Pada sebuah ruang tidak dikenal, dua orang asing dipertemukan keadaan. Kondisinya sunyi dan sepi: hanya ada dua buah meja di kedua sudutnya, yang terpisah beberapa langkah.
Seorang wanita datang duluan dan mengisi sudut jendela. Sementara seorang pria, datang setelahnya dan menempati sisi seberang. Di antara keheningan, keduanya rajin bersilang pandang meski tidak disusul perkataan.
Dalam merdu kesunyian, sang pria mencoba menyapa. Melalui tajam pandangan matanya, ia menyiratkan pesan, "halo, mari berkenalan." Sementara sang wanita yang tenang, membalasnya dengan menyiratkan tatapan berbinar layaknya ungkapan "halo, mari saling mengenal," seraya mengedip perlahan.
Saat itu, matahari tengah menyingsing di ufuk barat. Pun begitu, keduanya tak kunjung menerangi keadaan dengan obrolan, hanya semakin rajin bercuri pandang. Saat gelap benar-benar datang, sang wanita bersiap meninggalkan ruangan.
Di hadapan jendela, sang wanita berdiri sembari menggantungkan tas ke pundaknya. Sedikit melempar pandang kepada sang pria, wanita itu mengangguk lembut dan perlahan. Tak lama, ia melangkah ke luar ruangan.
Hal itu lantas menyudahi lamunan sang pria. Sebuah anggukan yang lembut, dicernanya sebagai undangan bertukar makna. Demi mengejar ketertinggalan, sang pria bergegas meninggalkan ruangan. Pada langkah yang mulai lebih cepat dari detak jantungnya, sang pria telah sampai di halaman. Dilihatnya sang wanita berdiri ayu di muka pekarangan.
Langkahnya yang secepat kilat akhirnya terhenti seketika, tatkala melihat sang wanita justru menumpangi kendaraan biru berlambang burung yang juga kebiruan. Selagi terpaku di perhentian, sang pria menatap tajam ke balik jendela kaca kehitaman. Dengan sekuat tenaga, dibacanya pesan pada sorot mata sang wanita untuk yang terakhir kalinya. Kira-kira, begini ucap sang wanita, "bodoh, diamlah di sana. Cinta terbaikmu yang sedari tadi berjarak sepuluh langkah, telah terbang untuk selamanya."
(RIA/MEL)