Inspire | Human Stories

Belajar Move On dari Ketakutan pada PKI

Senin, 30 Sep 2024 18:00 WIB
Belajar Move On dari Ketakutan pada PKI
Buku-buku tentang kebencian pada PKI Foto: Wikimedia Commons
Jakarta -

Selama puluhan tahun narasi ketakutan pada Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak pernah surut. Mengingat peristiwa keji pada 30 September 1965 itu masih membayangi masyarakat Indonesia. Narasi itu pun dilanjutkan secara turun-temurun dengan niat agar setiap generasi muda selalu ingat terhadap sejarah kelam negeri ini.

Saya masih ingat ketika di usia sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, sekolah selalu menyediakan satu hari untuk menonton bersama peristiwa kelam itu dalam balutan film berjudul Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI Masih membekas sedikit jelas dalam ingatan saya bahwa film rilisan 1984 itu menunjukkan betapa kejamnya para anggota PKI ini membunuh para jenderal dan bagaimana mereka pada akhirnya diberantas oleh Tentara Nasional Indonesia.

Saat pertama kali disuguhkan, saya cukup senang karena bagi saya ini merupakan sebagian kecil dari sejarah Indonesia dan kita patut untuk mengetahuinya. Namun semakin dewasa, saya menyadari bahwa film ini selalu diputar berulang-ulang setiap tahun tanpa adanya tambahan revisi sejarah atau sisi lain dari peristiwa tersebut.

Apalagi isi konten dari film itu banyak menunjukkan gambaran PKI yang kejam, menakutkan, keji, dan tak berkeprimanusiaan. Jadi, tidak heran ketakutan terhadap PKI selalu turun-temurun dari generasi ke generasi. Ditambah lagi, di era digitalisasi seperti sekarang ini isu-isu hoaks soal PKI berkembang biak bak tsunami di media-media sosial yang kita konsumsi.

Namun bisakah kita mulai belajar move on dari ketakutan terhadap PKI agar kita tak lagi mudah terhasut oleh pihak yang mencoba memanfaatkan situasi?

Ketakutan yang Nyata atau Mengada-ada?

Sempat beberapa tahun lalu tepatnya sekitar 2017-2020, masyarakat heboh adanya isu kebangkitan PKI berdasarkan sederet peristiwa. Semua orang ketar-ketir memberitakan, membuat klarifikasi agar masyarakat tenang dan tidak ketakutan secara berlebihan.

Dikutip dari Detikcom, misalnya pada 2017 munculnya Perppu Ormas menjadi salah satu indikasi kebangkitan PKI di era digitalisasi. Kala itu, Presidium Alumni 212 dan organisasi lainnya menggelar aksi terkait hal ini. Mereka menggelar aksi pada Jumat (29/9/2017) di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat. Aksi ini mengangkat dua isu, yakni tolak Perppu 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan penolakan terhadap kebangkitan PKI.

Lanjut lagi di tahun 2018, narasi berbeda muncul ketika Alfian Tanjung terjerat kasus ujaran kebencian lewat cuitannya yakni "PDIP 85% isinya kader PKI" di akun Twitter (X). Dalam sidang tersebut, ia menyebutkan alasannya menyinggung Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Ia membeberkan, indikasi bangkitnya PKI salah satunya karena ditiadakannya pemutaran film G 30 S PKI.

Di tahun 2020, muncul lagi isu kebangkitan PKI ketika sebuah video viral yang diunggah oleh YouTube Hersubeno Point yang diberi judul Jenderal Gatot Endus PKI Gaya Baru Sejak 2008. Mantan Panglima TNI (Purn) Gatot Nurmantyo banyak bicara soal PKI di kanal YouTube itu. Gatot juga bicara soal kebangkitan PKI. Dia mengaku mengetahui kebangkitan PKI gaya baru sejak 2008. Salah satu tandanya, menurutnya, hilangnya pelajaran sejarah tentang G30S/PKI.

Ini hanya sedikit dari banyaknya narasi yang tak terhitung soal menyangkut-pautkan peristiwa, pernyataan wawancara, dan bumbu-bumbu opini tak berdasar hingga membuat isu ini selalu tak pernah padam dari peredaran. Namun apakah semua jahitan narasi tersebut bisa dibilang ketakutan yang nyata atau justru mengada-ada?

Ketakutan Jadi Faktor Sulitnya Tragedi 1965 Terselesaikan

Kita pun tidak boleh lupa bahwa korban dari kekejaman 59 tahun lalu itu bukan hanya para petinggi prajurit negeri ini. Namun juga masyarakat yang dituduh terlibat beserta seluruh keluarganya, dan korban jiwa masyarakat tak bersalah lainnya. Tak bisa dimungkiri bahwa ketakutan yang beranak-pinak yang tak tahu arah ini menjadi alasan sulitnya tragedi 1965 sulit terselesaikan.

Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan ketakutan masyarakat terhadap komunisme dan PKI jadi alasan sulitnya kasus G30S selesai. Dilansir dari Kompas.com, Staf Divisi Advokasi Kontras Tioria Pretty mengungkapkan, ketakutan itu disebarkan oleh pemerintahan orde baru yang berkuasa selama 32 tahun.

"Bayang-bayang ketakutan akibat narasi-narasi ini, seperti komunis yang kejam atau atheis dan sebagainya yang menempel dalam memori mayoritas penduduk Indonesia," tutur Pretty.

Belum lagi, perbedaan pandangan antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Jaksa Agung soal status pelanggaran HAM dalam peristiwa itu tak juga menemui titik temunya. Pretty pun menambahkan akibat buruk dari penyebaran narasi pemerintah orde baru soal peristiwa 1965 membuat korban-korban memang terbukti tak bersalah yang sudah dibuktikan dalam pengadilan sekalipun masih mendapatkan stigma negatif di tengah masyarakat. Mulai dari diskriminasi, hak-hak yang terenggut, hingga ketidakadilan dalam masyarakat.

Jika sudah begini, bukankah sudah waktunya kita move on dari ketakutan pada PKI?

Beruntung bagi kita yang bisa memilah berita-berita hoaks mana yang tidak soal ini. Tapi bagaimana orang-orang yang di daerah yang mengonsumsi media sosial sebegitu terbukanya? Ya, bisa ditebak kebanyakan dari mereka menelan mentah-mentah dan lagi-lagi ketakutan berkembang. Bukan hanya itu, isu kebangkitan PKI seakan menjadi bumbu 'pedas' yang melengkapi setiap kontestasi politik.

Padahal perihal PKI sendiri merupakan sejarah kelam di tubuh negara ini yang sampai sekarang masih penuh tanda tanya dan belum bisa dipaparkan secara gamblang. Semua masih abu-abu dan sulit untuk menemui titik terang siapa yang menjadi dalang sesungguhnya selain para pelaku yang selama ini kita tahu.

Namun di era digitalisasi dan modern seperti sekarang ini, kita pasti sudah cukup pintar untuk memilih informasi yang berupa fakta yang bisa dibuktikan. Move on bukan berarti kita melupakan peristiwa 1965 ini. Narasi tentang sejarah perlu dicatat dengan detail dan diwariskan menjadi bentuk pembelajaran, bukan ketakutan.

Jadi, kita sebagai generasi muda yang sudah melek teknologi dan bisa mengakses informasi lebih luas, seharusnya bisa mengubah narasi ketakutan yang sudah turun-temurun ini menjadi sebuah kesadaran akan sejarah saja. G30S memang menjadi noktah yang tak bisa terhapus dan tertulis jelas dalam sejarah sampai kapan pun, oleh sebab itu bukankah sekarang saatnya kita berani untuk melangkah dari ketakutannya?

(DIR/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS