Senang rasanya melihat media sosial dipenuhi tren para non-Muslim berburu takjil di Ramadan tahun ini. Ini menunjukkan bahwa toleransi antar agama semakin terjalin ketika Ramadan. Ya, habis kapan lagi kita bisa menemukan berbagai macam sajian lezat khas Ramadan kalau bukan di bulan ini?
Namun, tidak sedikit juga orang yang berpuasa menanggapi mereka yang tak berpuasa tidak menghormati karena membeli atau makan makanan di jam-jam umat muslim menjalankan ibadahnya. Misalnya saja, beberapa waktu lalu ada sekelompok warga dan santri di Ciawi, Kabupaten Bogor yang datang beramai-ramai ke salah satu outlet makanan cepat saji untuk memohon manajemen menutup gerainya demi menghormati orang yang berpuasa.
Alasannya, pada Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun-tahun sebelumnya menyarankan agar pelaku usaha rumah makan/restoran di wilayah tersebut hanya membuka usahanya pada bulan Ramadan pukul 16.00 WIB hingga imsak pukul 04.00 WIB. Padahal, setiap tahun MUI Indonesia selalu repot menjelaskan soal aturan warung makan selama bulan Ramadan. Mereka pun tidak perlu menutup usahanya, cuma jangan memamerkan makanan kepada orang yang berpuasa.
Beberapa netizen ada yang berkomentar, apakah secetek itu iman kita sebagai seorang Muslim melihat makanan sebagai godaan terberat saat berpuasa? Padahal kalau dipikir-pikir, ada banyak godaan yang kita alami selama bulan Ramadan daripada sekadar melihat makanan dijajarkan di warung makan atau melihat restoran buka di bulan Ramadan. Misalnya, harus banyak bersabar menghadapi atasan yang memberikan pekerjaan lembur di bulan Ramadan.
Lalu, bukannya puasa adalah suatu kewajiban yang memang harus dijalani Muslim di seluruh dunia? Lagipula, inti dari puasa bukan cuma menahan lapar dan dahaga, bukan? Lebih jauh lagi, puasa melatih manusia menahan hawa nafsu pakai akal sehat dan keimanannya. Kalau begitu, kenapa kita anggap restoran atau orang yang tidak berpuasa sebagai godaan yang membuat puasa Ramadan kita terasa sulit?
Beruntunglah kita yang tinggal di Indonesia yang mayoritas beragama Islam, lantas bagaimana Muslim yang tinggal di negara di mana pemeluk Islam adalah minoritas? Kalau makanan atau minuman sebagai tolok ukur godaan yang membuat sulit menjalankan puasa, maka para Muslim yang tinggal di negara di mana Islam menjadi minoritas, adalah kumpulan orang-orang yang keimanannya amat kuat, ya kan?
Di Indonesia, walaupun mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam, masih ada juga masyarakat yang tidak diwajibkan berpuasa, terutama yang memeluk agama lainnya. Gus Dur pernah mengatakan, "Jika kita Muslim yang terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati yang tidak berpuasa."
Maka, inti dari puasa bukan sekadar sadar soal godaan, namun berfokus pada ibadah diri sendiri, ketimbang sibuk mengurusi sesuatu yang sebenarnya bukan godaan yang krusial. Lagipula sesulit apa pun godaan yang kita terima, agaknya bisa terhindar bila kita menjalani ibadah yang penuh makna ini dengan kekhusyukan.
Di lain kesempatan, seorang tokoh agama, Emha Ainun Najib atau kita lebih kenal dengan Cak Nun pernah mengungkapkan sebuah satir. "Bulan puasa kok, hormatilah yang berpuasa? Gunanya orang yang berpuasa itu agar kamu bisa menghormati orang lain, tidak meminta penghormatan orang. Hanya orang yang tidak hormat yang meminta penghormatan orang lain," ujarnya.
Jadi untuk alasan itu, sesulit apapun godaannya makanan selezat apa pun bukankah kita yang sudah paham makna puasa itu menjalankannya tanpa harus takut tidak dihormati? Daripada meributkan perkara makanan terlihat di pandangan mata selama bulan Ramadan, semestinya kita harus ribut berlomba-lomba memberikan kebaikan kepada orang lain. Ya, salah satunya bertoleransi soal restoran yang buka diperuntukkan untuk memberi makan orang yang tidak puasa.
(DIR/alm)