Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD, menjadi salah satu topik yang paling banyak dicari di media sosial terutama TikTok. Bahkan beberapa content creator membuat sebuah video tentang ciri-ciri orang yang mengidap kondisi ini. Hingga pada akhirnya, miskonsepsi terkait ADHD semakin melebar dan tidak sedikit juga yang self-diagnose mengaku dirinya mengidap kondisi tersebut.
Kondisi ADHD juga masih dipandang sebelah mata oleh banyak pihak, tak terkecuali beberapa petugas medis. Kondisi ini pun selalu dikaitkan dengan mental illness atau bahkan disamakan seperti disabilitas intelektual dan autisme. Tidak jarang anak-anak hingga orang dewasa yang mengidap ADHD kerap dianggap sebagai anak yang susah diatur hingga dicap bodoh.
Stigma-stigma inilah yang menjadi alasan berdiri sebuah yayasan komunitas yang concern penuh dengan berbagai permasalahan ADHD terutama orang dewasa. Adalah Yayasan Komunitas ADHD Indonesia, yang mencoba mencari cara untuk meluruskan berbagai miskonsepsi hingga kesetaraan untuk pengidap ADHD yang ada di Indonesia. Beruntung CXO Media memiliki kesempatan untuk berbincang dengan Ketua Pengurus Yayasan Komunitas ADHD Indonesia, Muhammad Ijlal dan Wakil Ketuanya, Anindyajati Priyandita.
Topik ADHD sekarang ini sedang viral banget di media sosial sebagai mental issues terutama di kalangan anak-anak muda, sebenernya ADHD itu apa sih?
Ijlal: ADHD itu dari namanya sendiri Attention Deficit Hyperactivity Disorder, jadi gangguan pemusatan konsentrasi atau fokus sama gangguan hiperaktivitas. Setahu saya, kami ini kekurangan dua hormon yaitu neuro epinefrin dan dopamin. Yang paling berpengaruh pada pengidap ADHD dewasa itu kekurangan dopamin, yaitu pada dasarnya panic hormon. Itu hormon yang muncul pada saat kita tuh panik. Misalnya kalau ada situasi mendesak seperti skripsi harusnya dikumpulkan satu bulan lagi, kita enggak panik seperti orang normal. Kita bisa-bisanya santai, kita bisa dibilang 'terlalu berani' dan dianggap enggak aware sama tanggung jawab. Biasanya kita tipikal deadliner. Artinya butuh tekanan yang lebih besar, sehingga akhirnya kita bergerak untuk melakukan sesuatu. Dan satu lagi kita lebih impulsif dari orang-orang pada umumnya.
Menurut kamu, kenapa sih topik ADHD jadi mental issues yang diomongin sama anak-anak muda sekarang ini?
Ijlal: ADHD itu punya gejala yang berhubungan dengan penyakit lain, seperti orang yang misalnya depresi atau penyakit lain, bisa aja ada gangguan konsentrasi, jadi banyak di luar ADHD pun punya simtom yang mirip sama ADHD, nah banyak tuh yang anggep 'gue banget'. Dari sejak internet ada tuh, meme membuat sesuatu yang relate punya daya tarik sendiri. Jadi banyak yang mendiagnosis diri sendiri, dan malah sekarang ada orang yang dengan bangga mengaku-aku dia ADHD.
Boleh ceritain enggak bagaimana komunitas Teman ADHD ini terbentuk, dan apa visi misi dari Teman ADHD ini?
Ijlal: Jadi komunitas ADHD ini terbentuknya itu berawal dari Dokter Spesialis Kejiwaan, dr. James Darmapuspita, Sp.KJ yang punya grup ADHD di Facebook isinya para orang tua yang khawatir anaknya mengidap ADHD. Sampai akhirnya saya ngerasa kok enggak ada nih grup ADHD dewasa, akhirnya saya bikin unggahan soal ADHD. Apalagi kondisinya saya sedang depresi saat itu, dan mau cari teman. Lalu, saya ide buat grup yang ada di LINE. Kemudian Dokter James masuk dan diseriusin grup itu. Akhirnya banyak dari kita ngerasa "This is where i belong", dan ngerasa ada kesetiakawanan, akhirnya kita semua kerjasama untuk membangun yang tadinya ngumpul cuma berdua-tiga orang, sampai mau vakum sampai setahun lalu akhirnya ketemu lagi.
Anindya: Setelah sering ngumpul dan makin banyak yang gabung, pas 2022 mulai kepikiran kenapa kita enggak bisa dapat dukungan atau kita tidak bisa kasih aspirasi bila tidak punya legalitas. Akhirnya, kita mulai berproses untuk membuat legalitas, terus waktu bulan lalu, officially kami diakui oleh pemerintah tepatnya 6 Juli 2023 sebagai sebuah yayasan. Sekarang nama kami adalah Yayasan Komunitas ADHD Indonesia.
Anindya: Untuk visi yayasan kami itu membina kesehatan jiwa dan mengoptimalkan potensi populasi ADHD Indonesia, sedangkan misi kita mau lebih mengenalkan tentang edukasi ADHD dan juga tentang advokasi. Apalagi masih banyak banget orang yang awam tentang kondisi ini, kemudian permasalahan self-diagnose, lalu kesalahpahaman simptom yang saling beririsan sehingga kita mau meluruskan. Kalau yang saya lihat, masih banyak orang tua yang ngerasa kalau anak yang bandel tuh ADHD, atau susah diatur pasti ADHD. Intinya di mata masyarakat, image kita masih jelek, jadi kita mau mengedukasi masyarakat kalau ADHD juga punya banyak potensi yang bisa dikembangkan.
Ijlal: Dan juga, banyak orang tua yang sebenarnya anak mereka tuh autis, tapi tidak mau melabelkan anaknya sebagai 'autis' sehingga mencari sebutan yang lebih ringan yaitu ADHD. Dulu sampai waktu lalu, pemerintah mengkategorikan autisme dan ADHD itu sama.
Anindya: Dari segi advokasi juga, kami menyayangkan adanya perbedaan standar penanganan orang yang mengidap ADHD. Jadi dengan adanya yayasan ini, kami berharap bisa banyak berkontribusi untuk memberikan aspirasi di forum-forum resmi tentang pelayanan kualitas kesehatan untuk pengidap ADHD.
Ijlal: Kalau misalnya di kedokteran jiwa, terutama di daerah, masih ada psikiater yang kurang up-date, bahkan mereka mempertanyakan apakah kondisi ini bisa dirasakan oleh orang dewasa. Permasalahan yang krusial juga kalau tenaga kesehatannya tidak tahu, bisa saja pasien ADHD yang harusnya mendapatkan penanganan yang tepat malah obat yang harusnya dikasih tidak dikasih, karena tidak up-date ini.
Anindya: Satu lagi, misi kami juga ingin memperjuangkan kesejahteraan dan kesetaraan. Alasannya banyak individu yang mengidap ADHD yang misalnya ketahuan kalau punya kondisi ini di lingkungan sekolah atau lingkup kerja masih merasa tidak nyaman. Sebenarnya, ADHD ini juga bukan sebuah disability atau mental issues yang lain. Kognitif kami normal, jadi enggak ada masalah untuk kami berkarier atau bersekolah, terus mengikuti pelatihan dan lain-lain, semestinya kami mendapatkan hak yang sama. Plus, di Amerika Serikat sendiri setiap tempat sudah punya support group-nya untuk membantu orang dengan kondisi ini ikut berkembang seperti yang lainnya.
Apa saja sih kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan Komunitas ADHD?
Anindya: Yang sudah kami lakukan selama ini ada forum caregiver, yang sering itu body-double atau kerja bareng-bareng, lalu kami punya grup olahraga juga. Ada kegiatan pendampingan akademik juga, jadi yang punya deadline akademik, kami membuat grup kecil sendiri untuk sama-sama saling mengingatkan progres. Selanjutnya kami juga ada offline gathering. Kalau untuk event paling besar itu pada tahun lalu, saat ADHD awareness month, di mana kami membuat sesi talkshow yang mengundang pemateri profesional yang menjelaskan tentang ADHD anak dan ADHD dewasa.
Sebagai sebuah Yayasan Komunitas ADHD, bagaimana kalian menanggapi soal miskonsepsi ADHD tentang mental issues lainnya seperti hiperaktif atau disabilitas intelektual?
Ijlal: Untuk sekarang, sebenarnya kami mau membuat sebuah konten edukatif. Tapi permasalahannya, kami semua ADHD yang kondisinya sulit untuk konsisten, jadi agak sulit. Kami mau buat video edukasi, tapi ya udah banyak yang mundur-mundur lagi. Tapi memang ekstra sulit, di mana ada organisasi yang semua pengurus dan anggotanya ada gangguan ADHD. Kami berusaha pengertian, as the same time gimana lagi dengan kondisi seperti ini. Untuk sekarang sih, kami lebih sering kumpul-kumpul aja, supaya orang yang mau tahu banget mereka ADHD atau enggak, atau ada orang tua yang mau tahu lebih lanjut itu bisa bicara dengan kami.
Anindya: Kemudian sebenarnya kami lebih suka untuk face-to-face untuk menjelaskannya, kalau by text nanti takutnya salah menangkap secara emosional. Kalau kami mau berkonten yang agak narsis atau bebas seperti tren, dikhawatirkan takutnya disalahgunakan untuk self-diagnose. Makanya kami berhati-hati kalaupun mau berkonten nantinya.
Selain itu, ada banyak orang mengaku kalau dirinya mengidap ADHD hanya karena melihat video atau artikel tentang ciri-ciri ADHD tanpa diagnosis, bagaimana menurut kalian?
Ijlal: Sebenarnya sih enggak ada masalah. Logikanya, kalau misalnya ada orang non-medis sharing tentang penanggulangan batuk, ya boleh-boleh aja. Cuma untuk soal mental illness itu sangat-sangat sensitif. Kita tuh kalau salah, sangat kompleks. Bukan sesederhana penyakit batuk aja. Jadi untuk sekarang, kami mencoba untuk reach out ke banyak content creator yang ADHD. Saya juga coba untuk mereka datang ke gathering, supaya kita bisa menggandeng mereka juga agar lebih kredibel.
Anindya: Sisi positifnya, setidaknya masyarakat pernah dengar ADHD itu apa. Tugas kami sebagai yayasan, punya tanggung jawab berat untuk meluruskan miskonsepsi ini.
Apa stigma atau stereotip yang sering teman-teman ADHD temui di lingkungan keluarga maupun sosial?
Ijlal: Yang paling sering sih, kami dicap sebagai orang malas, tidak sopan, freak, dan pelupa. Hal-hal yang sebenarnya simpel, itu sulit untuk kami jalani pada akhirnya malah ribut di keluarga. Sementara di lingkup sosial, kami dicap sebagai orang yang annoying. Apalagi ADHD itu seperti pintu yang terbuka lebar untuk penyakit lain.
Bagaimana caranya kalau mau bergabung menjadi anggota Yayasan Komunitas ADHD?
Anindya: Kalau mau bergabung, kalian bisa cek di Instagram kami @yayasanadhd.id, di situ ada LinkTree. Kalau mau gabung di Facebook yang anggotanya ribuan, kalian tinggal join biasa aja, dan nanti ada kuesioner yang harus dijawab dengan serius. Sebab itu, akan di-review oleh admin yang juga psikolog atau psikiater. Kalau dari kuesioner itu terbukti, barulah disetujui untuk bergabung jadi anggota.
Sementara di grup individu ADHD dewasa, ada di Instagram lalu di LinkTree tersebut. Itu juga sama prosesnya diberikan kuesioner juga, tapi bedanya setelah mengisi kuesioner akan di-review dan membuat janji untuk wawancara secara online dengan psikiater. Ini untuk menyaring apakah orangnya benar-benar sudah terdiagnosa atau main-main aja.
Sebagai salah seorang yang juga mengidap ADHD, apa sih harapan kalian lewat yayasan komunitas ini?
Ijlal: Sebenarnya banyak permasalahan ADHD di luar sana. Untuk saya pribadi, obat ADHD itu sulit banget didapatkan di Indonesia karena ketersediaannya minim sebab obat-obat itu disalahgunakan untuk pemakai narkoba. Nah kami mau menanggulangi hal seperti ini, sebab obat tersebut memang untuk pengidap ADHD saja. Jadi karena obat tersebut dibuat untuk kami, bagaimana cara kami yang ingin memonopoli supaya available untuk kami saja sehingga bisa lebih mudah terjangkau.
Anindya: Dari segi hukum, sudah jelas dan terjamin perlindungan individu dan ADHD itu aspeknya apa saja. Kita pengen bisa memberikan aspirasi dan mengawal pemerintah bagaimana bisa memenuhi hak warga negaranya, terutama pengidap ADHD. Kami juga mau memastikan tidak adanya diskriminasi terhadap kami, ketika kami berobat.
(DIR/tim)