Generasi Z atau yang biasa disebut dengan Gen Z merupakan generasi yang kini tengah memimpin populasi dengan sebagian besar di antaranya sudah menginjak umur dewasa. Menjadi generasi termuda kedua dengan generasi milenial sebelumnya dan generasi alfa setelahnya, perilaku Gen Z dibentuk oleh cara mereka tumbuh. Saat kaum muda ini berada di bawah bayang-bayang kerusakan iklim, pandemi, dan ketakutan akan keruntuhan ekonomi.
Gen Z juga diketahui sebagai generasi pertama yang lahir dan berkembang dengan hadirnya internet yang semakin meluas. Kerap dikenal sebagai "digital natives", Gen Z tumbuh dengan internet sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Akibat mudahnya Gen Z untuk mengakses internet, banyak dari mereka yang menjadikan internet sebagai sumber pengetahuan untuk mengetahui berbagai hal yang generasi sebelumnya tidak pernah temui.
Mulai dari sekadar berjejaring melalui media sosial, mendapatkan berbagai hiburan sehari-hari, hingga informasi atau berita terkait isu-isu penting. Salah satu isu yang kerap dikonsumsi oleh Gen Z adalah perihal kesehatan mental. Menurut penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association, sebanyak 35% Gen Z mengalami penurunan kesehatan mental yang drastis, terlebih lagi seusai pandemi.
Meskipun memiliki awareness yang besar mengenai kesehatan mental, terkadang mengetahui terlalu banyak akan hal-hal terkait juga turut dapat membuat banyak dari mereka yang merasa hal ini adalah tantangan tersendiri bagi Gen Z. Mengetahui banyak hal terkait sesuatu seringkali membuat generasi ini menjadi lebih kritis dan kerap overthinking.
Stigma dan Tantangan Gen Z
Layaknya yang dikatakan oleh Fionna, seorang Gen Z yang berumur 24 tahun dan tengah menjalankan bisnis keluarga. "Gue rasa, Gen Z itu sekarang jadi lebih aware, which is good, tapi somehow at the end of the day, mereka jadi kenal banyak hal dan itu juga berkontribusi untuk mereka jadi gampang overthinking."
"Contohnya, makin kesini makin banyak yang ngasih informasi tentang istilah maupun ciri-ciri mental health issues A, B atau C. Semakin banyak kita tahu tentang semua itu, kita secara nggak sadar jadi suka self-diagnose dan ujung-ujungnya jadi overthinking. Menurut gue, hal-hal kayak begini sih yang jadi tantangan tersendiri untuk Gen Z," paparnya.
Dibandingkan dengan generasi sebelumnya yang kurang memahami kesehatan mental, Gen Z yang lebih akrab dengan masalah ini cenderung berpikir secara kritis dan mendalam mengenai isu-isu tersebut. Namun paradoksnya, mereka berusaha meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental yang sangat penting, tetapi pengetahuan ini juga mendorong mereka untuk mencoba mendiagnosis diri sendiri, yang pada akhirnya dapat mengganggu pikiran mereka.
Sehingga, menjernihkan serta meluruskan pikiran yang sehat dari isu-isu yang sedang trending menjadi sebuah tantangan. "It's just like a boomerang," menurut Fionna. Tidak sampai di sini saja, terdapat sebuah data yang mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, akan ada lima generasi dalam angkatan kerja dimana, Gen Z akan mencapai angka 25% dari total seluruh karyawan pada tahun 2025.
Tumbuh di era digital sekaligus menyandang predikat 'woke generation', Gen Z tidak ragu dalam menyuarakan keresahan dalam dunia kerja yang tengah dijalani oleh sebagian besar dari mereka. Terlepas dari pengalamannya yang minim dibandingkan generasi pendahulunya, Gen Z yang terpapar dengan isu-isu terkait workplace mampu mengenal mana lingkungan kerja yang sehat dan mana yang tidak.
Sayangnya, mereka yang dapat mengenal hal-hal seperti kesejahteraan buruh, burnout atau bahkan lingkungan kerja yang toxic, justru malah menjadi senjata bagi generasi pendahulu untuk menilai Gen Z sebagai generasi yang memiliki banyak tuntutan.
Perihal yang satu ini, Tasya yang pernah menulis mengenai lingkungan kerja ideal untuk Gen Z juga memaparkan pendapatnya mengenai tantangan Gen Z dalam dunia kerja. Menurutnya, Gen Z yang memiliki awareness mengenai sehat atau tidaknya lingkungan kerja kerap membuat Gen Z memperoleh stigma entitled dan sering mengeluh.
"Setelah ngobrol ke temen-temen Gen Z yang juga sedang menyelami dunia kerja, sebenarnya yang kita mau hanyalah lingkungan kerja yang sehat," ujar Tasya. Ia mengatakan bahwa perbedaan yang sangat signifikan adalah dimana generasi sebelumnya tidak terlalu vokal mengenai keresahan-keresahan yang dialami di lingkungan kerja.
"Karena kita mengenal isu-isu di lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kualitas kinerja dan mental health kita, jadi kesannya kayak kita tuh nuntut, padahal menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan positif, tuh, sebuah bare minimum yang bisa perusahaan lakukan," pungkas Tasya.
Stigma yang dilekatkan pada Generasi Z karena kemampuannya dalam memperoleh pemahaman mendalam mengenai berbagai masalah melalui internet adalah hal yang sudah umum didengar oleh mereka. Meskipun mereka sering mendapat pandangan negatif, Generasi Z sebenarnya aktif bersaing di dunia kerja karena mereka memiliki kesadaran akan bakat dan keterampilan khusus yang sangat dicari oleh berbagai industri.
Dinda, seorang Gen Z yang tengah menjalani pendidikan S2 di Malaysia pun mengaku bahwa stigma-stigma buruk yang diberikan oleh generasi-generasi yang lebih tua cukup membingungkan. Padahal persaingan yang kini dijalani oleh Gen Z semakin ketat untuk mencapai kesuksesan karena mayoritas dari mereka memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan informasi dan pendidikan.
"Bingung aja, banyak banget yang anggep Gen Z itu generasi lembek dan banyak ngeluh. Padahal, meskipun pilihan karir kita semakin meluas, bukan berarti getting there tuh gampang," kata Dinda. "Orang-orang kebanyakan bilang, Gen Z tuh udah enak, kuliah ada internet, semua udah serba ada, tapi mereka yang bilang kayak gitu sadar nggak sih, kalo persaingan ini tuh jadi lebih ketat? Kayak, I think the struggle is real karena saingan kita semakin banyak dan kita harus melawan banyak orang yang juga udah aware dengan pendidikan dan talenta-talenta baru," lanjutnya.
Di tengah persaingan yang ketat untuk mencapai pendidikan tinggi maupun dunia kerja, di saat yang bersamaan Gen Z juga memiliki tantangan untuk mematahkan stigma yang beredar mengenai mereka.
"Belum lagi stigma-stigma aneh tentang Gen Z yang bilang kita ini, kita itu. Jadi disaat yang bersamaan, kita bersaing dengan satu sama lain, we also need to prove that we are not like how those people perceive us as a generation. Mau gak mau, kita jadi try three or four times harder untuk nggak dipandang setengah mata," ungkap Dinda.
Setiap generasi memang memiliki pertempuran masing-masing di masanya. Namun, gen Z yang dapat berpikir kritis dan mampu menyuarakan ketidakbenaran maupun kesalahpahaman akan persepsi orang mengenai dirinya adalah sebuah kelebihan yang belum tentu generasi sebelumnya bisa lakukan.
Kemudahan Gen Z dalam mengakses internet untuk mendapatkan berbagai pemahaman adalah sebuah privilese yang juga tidak semua generasi bisa dapatkan. Satu hal penting yang Gen Z selalu harapkan adalah untuk tidak adanya stigma aneh yang menjurus kepada mereka hanya karena ada satu atau dua hal yang berbeda dan tidak berlaku di masa generasi-generasi sebelumnya.
(DIP/DIR)