Inspire | Human Stories

Katanya, Membenci Hal Populer itu Keren

Senin, 09 Sep 2024 14:40 WIB
Katanya, Membenci Hal Populer itu Keren
Katanya, Membenci Hal Populer itu Keren/ Foto: Istimewa
Jakarta -

"Hari gini suka BTS? Mending dengerin musik metal lah!"

"Daripada pake brand lokal, lebih worth it pake brand yang udah terkenal sih"

"Ngapain weekend ke Blok M? Tuh emak lu lagi kerja buat biayain lu ke Jaksel."

Kalimat-kalimat di atas hanya bentuk bayangan dari pembicaraan yang pernah dilihat di kehidupan nyata atau media sosial. Jika memang pernah merasakan hal yang sama, ya mungkin kamu atau orang di sekitarmu memang senang membenci hal populer. Dan menurut mereka itu keren.

Membenci Hal Populer itu Keren

Membenci suatu tren sudah menjadi bentuk budaya di Indonesia. Sebenarnya ingin menggunakan data agar terbaca lebih valid. Namun sebenarnya tidak perlu juga. Budaya seperti ini sudah ada di sini sejak dulu kala, bahkan sebelum kamu lahir ke dunia fana ini.

Bayangkan, pada abad ke-17, seorang pejabat Inggris bernama Oliver Cromwell pernah memerintahkan tentara untuk merazia semua makanan yang dipersiapkan warga untuk hari Natal di rumah mereka masing-masing. Alasannya pun sederhana; dia benci hari Natal.

Kalau dari zaman Inggris hobi menjajah saja budaya ini sudah muncul, maka tidak aneh kalau sampai sekarang masih ada. Masyarakat hanya mewariskan kebiasaan yang sekiranya tidak berbahaya untuk masa depan. Begitu juga dengan budaya membenci hal populer.

Kalau mengingat era awal Twitter, sudah ada perbandingan kalau media sosial ini lebih keren dari Facebook yang berangsur-angsur disebut sebagai tempatnya alay berkumpul. TikTok yang lagi naik daun pun juga sering mendapatkan shaming sebagai media sosial kandang monyet. Setuju kah kamu?

Apa lagi yang sering dibenci karena menjadi media populer? Musik tidak mungkin luput dari sorotan budaya ini. K-pop yang diolok-olok karena dikatain "banci"; musik metal (mellow total) yang mengisi acara musik setiap pagi disebut sebagai "kumpulan alay"; sampai musik emo yang diteriakin "cengeng".

Tidak ada hal populer yang bisa lepas dari mindset kebencian ini. Gila, bayangkan saja. Hal se-harmless musik yang dikreasikan untuk bersenang-senang bisa dibenci pula. Kalau sudah begini, maka kita harus melihat pandangan dari ranah psikologi.

Menurut Barry Kuhle, Associate Professor jurusan Psikologi di Universitas Scranton, ia melihat orang yang mengamini budaya kebencian ini karena ingin terlihat lebih keren secara total. "Bagaimana caranya, mereka akan berusaha menunjukkan sosoknya kepada orang lain kalau lebih hebat dan superior," tegas Kuhle yang dikutip dari VICE.

Urusan gender memberikan pengaruh cukup besar yang dinyatakan dalam data riset ScienceDaily. Di sana tertulis kalau pria lebih sering memberikan judgment atas hitam dan putih dibandingkan wanita yang tidak ragu untuk melihat sisi lain dari sebuah tren. Bisa dibilang, wanita lebih santai ketika melihat tren karena memang harmless juga. Masalah ini juga bisa masuk ke dalam persoalanĀ toxic masculinity yang selalu jadi penyakit berkepanjangan para pria.

Duh, data yang sudah diberikan sepertinya semakin memperkuat kalau membenci hal populer memang sering dilontarkan pria. Kalau begitu bagaimana dengan tiga kalimat di awal artikel? Harus diakui kalau dua dari tiga kalimat di atas memang pernah dilihat atau didengar dari mulut pria. Apalagi sudah ada pengakuan langsung dari banyak orang kalau mulut pria itu jauh lebih jahat dari wanita. Lagi-lagi hal itu tidak bisa dibantah karena penulis merasakan hal yang sama sebagai seorang pria.

Katanya, membenci hal populer itu keren. Kalau memang keren dan kamu masih mau melakukan, maka just do it. Cuma jangan kaget kalau caramu itu semakin banyak dipandang miring. Toh, apa yang mau dicari dari menjadi si paling edgy jika dirimu sendiri masih jadi useless NPC di tengah masyarakat? Paling cuma dianggap yapping bagaikan angin mamiri.

(tim/DIR)

Author

Timotius P

NEW RELEASE
CXO SPECIALS