Enam puluh sembilan kilometer dari Jakarta, di Karawang, Jawa Barat, berdiri sebuah rumah kayu dengan jendela dan pilar berwarna hijau. Pagarnya dicat merah putih dan di atas daun pintu rumahnya terdapat tulisan "Rumah Sejarah Djiaw Kie Siong" yang terpampang dengan jelas. Djiaw Kie Siong adalah nama sang pemilik rumah tersebut, yang pada 15 Agustus 1945 malam menjadi tempat singgah Soekarno dan Hatta ketika mereka "diculik" oleh para pemuda Menteng 31.
Apabila sebuah rumah bisa bercerita, maka Rumah Rengasdengklok akan lebih banyak bercerita mengenai sejarah Indonesia ketimbang keluarga yang mendiami tempat itu. Bagian belakang rumah ini memang masih ditinggali oleh Yanto—cucu dari Djiaw Kie Siong—dan istrinya, Lani, namun bagian depan rumah ini berfungsi sebagai museum yang bisa dikunjungi kapan saja. Tak jauh dari rumah itu, kira-kira 100 meter, terdapat makam Djiaw Kie Siong dan anak-anaknya yang sekarang sudah tiada.
Rumah yang dibangun pada 1920 ini telah berusia lebih dari 100 tahun, tapi dinding dan ornamen di dalamnya masih terawat dan bebas dari debu. Pada mulanya, rumah ini berada di dekat Sungai Citarum, namun karena risiko banjir rumah ini dipindahkan pada 1957 dengan cara digotong. Walhasil, lantai dan dindingnya masih asli. Seluruh dinding rumah itu dipenuhi dengan foto Soekarno, lukisan, dan piagam penghargaan. Sementara di bagian tengahnya, terdapat meja abu yang masih digunakan untuk sembahyang kepada leluhur.
Meja abu yang masih digunakan untuk sembahyang/ Foto: CXO Media/Reyvianto Dwi Putra |
Berketurunan Tionghoa, Djiaw Kie Siong sendiri merupakan seorang petani kelahiran Rengasdengklok yang saat itu memiliki hunian paling besar di Dusun Bojong. Sosoknya tak sering disebut dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Kebanyakan sejarah hanya bercerita bagaimana pemindahan dua bapak bangsa ke Rengasdengklok berlangsung tanpa menyisipkan detail informasi mengenai rumah siapa yang mereka tempati selama satu malam.
Kala itu, markas PETA—yang sekarang menjadi Monumen Kebulatan Tekad—berlokasi tidak jauh dari rumah Djiaw Kie Siong, sehingga keberadaan rumah tersebut dijadikan opsi pertama untuk menampung tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan karena dianggap sebagai tempat yang aman. Lantaran, di daerah itu sebagian besar merupakan hutan, sedangkan rumah Djiaw Kie Siong cukup besar untuk menampung banyak orang. Saat anggota PETA meminta izin untuk meminjam rumahnya, Djiaw Kie Siong pun merelakannya. Sekarang, rumah Djiaw Kie Siong dikenal sebagai rumah sejarah yang sudah berstatus cagar budaya namun masih dikelola secara mandiri oleh keluarga.
Keberadaan rumah sejarah ini sebenarnya tak banyak diketahui sebelum kehadiran internet dan media sosial. Kebanyakan orang-orang hanya tahu mengenai Tugu Kebulatan Tekad yang tadinya hanya berwujudkan sebuah pos sebelum tahun 1950. Melalui Facebook, wartawan, dan kanal TV swasta yang meliput saat perayaan Agustusan, rumah Djiaw Kie Siong akhirnya mulai ramai dikunjungi.
Sebelum menetap secara permanen di rumah sejarah, Yanto dan Lani tinggal di Bekasi selama 29 tahun. Namun, karena tak ada lagi yang bisa mengurus rumah sang engkong, akhirnya Yanto pun memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke kampung halamannya untuk mengelola rumah tersebut pada tahun 2016.
Yanto dan Lani duduk di teras depan Rumah Sejarah/ Foto: CXO Media/Reyvianto Dwi Putra |
Setiap harinya, tak sedikit orang yang berkunjung ke rumah sejarah Djiaw Kie Siong. Yanto dan Lani dengan terbuka menerima pengunjung yang bermacam-macam, termasuk juga mereka yang mempercayai hal mistis yang berhubungan dengan Soekarno dan rumah ini. Misalnya saja, ada pengunjung yang memberi lukisan Nyi Roro Kidul untuk dipajang di rumah itu, ada pula yang datang untuk meminta air dari sumur belakang rumah karena percaya berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit.
Terlepas dari hal tersebut, rumah sejarah tidak hanya diminati oleh masyarakat Indonesia, namun ada juga beberapa tamu yang datang jauh-jauh dari luar negeri seperti Jepang atau Belanda yang memang tertarik dengan sejarah bangsa Indonesia. "Memang sudah bagian dari tugas dan kehidupan sehari-hari," sebut Lani.
Layaknya sebuah ritual, rumah bersejarah ini selalu dipenuhi pengunjung pada bulan Agustus, tepatnya ketika mendekati hari kemerdekaan. Bagi para warga lokal, mengunjungi rumah bersejarah pada saat 17 Agustus seperti sebuah kewajiban, meski hanya mampir sebentar. Kemudian, perayaan Agustusan di Rengasdengklok biasanya ditutup dengan napak tilas di Tugu Proklamasi yang jaraknya hanya 350 meter dari rumah sejarah. Hal ini disebabkan oleh Soekarno yang sewaktu itu tiba pada malam hari di Rengasdengklok.
Lani juga mengaku banyak menerima hibah dari tamu untuk pembangunan di sekitar area rumah. Di antaranya adalah gapura di ujung jalan yang merupakan hadiah dari Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi; pintu bambu yang disulap menjadi pagar oleh pecinta alam; hingga pelebaran jalan depan rumah oleh pengusaha muda asal Kalimantan.
Sementara itu, untuk bagian dalam rumah, Yanto dan Lani berusaha untuk tetap membiarkannya seperti bentuk aslinya—meskipun ada beberapa perabotan yang dipindahkan ke Museum Siliwangi, seperti peralatan makan, bangku, dan ranjang yang menjadi tempat istirahat Soekarno.
Setia menyambut setiap pengunjung dengan senyum hangat termasuk pada tim CXO Media, Lani mengaku belum ada pemikiran mengenai regenerasi pengelolaan rumah tersebut. "Mudah-mudahan saja kali neng, kita juga [tadinya] nggak kepikiran sih bakal pulang ke 'Dengklok. Mudah-mudahan rumah ini bisa kuat seabad lagi."
Foto Rumah Sejarah tahun 1945/ Foto: CXO Media/Reyvianto Dwi Putra |