Beberapa waktu lalu kita mendengar kasus bullying yang dilakukan anak SMA terhadap teman satu sekolah. Kasus yang sudah terhitung berita nasional ini hanya menjadi ujung dari gunung es yang sudah mendarah daging terlalu dalam di kehidupan masyarakat kita. Masalah bullying hingga perpeloncoan dengan kekerasan tetap terlihat dimaklumi bahkan oleh generasi anak muda masa kini. Bahkan normalisasi perpeloncoan dalam geng masih tetap lumrah dilakukan. "Sebagai salam perkenalan," katanya.
Perpeloncoan sering dilakukan untuk menjadi "pintu awal" perkenalan diri dengan anak baru. Namun sayangnya, cara-cara kekerasan lebih sering dipakai perihal ini. Normalisasi yang sudah terjadi di tengah-tengah masyarakat ternyata menjadi warisan dari zaman kolonial Belanda. Ya, benar sekali, praktik perpeloncoan sebenarnya diwariskan dari era penjajahan.
Sejarah Perpeloncoan
Kata "pelonco" diambil dari kata serapan Belanda, yaitu ontgroening yang artinya hijau, alias bermakna murid baru. Berangkat dari ini, sekolah STOVIA yang merupakan sekolah asrama khusus dokter bumiputera pada masa Belanda mulai menjalankan sistem perpeloncoan ini.
Berlangsung selama tiga bulan, perpeloncoan hanya boleh dilakukan di luar waktu belajar dan istirahat. Mereka akan membahas latar belakang masing-masing murid yang berbeda-beda, termasuk daerah asalnya. Tapi tidak boleh ada hal-hal aneh seperti menggundulkan kepala.
Pada masa Jepang pun, perpeloncoan tetap dilakukan tapi dengan gaya menggundulkan kepala dari setiap murid. Mereka tidak ragu mengganti arti pelonco menjadi kepala gundul demi melunturkan pengaruh Belanda pada masa itu. Itulah kenapa kita sangat mudah menemukan foto anak-anak berkepala gundul pada masa Jepang karena mereka memang terobsesi akan hal itu.
Seiring kemerdekaan Indonesia, aktivitas perpeloncoan masih terus dilakukan tapi mulai dengan dibentak dan diperintah oleh senior. Teknik penggundulan kepala terkadang masih dilakukan demi menandakan kalau merekalah para anak baru itu.
Namun, aktivitas ini sempat ditentang oleh organisasi mahasiswa bernama Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut mereka, aktivitas ini dinilai sebagai warisan dari Belanda dan Jepang, sehingga harus dihapuskan.
Perpeloncoan dalam Geng
Sejarah perpeloncoan yang sudah dilakukan hingga ditentang, sama sekali tidak berhasil dihapuskan. Pada kenyataannya, kita masih melihat aktivitas ini sampai sekarang, namun terus bereskalasi sampai titik yang tak berujung karena tidak cuma di sekolah tetapi sampai di luar urusan sekolah.
Penggunaan kekerasan untuk perpeloncoan di dalam geng jadi lebih mudah dinormalisasi. Awalnya hanya demi berkenalan dan dekat, sekarang harus sampai kesakitan hingga bonyok dulu agar bisa diterima. Sialnya, pihak korban tetap menerima hal itu agar mereka bisa masuk ke dalam geng tersebut. Kedua belah pihak menjadi enabler, hanya demi harga diri semu dari jiwa-jiwa pemberontak yang membuat perpeloncoan dalam geng masih akan tetap berlanjut jika tidak ada kesadaran dari generasi penerus.
Kurangnya ruang kontrol bukan menjadi satu-satunya alasan kenapa perpeloncoan dalam geng masih ada. Terkadang yang perlu disadarkan memang dari para "calon" pelakunya sendiri. Bisa disadarkan sejak awal atau harus merasakan akibatnya dulu agar tersadar kalau perploncoan tidak pernah dibenarkan dalam konteks apapun. Alasannya, makna perpeloncoan sendiri saja sudah melenceng jauh dari apa yang dimaksudkan pada awalnya.
Perpindahan arti perpeloncoan juga tidak bisa disetir balik ke jalur yang seharusnya. Apalagi ketika dipakai dalam geng yang berada di luar institusi apapun. Namun bagaimanapun hasil akhirnya, ada risiko yang harus diambil dari normalisasi perpeloncoan dalam geng yang sebenarnya tidak normal. Mau sampai kapan seperti ini?
(tim/alm)