Mendekati tahun pemilihan umum (pemilu), media sosial kerap diisi oleh pemberitaan dan informasi seputar perpolitikan Indonesia. Saking banyaknya, kita pun mungkin sulit membedakan mana informasi yang benar dan mana yang hanya informasi palsu atau hoaks semata.
Maraknya penyebaran hoaks di tahun politik sudah menjadi langganan yang dimaklumi oleh masyarakat. Bukan hanya lewat media sosial, tapi sampai merambah ke aplikasi pesan personal seperti WhatsApp. Bagi kamu yang punya grup WhatsApp bersama keluarga, mungkin di antara anggota keluargamu ada yang rajin mengunggah link-link mengenai informasi politik yang belum jelas kebenarannya.
Bagi kita anak muda yang lebih memahami mana yang benar dan hoaks, emosi seringkali tersulut ketika harus menanggapi aksi para orang tua yang terlalu mudah percaya pada sumber informasi yang tidak jelas. Kalaupun punya perbedaan pandangan politik, ujung-ujungnya semakin "panas" dan adu argumen pun tidak bisa dihindari.
Bahkan sebuah riset terbaru menunjukkan pada Pemilu 2019 lalu, banyak grup WhatsApp keluarga yang beralih fungsi jadi wadah untuk berbagi berita tidak jelas dan hoaks yang kemudian berkembang hingga membuat keluarga terbagi menjadi dua opini.
Dikutip The Conversation, Kementerian Komunikasi dan Informatika menemukan pada triwulan pertama tahun 2023, media sosial sudah diisi oleh 425 isu hoaks yang menyebar di masyarakat. Angka ini lebih tinggi dibanding dengan triwulan pertama pada tahun sebelumnya yang mencapai 393 isu hoaks. Angka ini juga belum termasuk penyebaran hoaks melalui pesan personal.
Secara psikologis, orang-orang yang menerima informasi palsu pelan-pelan membangun keyakinan baru. Inilah yang mendorong beberapa orang bertindak lebih jauh dengan menyebarkan informasi yang belum tentu benar adanya kepada lebih banyak orang.
Penyebaran hoaks pada tahun politik berdampak pada rusaknya rasionalitas pemilih dan menurunnya kualitas penyelenggara pemilu. Lebih lagi, hubungan antar anggota keluarga bisa renggang hanya karena informasi yang belum tentu benar, hingga membuat polaritas pendapat pro-kontra yang ekstrem.
Ilustrasi chat grup WhatsApp keluarga/ Foto: Freepik |
Kenapa Orang Menyebarkan Hoaks?
Tak bisa dimungkiri, media sosial adalah wadah yang paling tepat untuk menyebarkan strategi marketing politik. Selain murah, jangkauannya pun lebih luas dan mudah diakses oleh siapa saja. Dengan kemudahan yang ditawarkan, orang-orang tidak bertanggung jawab yang menyebar informasi palsu pun semakin menjamur.
Ada dua pihak yang sengaja atau tanpa disadari menjadi penyebar hoaks. Pertama adalah mereka yang sengaja menyusun atau membuat berita palsu, dan yang kedua adalah pihak yang termakan berita palsu secara sukarela.
Dalam teori psikologi, ada yang disebut processing fluency effect, yaitu proses kognitif ketika individu lebih mudah merespons dan menerima berbagai informasi yang sederhana untuk dicerna karena tidak membutuhkan usaha lebih untuk memahaminya. Inilah yang membuat seseorang termotivasi untuk berbagi informasi yang diterima-apa pun konteksnya.
Menurut seorang profesor psikologi di Amerika Serikat, Daniel Kahneman, ada 2 sistem dalam kognitif manusia yang membuat mereka kurang mampu memfilter informasi. Sistem 1 menghasilkan respons yang lebih cepat dan intuitif, lalu sistem 2 membutuhkan analisis lebih mendalam, evaluasi, dan pemikiran yang lebih lambat.
Hadirnya informasi palsu yang dibuat semenarik mungkin membuat seseorang bergerak hanya dengan sistem 1 saja dan sistem 2 tidak digunakan sama sekali. Hal ini menunjukkan banyaknya individu yang berketerampilan rendah untuk melakukan verifikasi berita atau menelaah informasi yang kritis.
Mereka hanya menggunakan sistem 1 mudah percaya dengan berita viral lalu menyebarkannya tanpa melalui sistem 2 alias tidak mengkritik atau menganalisis kebenarannya. Ini diperparah jika informasi yang tersebar punya kaitan dengan identitas pengirim atau penerima. Pengaruh identitas dan afiliasi kelompok inilah yang bisa mempengaruhi sejauh mana seseorang percaya berita hoaks.
Ilustrasi WhatsApp/ Foto: Freepik |
Tanggapi Hoaks dengan Santai
Salah satu tantangan meminimalisir hoaks di tahun pemilu adalah kurangnya motivated reasoning pada setiap pendukung politik. Penalaran motivasi membuat seseorang lebih mungkin percaya informasi palsu sejalan dengan pandangan mereka saja, karena itu akan memperkuat apa yang mereka percayai selama ini.
Afiliasi kelompok seperti dukungan pada salah satu kandidat pada akhirnya akan berperan membangun kepercayaan seseorang. Kalau ada anggota keluargamu yang menolak mengakui informasi yang disebarnya adalah hoaks, hal ini bisa jadi bukan karena mereka tidak paham, namun mereka telah mengalami bias terhadap kandidat yang didukung.
Ditambah lagi, penyebaran hoaks berasal dari rendahnya literasi media dari generasi sebelumnya. Sebuah studi mengungkapkan perspektif generasi tua belum mampu memaksimalkan pemahaman terkait informasi yang tersebar, sehingga berita hoaks mudah berkembang-terutama dalam topik politik dan agama.
Oleh sebab itu, kita yang sudah melek media, agaknya harus lebih santai menanggapi gencarnya arus pemberitaan palsu di grup WhatsApp keluarga. Mungkin para orang tua yang ada di grup WhatsApp keluarga kurang mampu memahami situasi sebenarnya. Jadi cara yang bisa kamu lakukan ketika mendapati informasi hoaks ini adalah membantu mereka memahami metode verifikasi fakta, pengenalan sumber berita terpercaya, dan pemahaman tentang berbagai taktik manipulatif yang digunakan oleh berita palsu.
Misalnya, orang tuamu memberikan link yang tidak jelas sumbernya, cobalah cari sumber terpercaya yang menunjukkan informasi yang benar dari hoaks tersebut. Selain itu, hindari untuk terprovokasi karena tujuan hoaks memang memecah belah pendapat masyarakat menjadi kubu-kubu yang dimulai dari kelompok terkecil, yakni keluarga kita.
(DIR/alm)