Inspire | Human Stories

Double Bind & Double Flex: Hambatan Bagi Perempuan di Tempat Kerja

Jumat, 05 Jul 2024 17:30 WIB
Double Bind & Double Flex: Hambatan Bagi Perempuan di Tempat Kerja
Double Bind & Double Flex: Hambatan Bagi Perempuan di Tempat Kerja/Foto: Unsplash: Christin Hume
Jakarta -

Di era yang semakin progresif, ada lebih banyak perusahaan yang menyadari pentingnya kesetaraan gender di tempat kerja. Perempuan yang menempati jabatan manajerial pun semakin banyak ditemui dan sudah menjadi hal yang lumrah. Tapi di balik kemajuan ini, perempuan masih menghadapi banyak tantangan di tempat kerja. Pada kenyataannya, meski perempuan sudah diberi kesempatan yang sama, mereka masih menghadapi stereotip dan bias yang menjadi penghalang untuk naik ke jabatan yang lebih tinggi. Ada kalanya suara mereka tidak didengar dan harus bekerja ekstra keras hanya untuk mendapatkan pengakuan yang sama seperti pekerja laki-laki.

Untuk menyelidiki masalah sistemik yang menghambat perempuan di tempat kerja, Center for Creative Leadership melakukan riset berjudul Elevate the System (2024). Riset ini dilakukan di kawasan Asia Pasifik, dengan responden dari Thailand, India, Singapura, Indonesia, dan Australia. Hasilnya, salah satu penghambat perempuan di tempat kerja adalah adanya tuntutan bagi mereka untuk mampu melakukan segalanya, baik di tempat kerja maupun di rumah. Situasi ini membuat mereka menghadapi double bind dan double flex. Seperti apa dampaknya?

Double Bind, Ketika Perempuan Serba Salah

Double bind adalah situasi yang menempatkan perempuan dalam posisi serba salah. Di satu sisi, mereka dituntut untuk memenuhi ekspektasi masyarakat dalam menjadi individu yang peduli, peka, memiliki empati, dan selalu taat pada aturan. Kalau mereka tidak memiliki sifat-sifat ini, mereka dinilai gagal menjadi perempuan ideal seperti yang diinginkan masyarakat.

Namun di sisi yang lain, sifat-sifat ini tidak dianggap sebagai kualitas dari pemimpin yang baik. Sebab, standar kepemimpinan di tempat kerja memakai kacamata yang maskulin. Perempuan akan dinilai terlalu lembek, tidak memiliki kekuatan, dan tidak bisa berpikir secara strategis. Dilema antara menjadi perempuan yang baik atau menjadi pemimpin yang baik ini membuat perempuan berada di posisi yang rentan, seolah-olah mereka harus mengorbankan salah satunya.

Double Flex, Ketika Perempuan Dituntut Serba Bisa

Selain serba salah, perempuan juga dihadapkan dengan double flex atau ekspektasi untuk memikul tanggung jawab yang lebih banyak baik di tempat kerja maupun di rumah. Double flex utamanya dialami oleh perempuan yang sudah berkeluarga dan berasal dari dual-career household, yaitu ketika pasangan sama-sama bekerja.

Dalam riset CCL, sepertiga dari 894 responden (perempuan 69%, laki-laki 31%) berasal dari dual-career household, dan mereka mengkonfirmasi bahwa perempuan yang memiliki jabatan manajerial di tempat kerja cenderung memiliki tanggung jawab lebih besar dalam mengurus urusan rumah tangga—meskipun pasangan mereka ikut berkontribusi, tapi porsinya jauh lebih kecil.

Berdasarkan hasil survei terhadap sepertiga responden ini, para perempuan melakukan lebih banyak aktivitas; seperti mengkoordinasi rutinitas dan jadwal keluarga, merawat anak, membersihkan dan merawat rumah, belanja kebutuhan rumah tangga, hingga mempertahankan hubungan sosial. Sementara itu, aktivitas yang dilakukan laki-laki di rumah adalah membuat keputusan penting yang berdampak untuk keluarga, menikmati waktu senggang, membuat keputusan finansial, dan memberi dukungan finansial.

Meski laki-laki turut berkontribusi, tapi pada akhirnya by default perempuan yang mengambil porsi lebih besar. Dari semua peran itu, beban kognitif untuk mengkoordinasi setiap anggota keluarga adalah yang paling berat. Beratnya beban perempuan dalam mengurus rumah tangga membuat banyak di antara mereka yang kesulitan untuk memikul tanggung jawab yang lebih tinggi di tempat kerja.

Sementara itu, perempuan cenderung bekerja lebih banyak dan lebih keras hanya untuk membuktikan kemampuan mereka. Tuntutan untuk serba bisa, baik di tempat kerja maupun di rumah, membuat perempuan mudah mengalami burnout ketimbang laki-laki. Akibatnya, banyak di antara mereka yang tidak mempertimbangkan untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi.

Salah satu informan penelitian yang berdomisili di Singapura dan bekerja di firma konsultan kepemimpinan mengatakan bahwa solusinya sebenarnya sederhana, "misalnya seperti membantu perempuan dalam mengatur ekspektasi orang-orang di sekitar mereka sehingga mereka berhenti mencoba untuk menjadi segalanya bagi orang lain."

Ketika masyarakat memiliki kesadaran bahwa perempuan tidak seharusnya dituntut untuk serba bisa dan melakukan segalanya, akan muncul ruang-ruang baru bagi perempuan untuk bertumbuh. Jika situasi ini telah terwujud, perempuan akan memiliki kesempatan untuk memikirkan diri sendiri dan mengejar ambisi, tanpa harus memusingkan ekspektasi masyarakat.

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS