Masih ingat dengan Ronald Tanur, tersangka kasus pembunuhan dan kekerasan terhadap kekasihnya? Sebelumnya, ia sempat dibebaskan tanpa syarat oleh pengadilan, namun terungkap bahwa keputusan tersebut disebabkan oleh keluarga Ronald yang memberikan suap kepada hakim pemberi vonis. Tak lama, Ronald pun diboyong lagi ke penjara dan dijatuhi hukuman yang sesuai dengan perbuatan femisida yang dilakukannya.
Itu baru di dalam negeri, yang lebih menghebohkan datang dari kasus pembunuhan terhadap dokter perempuan yang diperkosa oleh sejumlah pria di India. Setelah memerkosa, mereka menyiksa sang dokter dengan keji hingga terbunuh karena luka-luka yang parah. Belum ada alasan yang masuk akal dari pelaku yang tertangkap melakukan kejahatan tersebut, yang pasti karena dia perempuan maka mereka melakukannya.
Lalu, dalam sebulan saja saya telah melihat berbagai pemberitaan terkait pembunuhan terhadap perempuan yang banyak relasi terdekatnya, terutama keluarga. Hal ini pun menimbulkan pertanyaan, kalau ruang terdekat seperti keluarga sudah menjadi pelaku kekerasan, lantas di mana lagi ruang aman untuk perempuan?
Fakta Miris soal Femisida
Melansir dari data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), rata-rata lima perempuan atau anak perempuan dibunuh setiap jam oleh seseorang dalam keluarga mereka sendiri. Kerap kali pembunuhan itu terkait identitas mereka sebagai perempuan. Femisida secara umum diartikan sebagai pembunuhan yang disengaja terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan.
Istilah ini pertama kali diungkapkan dalam sebuah buku tahun 1801 karya penulis Irlandia John Corry berjudul A Satirical View of London at the Commencement of the Nineteenth Century yang merujuk pada pembunuhan seorang perempuan. Istilah ini diperkenalkan lagi pada 1970an oleh Diana EH Russell, seorang spesialis kekerasan terhadap perempuan yang berupaya menyorot besarnya kekerasan dan diskriminasi pria terhadap perempuan.
Walaupun tidak ada definisi yang disepakati soal fenomena ini, namun definisi yang lebih luas mencakup pembunuhan terhadap perempuan atau anak-anak perempuan. Ada dua jenis femisida yakni femisida langsung dan tidak langsung.
Femisida langsung merupakan pembunuhan sebagai akibat dari kekerasan pasangan serta pembunuhan terkait kehormatan-diperkirakan ada 5000 pembunuhan atas nama 'kehormatan' setiap tahun di seluruh dunia, terutama di beberapa bagian Timur Tengah dan Asia Selatan. Pembunuhan berbasis identitas gender dan orientasi seksual, juga terkait adat dan etnis menjadi contoh nyata femisida langsung.
Sementara femisida tidak langsung berkisar dari kematian akibat aborsi tidak aman yang dilakukan secara buruk dan kematian terkait perdagangan manusia, sampai kematian akibat kelalaian sederhana, dan tindakan pembiaran yang disengaja oleh negara.
Di Indonesia saja--menurut laporan Jakarta Feminist-ada 37 persen kasus femisida yang terjadi dalam relasi yang dekat seperti pasangan. Sementara sisanya dilakukan oleh relasi darah, mulai dari anak, orang tua, kakak-adik, kerabat dekat lainnya, sampai mertua dan menantu. 36 persen pelaku menggunakan fisik untuk menyiksa sampai menghilangkan nyawa, 32 persen menggunakan senjata, dan sisanya memanfaatkan benda yang ada di sekitar.
FEMISIDA YANG MASIH DIANGGAP SEPELE
Ketika ruang terdekat perempuan sudah tidak mampu lagi melindungi, negara harus bertindak sesegera mungkin untuk melindungi Hak Asasi Manusia para perempuan. Namun sayang pada faktanya, femisida masih tidak terlalu menjadi persoalan urgent yang harus segera diatasi bahkan dianggap sepele.
Memang sudah ada payung hukum untuk menindak pelaku femisida dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, UU KDRT, hingga UU Perlindungan Anak. Tetapi itu saja tidak cukup tanpa adanya kepedulian dari masyarakat sekitar dan terutama pada penegak hukum.
Sebuah laporan dari Universitas Queen Mary London menggunakan studi kasus Meksiko untuk menyatakan bahwa undang-undang itu sendiri tidak berhasil mengurangi femisida di sana. Temuan-temuan dari laporan ini bisa menjadi sumber penting untuk tidak hanya memahami kompleksitas femisida sebagai bentuk ekstrem kekerasan berbasis gender, tetapi juga demi meningkatkan upaya-upaya untuk menanggapinya dengan lebih baik.
Banyak kasus di dunia, bukan hanya di Indonesia, yang melihat pembunuhan terkait gender yang dilakukan oleh pasangan atau anggota keluarga dihitung sebagai pembunuhan pada perempuan. Ini menyebabkan kurangnya pelaporan dan ketidaktampakan atas pembunuhan terhadap perempuan yang terjadi sebagai bagian dari praktik-praktik berbahaya, seperti mutilasi alat kelamin perempuan, kejahatan kebencian terhadap orientasi seksual, pembunuhan pada perempuan akibat adat atau kelompok organisasi.
Meskipun keadaan sosial dan politik berbagai negara di seluruh dunia mungkin berbeda, tetapi ada beberapa pelajaran dalam memerangi femisida yang bersifat universal. Misalnya mengatasi toxic masculinity dan lebih mempromosikan kesetaraan gender adalah tindakan yang bisa dilakukan sebelum kejadian itu terjadi.
Lalu, harus dipahami bahwa pemahaman identitas gender, atau kesetaraan bukan hanya nilai yang dipelajari oleh orang dewasa saja. Namun nilai-nilainya harus diajarkan sejak anak-anak sehingga menjadi dasar moral yang kuat untuk memerangi femisida di masa mendatang.
(DIR/tim)