat random lagi gara-gara itu," ungkap Sydney.
Ilustrasi friendzone/ Foto: Pexels |
Baik Mawar maupun Sydney yang pernah berada di posisi sebagai pelaku friendzone, menjawab dengan lantang ketika saya tanya pendapatnya mengenai siapa yang salah dalam hubungan ini. Mawar menjawab, "Dia yang ngaku cuma dijadiin friendzone sama gue. Salah dia. Kenapa harus baper? Padahal udah jelas-jelas dari awal udah tahu cuma temenan aja. Kenapa harus punya harapan yang lebih apalagi ke temen sendiri?"
Tidak jauh berbeda dengan Sydney yang mengatakan bahwa semua ini adalah salah temannya yang menaruh harapan lebih kepadanya, di mana ia menjawab "Dia kan tahu gue enggak mau lebih dari teman dan dia tahu gue suka sama siapa tapi kenapa dia tetep told me those things dan bikin gue jadi awkward sendiri? Gue jadi bingung mau gimana, akhirnya gue milih-milih momen kalo ngomong sama dia lagi biar enggak awkward," ujarnya.
Sebenarnya, memang sulit untuk mengungkap siapa yang salah dalam hal ini secara umum karena kasus friendzone berbeda dengan kasus hubungan-hubungan lain. Memang tidak dapat kita mungkiri bahwa orang lain akan selalu menjadi orang jahat di dalam cerita kita karena kita tidak mengetahui betul sudut pandang lain yang dimiliki olehnya. Namun yang bisa kita tarik dari perihal friendzone ini adalah there's a boundary needs to be set if you're not seeking for further connection with someone. Tidak hanya itu, kita pun juga harus tahu kapan kita harus berhenti mengandai-andai dan mengharap lebih dari orang lain dalam waktu yang lama, because you're just wasting your time and you're worth for so much more.
(DIP/DIR)