Membahas cinta, entah mengapa tembang "Kata Pujangga" milik sang Raja Dangdut, Rhoma Irama terus berputar di dalam kepala saya. Begini katanya, "hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga, aduhai begitulah kata para pujangga." Bersama alunan yang mengajak bergoyang tersebut, cinta hadir bagaikan bunga yang harumnya mampu terhirup oleh siapa saja.
Melalui potongan lirik tersebut pula, cinta terasa mampu bermekaran di taman-taman hati manusia, tanpa prasyarat usia. Hal ini, mungkin turut mendasari suatu fenomena, yang menunjukan gairah dan tekad pada kisah percintaan manusia, sedari usia kecil hingga tua.
Pada usia yang terbilang dini, cinta memang tumbuh secara menyenangkan. Meskipun para pelakunya masih sulit mengenal apa itu bilangan prima, cinta tetap sah untuk ditumbuhkembangkan. Tidak terkecuali, oleh adik saya, seorang pelajar sekolah dasar yang belakangan mulai menunjukan gejala mabuk asmara.
Melalui amatan singkat pada kegiatannya sehari-hari, yang mana mulai menjadi rajin tersenyum kepada gawai digenggamannya, saya semakin mencium aroma bunga yang bermekaran di hatinya. Setelah penyelidikan lebih lanjut, asal-muasal senyuman tersebut berasal dari percakapan virtual dengan seorang perempuan di satu sekolahnya.
Fase yang sedang dialami adik saya ini, dikenali dengan istilah cinta monyet atau puppy love. Keadaan ini dikenali melalui perilaku-perilaku afektif terhadap lawan jenis. Pada kasus yang dialami adik saya, hal yang unik adalah ketika saya--secara tidak sengaja--mulai mengetahui gaya berkomunikasi pasangan kecil yang di bawah pengaruh cinta tersebut.
Bagi saya, hal ini terbilang unik. Pasalnya, bentuk ungkapan cinta yang dipraktikan sang adik berbeda dengan momen puppy love yang pernah saya rasakan. Dengan adanya kecanggihan teknologi, bentuk cinta yang berbunga dan kreatif pada anak sekolah dasar terwujudkan pada sejumlah sticker whatsapp bermuatan wajah sekaligus ekspresi dari keduanya yang unyu itu.
Bukan bermaksud untuk mempermalukan kisah yang dialami sang adik, tetapi saya sedang mencoba mengapresiasi keberanian ekspresi cinta yang diungkapkan adik saya--dan gebetannya, yang walaupun sebatas percakapan berisi pesan sticker wajah lucu dan ungkapan renyah seperti "laf you" atau "hmmm" atau bahkan "uwuuu", sebagai suatu bentuk kreatif dari indahnya bunga cinta manusia.
Bagi saya, hal ini bahkan sangat kreatif dan atraktif. Terlebih jika dibandingkan dengan masa saya dahulu, yang mana hanya terungkap lewat sobekan kertas dengan ungkapan lugas yang kurang jelas. Kembali ke kasus yang dialami adik saya, kesadaran mengenai cinta yang sanggup berkembang dengan mekar pada anak sedini itu membuat pengumpamaan cinta pada lagu "sang pujangga" milik Rhoma Irama semakin bermakna dan mampu dirasakan berbagai usia.
Fase cinta monyet atau puppy love yang dialami adik saya tersebut, merupakan fase cinta di awal kehidupan manusia yang turut menjadi pembelajaran berharga pada tahap berikutnya. Di masa remaja menuju dewasa, mekar bunga di taman cinta para pemuda mulai dimaknai dengan lebih serius meskipun sedikit pretensius. Maksud saya, pada usia muda, pemuda dan pemudi yang digandrungi cinta terkadang mulai berlaku sebagai orang yang berbeda, meski tujuan utamanya tetap berada pada keagungan cinta.
Hal ini--lagi-lagi--membuat tembang "sang pujangga" kembali relevan. Yang mana pada usia muda, seorang pecinta akan berlaga bak pujangga yang gemar melontarkan serangkaian cinta, demi mewarna-warnikan taman hati sang pujaannya. Meskipun tak jarang terdengar memuakkan, pasangan yang dimabuk asmara justru mampu menghirupnya dengan indah.
Cinta di fase ini tidak lagi bercanda seperti stiker-stiker yang dikirim berbalasan oleh adik saya. Karena bersifat lebih serius, para pecinta bahkan mulai bertukar harapan utopis tentang masa depan, bersikap manja dan membutuhkan perhatian, hingga menggeluti drama-drama tak berkesudahan.
Pada fase ini pula, cinta tidak selalu membahagiakan. Kadang kala, beberapa upaya tambahan seperti bersikap sabar dan berjuang harus dilakukan. Tentunya dengan ungkapan manis ala pujangga. Hal seperti ini, saya kenali dan pelajari melalui kisah cinta seorang paman, yang pada medio 90an lalu, mengaku pernah berjuang atas nama cinta meski jarak memisahkan.
Menurut sang paman, surat-surat cintanya dengan sang bibi--yang kini telah diperistrinya selama seperempat abad, menjadi saksi bisu perjalanan mereka. Waktu itu, surat-menyurat memang merupakan media komunikasi utama manusia. Oleh karena itu, kebiasaan komunikasi yang memerlukan waktu tersebut menjadi penyebab tingginya kesabaran pasangan di masa lampau--sebagaimana yang ia rasakan.
Walaupun begitu, di antara gempuran perasaan rindu yang menyiksa, keihwalan cinta tetap menguatkan mereka. Sementara itu, buah penantian rindu baru akan tiba tatkala balasan yang dinanti-nantikan akhirnya datang juga. Paman saya menjelaskan, sebuah surat cinta, biasanya memiliki tiga sampai empat bagian.
Bagian pertama, memuat salam pembuka yang manis. Bagian kedua biasanya berisi balasan bagi pesan sebelumnya, sementara pada bagian yang ketiga, kisah keseharian bersama sejumlah pertanyaan akan diutarakan. Pada bagian yang terakhir, serangkaian ungkapan kasih sayang akan dituliskan sekaligus pernyataan mengandung harapan untuk segera bertemu dan melepas kerinduan.
Hal ini turut dibuktikan paman dengan menunjukan sekumpulan surat di sebuah kotak penyimpanan kepada saya. Beberapa ikat surat tersusun rapi di antara warna kertas yang mulai menguning. Pesan di dalamnya, memiliki struktur yang mirip dengan yang paman sampaikan. Walaupun di dalam suratnya terdapat kata-kata puitis yang sedikit membangitkan rasa mual, secara menyeluruh pesan cinta paman dan bibi saya di surat itu memang menyentuh.
Barisan tulisan tangan bertinta perasaan dan beraroma bunga, terbubuh indah pada puluhan koleksi surat cinta paman. Hal ini seakan-akan kembali membenarkan poin Bang Haji Rhoma, yang menyatakan bahwa cinta adalah taman penuh bunga, yang mampu dipelihara dan ditumbuh kembangkan oleh siapa saja. Hanya saja, dokumentasi dari kumpulan surat paman terbut saat ini sulit untuk dimuat, karena menurut pengakuan anaknya, beberapa surat telah rusak karena banjir dan yang lainnya terbengkalai di sudut gudang yang sulit dijangkau.
Walaupun demikian, setidaknya cinta telah terhirup dan dirasakan. Baik melalui komunikasi konyol si anak sekolahan, atau secuplik kisah puitis paman dan bibi dalam serial surat cinta mereka. Pada taman-taman cinta, mekarnya bunga memang mampu dihirup dan dirasakan oleh siapa saja, termasuk oleh orang di usia senja--yang pada kenyataannya memang lebih sering berdiam diri di taman.
Di usia yang matang, cinta mungkin tidak lagi berisi dambaan dan harapan. Mungkin bentuknya lebih manis dan bijaksana, layaknya bunga yang rajin dirangkai para orang tua. Melalui pengalaman asam dan garam, ambisi jatuh cinta hingga tua pun telah rampung ditunaikan. Sisanya, mungkin sebatas menikmati hari-hari bersama, dengan sederhana.
Sebagaimana judul dari pembahasan ini, cinta: dari, untuk, dan oleh siapa saja, kisah cinta yang pernah terasa di sekeliling saya, akan dilengkapi kisah-kasih kakek dan nenek saya--yang saat ini telah bersatu di alam keabadian. Semasa kanak-kanak, saya ingat betul betapa gemarnya kakek dan nenek saya dahulu, untuk duduk diam menghabiskan sore di pekarangan rumah. Nyaman dan apa adanya.
Nenek tampil tanpa riasan menor di pipi, melainkan tusuk konde dan daster batik hadiah dari sang anak. Sementara tubuh gagah kakek yang mulai menciut hanya dibaluti kain sarung dan singlet sebagai atasan. Dalam kesunyian sore hari, keduanya hanya duduk santai di antara meja berisi dua cangkir teh hangat asal China dan serpiring singkong rebus.
Saya yang masih kecil waktu itu, kurang mengerti mengapa mereka terus menerus melakukan kegiatan yang hampir sama setiap harinya. Meskipun tidak pernah mendapat jawaban hingga keduanya wafat, belakangan saya mulai curiga bahwa di dalam diam, mungkin saja para orang tua menyatakan cinta.
Ya, dalam gerak-gerik para orang tua, mungkin setiap perlakuan mereka adalah rupa dari cinta. Apalagi, mereka memang telah lama bersama, pastinya paham betul apa yang disuka dan sebaliknya. Atau mungkin juga, ungkapan cinta hadir lebih sederhana melalui hembus-hembus asap tembakau yang dijauhkan kakek dari tempat nenek duduk. Mungkin juga diwakili oleh tiupan lembut nenek kepada singkong yang segera dioperkan kepada mulut kakek. Cinta pada usia senja, memang tidak lagi dipenuhi ungkapan semata. Jauh dari itu, cinta hadir secara lebih nyata hingga menuju fana.
(RIA/DIR)