Pernah mendengar sebuah akun Instagram bernama Salty Hub alias @sltyhub? Akun ini bisa disebut sebagai wadah dari muda-mudi berbagai kota di Indonesia yang ingin mencari tahu bagaimana pandangan orang terhadap satu tren atas nama fashion. Sltyhub juga sering repost IG Story dari orang-orang yang ingin dikomentari-atau lebih tepatnya rela untuk di-roasting oleh akun ini.
Padahal, popularitas akun Instagram ini tidak cuma sekadar roasting fashion muda-mudi yang haus pengakuan dari dunia maya. Ternyata ada makna yang lebih dalam dari konten-konten yang dibuat Sltyhub yang sampai sekarang masih setia dengan identitas rahasia alias anonymous, tanpa berusaha untuk keluar mencari pengakuan atas apa yang mereka lakukan sejauh ini.
Beruntung, DM saya untuk interview Sltyhub dijawab dengan ramah, jauh dari kesan tengil yang sudah jadi persona mereka di Instagram. Sang founder dengan mantap menjawab barisan pertanyaan dari saya yang penasaran dengan motivasi sebagai pemicu berdirinya akun ini, dan sisi lain Sltyhub yang bergerak bagai pemangsa, tapi punya misi untuk mengubah mindset pergaulan orang kota.
Kenapa memutuskan buat bikin akun bernama Sltyhub? Apa motivasi lu?
Ada beberapa motivasi kenapa gue bikin akun Sltyhub. Awalnya dimulai dari lingkungan yang sangat kecil. Gue menghabiskan waktu gue di lingkungan pergaulan dengan beragam aktivitas yang kami lakukan. Saat itu gue cukup banyak menghabiskan waktu di sana. Akhirnya waktu gue lebih fokus buat kuliah, gue jadi menjauh dari lingkungan itu.
Sampai akhirnya gue lulus dan bekerja layaknya orang dewasa pada umumnya dengan segala bentuk struggle di sana. Saat gue merasa sejahtera, gue kembali ke lingkungan yang dulu. Kenyataannya pas gue balik, mereka belum berubah, masih sama saat gue masih main di sana. Dari situ gue melihat mereka masih punya pola pikir yang sama kayak dulu. Gue merasa di usia mereka sudah bisa menanggung beban mereka sendiri, alias tidak ngasih beban ke orang lain.
Di situ gue punya kesadaran lain bahwa gimana solidaritas itu juga bersifat negatif. Sederhananya, kita cenderung tidak enak melarang teman kita melakukan hal negatif. Kita malah terbiasa ngelihat dan ngebiarin temen melakukan hal negatif. Contohnya minta mereka selesaikan kuliah. Justru kalau kita begitu malah terlihat "nggak asyik" di tongkrongan. Jadi solidaritas kita itu negatif. Gue ada momen ngerasa miris ngelihat lingkungan lama gue dan akhirnya gue buat Sltyhub ini untuk mengkritik mereka, karena gue merasa nggak bisa bicara langsung.
Ternyata media yang gue buat ini nunjukkin pola mereka yang sebenarnya jadi representasi gaya pergaulan secara umum. Seiring berjalannya waktu, pola ini nggak cuma di mereka tapi cukup banyak di lingkungan lainnya yang gue kenal. Dan itulah yang ngebuat Sltyhub yang awalnya cuma jadi bahan ceng-cengan satu tongkrongan doang, akhirnya jadi ceng-cengan yang sifatnya umum dan relate ke circle lebih besar. Gue nggak suka anak muda di sini terlalu santai dan mengesampingkan hal serius. Padahal pada akhirnya kita nggak bisa jadi muda mulu. Lama kelamaan bakalan jadi tua dan butuh ngangkat beban kita sendiri.
Kedua, gue nggak suka pola akun shitpost atau meme yang terlalu mengeksploitasi mereka yang-maaf-secara ekonomi kurang mampu, secara fisik kurang baik, dan secara demografi mereka bukan orang kota alias lebih di daerah atau kampung.
Nah, gue melihat kecenderungan akun-akun itu selalu mengeksploitasi wilayah itu. Jadi seakan-akan dibudayakan orang kota, mampu, dan tampan itu lebih superior dan membangun budaya mengolok-ngolok mereka yang secara posisi dianggap lebih kecil. Gue against akan itu. Itu adalah humor terendah karena mengeksploitasi mereka yang dianggap lebih rendah.
Akhirnya Sltyhub jadi media untuk ngebuat orang yang mampu, tinggal di perkotaan, dan orang yang gaul menjadi bahan humor gue. Jadi, gue melakukan hal yang bertolak belakang. Tapi gue membuang pendekatan dengan kata kasar atau seksual yang sering dipake humor pada umumnya. Di Sltyhub nggak bakal ditemukan kata-kata berbau kotor, binatang, seksual dll. Sltyhub melakukan pembalikan atas kebiasaan lama: kami menertawakan hal-hal yang dinilai keren dan superior.
Point terakhir, Sltyhub mau gue jadiin kanal yang aktif mengeluarkan keresahan tanpa harus memusuhi. Itulah kenapa gue ngebangun budaya kami untuk bisa menerima diri sendiri di-cengin [lewat repost IG Stories]. Jadi saat Sltyhub mengkritisi orang dengan konten, bukan berarti gue marah. Saat gue bikin postingan yang mengkritisi, di kolom komen juga nggak ada yang marah. Paling cuma 0,001%. Kami melahirkan budaya yang menyampaikan pendapat mengkritisi dengan cara humor serta nggak bermusuhan.
Mungkin ada yang bilang "Ih Sltyhub jail banget di konten." Padahal orang yang gue roasting bakal gue DM. Itu salah satu pola yang kami bangun. Setelah di-roasting, langsung ada komunikasi. Makanya Sltyhub cenderung balesin comment dan DM walaupun nggak semuanya, ya. Roasting hanya terjadi di konten dan IG Story, tapi di DM kita semua teman. Gue pengen ngasih tahu budaya bahwa perbedaan pendapat itu bukan berarti bermusuhan. Kami bebas membicarakan fenomena apapun, mengkritik apapun dengan cara yang fun dan gue akan mengkritik balik. Polanya seperti itu terus.
Professional Hater, Part Time Observer, Full Time Trash-Talker: bisa dijelasin apa artinya?
Kata "professional hater" itu ada maknanya. Bukan berarti gue selalu membenci, justru gue profesional. Sesuatu yang profesional nggak pernah lari ke ranah privasi kan? Itu adalah bentuk gue menggambarkan rasa benci gue atas sesuatu tapi tidak secara personal. Nah itu salah satu pesan penting. Tapi orang kebanyakan mikir "professional hater" itu sama dengan selalu nge-hate apapun yang ada.
Kemudian "part time observer", sebenarnya gue pengen bilang bahwa yang gue observasi adalah gaya hidup anak muda secara umum. Kebanyakan orang mikir cuma fashion, padahal gue juga bahas soal keputusan sikap ekonomi mereka, kemudian gue juga mengamati industri kreatif dan semua hal yang berbau gaya hidup anak muda. Jadi sudah pasti bahas fashion, musik, community, art, semua itu gue amati. Jadi nggak ada batasan.
Apa yang paling gue benci? Kalau orang lain sadar, kritik gue itu lebih banyak pakai pendekatan ekonomi. Balik lagi ke motivasi awal gue tadi, bagaimana kebijakan anak muda dalam mengambil keputusan ekonomi. Contohnya kayak memilih pekerjaan, bagaimana menghabiskan uang, bagaimana membentuk gaya hidup. Itu semuanya memang di ranah ekonomi. Jadi itu yang paling banyak gue bahas secara umum.
Sltyhub tidak pernah membenci satu entitas. Gue tidak pernah menyebut nama individu ataupun community. Yang gue roasting itu fenomena. Fenomena itu kan dilakukan oleh entitas dan community. Itulah kenapa gue mengkritisi fenomena, bukan individu atau institusi. Dan secara umum fokus ke ekonomi.
Lu bisa dibilang benci sama hal-hal berbau hype?
Banyak orang salah kaprah waktu gue nge-roasting Nike Panda Dunk, adidas Samba, atau Salomon. Sebetulnya barang-barang tadi cuma tools buat kritik tindakan mereka. Contohnya beli Salomon buat riding the hype. Yang gue kritisi lebih ke arah motivasi orang untuk beli barang. Jadi bukan karena dia suka, tapi untuk sebagai alat mendapatkan pengakuan di masyarakat.
Jadi fashion kayak apa yang menurut Sltyhub itu keren?
Sebetulnya nggak ada. Yang keren itu yang nggak dipaksakan. Makanya kalau lu sadar, gue itu nge-roasting semua fashion. Sampai ada yang bilang, "Tidak ada yang benar buat Sltyhub". Itu menunjukkan gue tidak condong dengan satu tren tertentu. Bahkan sampai ada yang nanya sampai minta izin buat beli satu barang. Gue pasti bilang, "Boleh saja asal uangnya ada". Makanya menurut gue, fashion yang baik adalah fashion yang tidak memaksakan individu buat mendapatkannya. Cuma orang nggak menangkap itu, seakan-akan gue benci semua tren. Padahal yang gue benci lebih kepada bagaimana cara mereka buat mencapai tren fashion itu.
Apakah ada diskusi soal content di tim Sltyhub, semacam editorial plan gitu?
Nggak ada karena Sltyhub itu sangat personal. Bahkan sampai aspek penentuan caption dan deskripsi masih gue yang tentukan. Menurut gue ini humor yang sangat personal. Jadi yang lain lebih bertindak sebagai hal-hal teknis. Secara umum, semua ide dan arahan serta konsep itu masih ada di kontrol gue. Makanya Sltyhub terasa organik dan personal karena semuanya dari gue sendiri.
Gue suka nungguin komentar Sltyhub soal style orang di IG Stories. Memang semua yang nge-tag bakalan di-repost?
Kalau lagi normal, IG Stories yang masuk itu ada sekitar 70 sampai 120-an. Tapi ketika lagi peak, bisa sampai 300 sampai 400. Kami cuma nge-post semampunya sih. Misal ada yang nggak kami repost, bakalan kami DM terus bilang maaf karena nggak di-repost soalnya terlalu banyak. Gue juga kadang mentok buat nge-roasting mention dari mereka. Paling yang di-repost cuma 50-an per hari.
Sebenarnya lu sendiri kenal dengan orang-orang di industri fashion lokal?
Sebetulnya ada yang gue kenal beberapa, dan berinteraksi juga dengan mereka di kehidupan nyata. Tapi mereka nggak tahu kalau gue adalah orang di balik akun Sltyhub ini.
Dari mereka ada yang sempet sebel sama konten Sltyhub nggak? Mungkin karena menyinggung brand mereka sendiri.
Persentase orang-orang yang tersinggung dikit banget. Ada yang sempat marah tapi tidak secara terbuka, tapi memang sangat kecil. Kenapa kecil? Sltyhub memang tidak pernah menyebutkan nama institusi atau individu yang merepresentasikan sebuah kelompok. Jadi itu adalah taktik gue buat tetap menjaga batasan antara menyinggung secara tidak langsung dengan mengkritisi. Itulah cara psikologi gue bermain dengan mengkritik secara spesifik, tapi tidak menyebut sesuatu yang merepresentasikan kelompok. Gue yakin ada yang tersinggung, tapi mereka berpikir dua kali untuk konfrontasi. Karena kalau mereka confront, ya mereka mengamini hal itu.
Jadi lu main di ranah abu-abu?
Betul. Gue mendeskripsikan yang akan mengarahkan orang, tapi gue tidak menyebutkan objeknya. Gue biarkan imajinasi mereka bermain. Makanya gue bilang di awal, gue mengkritik fenomena. Mungkin satu fenomena bisa melambangkan lebih dari satu orang. Itulah yang berusaha gue sajikan di Sltyhub, sehingga yang dikritik lebih luas lagi.
Sltyhub sudah sampai ke 30 ribu lebih followers, dan pasti udah banyak brand mau tap-in. Apakah bakalan ngebuka kesempatan itu atau malah sudah ngelakuin duluan?
Kalau iklan sudah dibuka secara terbatas. Kenapa terbatas? Kami mengedepankan aspek hiburan karena secara audience, Sltyhub terlihat seperti komunitas, dibandingkan sebuah media atau kanal. Waktu gue mulai ngebuka iklan, gue berpikir gimana iklan ini nggak mengganggu aspek hiburan yang dirasakan audience. Makanya gue punya batasan yang cukup ketat. Salah satunya adalah iklan itu harus dijalankan berdasarkan ide yang kami tawarkan. Kami nggak mau ada placement yang cuma di-posting terus mereka bayar. Kami mau semua ide dan storytelling memang kami yang direct.
Jumlah iklan juga kami batasi walaupun tawarannya cukup banyak. Kami hanya menerima iklan maksimal lima dalam satu bulan untuk menjaga engagement iklan yang sejauh ini sudah sangat baik. Bahkan lebih baik dari konten reguler.
Apa challenge terbesar Sltyhub?
Mungkin gue bisa bilang belum ada. Sampai saat ini, Sltyhub masih 75% dijalankan dengan semangat senang-senang tanpa ada pressure. Jadi itu mungkin jadi alasan kenapa kami belum menemukan tantangan. Bisa aja nanti muncul kalau kami udah menjadikan Sltyhub sebagai pemasukan utama.
Dari gue pribadi, malah ada tantangannya untuk tetap anonymous. Karena secara nggak langsung ketika lu udah mulai naik secara perlahan dan popularitas makin besar dengan banyak godaan bisnis, ada keinginan buat melebarkan sayap.
Next project Sltyhub mau ngapain?
Pengen bikin website tapi belum selesai nih. Terus mau bikin channel YouTube karena saat gue bikin konten, sebenarnya itu mendalam. Tapi bagi orang mungkin hanya sebatas meme doang. Banyak orang yang belum paham ke situ. Jadi gue merasa punya tanggung jawab buat bikin konten jadi lebih clear dengan memindahkannya ke YouTube. Nantinya meme yang kami buat akan kami bedah di sana demi menghilangkan aspek "abu-abu" dan lebih clear.
Coba kasih statement tentang industri fashion lokal dari mata Sltyhub!
Secara umum sangat baik! Kita berkembang lumayan pesat di mana mereka berani ngasih harga tinggi dan itu pun laku. Masalahnya malah ada di dalam polarisasi figur-figur di dalam industri fashion lokal. Masih ada orang-orang yang saling bertolak belakang atau menolak satu sama lain. Contohnya brand A cuma mau collab dengan sesama circle-nya doang. Kolaborasi yang "beda banget" masih susah buat kita lihat.
Padahal sudah jelas fashion lokal jauh lebih berkembang. Minimal kalau mereka bisa berkompetisi dengan sehat, atau bahkan bersatu, pasti akan lebih oke lagi. Harus diakui, di sini masih sangat banyak drama yang muncul di antara sosok berpengaruh. Padahal perbedaan mereka masih sepele dan bisa dibicarakan. Semoga polarisasinya bisa dikurangi.
(tim/alm)