Perkenalan saya dengan sosok musisi bernama Candra Darusman sebenarnya tidak sampai sepertiga umur saya. Tepatnya circa 2017-2018 ketika saya sedang nonton TV lalu melihat salah satu iklan bank dengan backsound lagu "Pemuda" yang dinyanyikan oleh Chaseiro, grup pertama dan yang menjadi fondasi kuat dari karya-karya Candra Darusman di blantika musik Indonesia. Dari sana, saya mulai memerhatikan karya-karyanya secara garis besar-hanya mengetahui lagu-lagu hits saja, tapi setidaknya tahu bahwa ia adalah seorang legenda musik bersama Chaseiro, Karimata, dan dalam karier solonya.
Long story short, saya berkesempatan untuk ngobrol langsung dengan Candra Darusman setelah ia terpilih sebagai Person of the Month April 2023 persembahan CXO Media. Perasaan starstruck cukup terasa saat saya menjabat tangannya di lobby kantor-lalu semuanya menjadi lebih seru ketika kami berdua duduk bersama layaknya seorang host dengan bintang tamu.
"Saya lagi sibuk di organisasi musik untuk bantu para musisi untuk melindungi hak cipta, hak profesi, dan hak ekspresi sebagai penghargaan di dunia musik. Jadinya sibuk di FESMI dan AMI," ucap Candra Darusman saat menjawab pertanyaan basi-basi sedang sibuk apa. "Untuk musik masih sesekali karena takutnya bosan juga kalau di organisasi. Masih suka main musik dan manggung tapi nggak sebanyak dulu."
Kekuatan musik Candra Darusman memang sudah dibangun secara pelan tapi pasti oleh lingkungannya sendiri. Sang ayah sering memutarkannya vinyl lagu jazz, klasik, hingga musisi seperti The Beatles dan Stevie Wonder. Perkenalan musik yang tepat membuat Candra Darusman mencintai musik jazz yang menurutnya adalah musik demokratis.
"Karakteristik dari sebuah grup jazz itu masing-masing player bisa improvisasi dan berekspresi. Kalau satu pemain lagi improv, yang lain mendengarkan. Seperti sistem demokrasi, maka semua mendengarkan," tegasnya. Perumpamaan yang unik tapi masuk akal ini membuat saya mengerti bahwa latar belakangnya membuat Candra Darusman memiliki cara berpikir kritis yang akhirnya membawa ia terjun langsung ke dalam sistem pengurusan hak cipta dan royalti di Indonesia.
Candra Darusman dan Perjuangan Keseimbangan Industri Entertainment Indonesia
Saat ini Candra Darusman menjadi ketua FESMI (Federasi Serikat Musisi Indonesia) yang merupakan satu kolektif besar dari kumpulan sembilan serikat musik di daerah. Bersama FESMI, ia memperjuangkan kesejahteraan musisi yang jarang bisa dilihat oleh masyarakat luas.
"Musisi itu kan profesi, nah kita harus memikirkan kerjanya, keselamatan kerjanya, masa depan kerjanya. Kalau ada kecelakaan kayak lagi manggung di cafe, mereka kami ajak buat gabung ke BPJS supaya dilindungi. Masa depannya pun juga harus diperhatikan," jelasnya yang juga ingin tidak ada lagi kasus PHK secara sepihak dari para musisi cafe dan harus diperhatikan jam kerja serta honor minimumnya.
Perjuangan Candra Darusman tidak berhenti di situ. FESMI juga memerhatikan hak cipta dan royalti dari jutaan karya yang ada di tanah air. "Kami mendorong semua lembaga itu bekerja dengan baik dan mengumpulkan royalti secara transparan. Memang nggak secara langsung, tapi tetap memperjuangkan soal hak cipta juga," tambahnya.
Bicara tentang hak cipta dan royalti di Indonesia memang lebih banyak berita buruk daripada berita manis. Beberapa musisi sempat terang-terangan tidak merasa puas dengan hasil kerja pengumpulan royalti di sini. Candra Darusman pun melihat itu sebagai suatu hal yang wajar. Memang, pengumpulan royalti dari tahun ke tahun terus naik, tapi kendala di sisi luasnya wilayah Indonesia serta transparansi menjadi dua penghambat paling besar.
Sialnya lagi, kesadaran masyarakat untuk membayar royalti dan menghormati hak cipta juga masih sangat minim. Contohnya ketika ada musisi yang menyanyikan lagu musisi lain, maka yang harus bayar royalti bukanlah mereka, melainkan penyelenggara. "Temen-temen musisi sampai suka menelpon saya karena mereka pikir mereka yang harus bayar. Padahal harusnya dikasih tahu ke pemilik cafe kalau mereka yang harusnya bayar royalti dulu. FESMI berusaha menyediakan forum untuk musyawarah untuk masalah seperti ini," ujar Candra Darusman.
Tapi masih banyak yang bandel kan?
Masih banget, makanya LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) harus giat. Kemudian, soal penegakan hukum juga tidak mudah. Polisi pun harus mempelajari undang-undang royalti dan hak cipta dulu. Untungnya makin banyak polisi yang semakin paham soal undang-undang ini.
Om Candra sendiri juga membuat buku berjudul Perjalanan Sebuah Lagu (2018) yang memiliki bab membahas hak cipta dan royalti. Bagaimana respon dari kalangan musisi dan masyarakat?
Nah, musisi muda melihat informasi dalam buku ini dengan baik ya. Karena di buku itu nggak cuma hak cipta aja, tapi juga perjalanan sebuah lagu-dari membuat lagu, melindungi lagu, dan memasarkan lagu. Walaupun setiap orang ada jalan hidup berbeda-beda, tapi buku itu bisa jadi referensi mereka.
Kira-kira apakah pengurusan hak cipta dan royalti di Indonesia bisa seperti negara Amerika Serikat atau Jepang?
Sejarah hak cipta di indonesia memang belum lama, mungkin sejak tahun 1982 baru ada undang-undang hak cipta. Itu sejarah yang terlalu singkat untuk bisa diterima dan dipahami masyarakat. Sedangkan di AS sudah ratusan tahun. Kita masih proses ke sana dan harus lebih aktif lagi.
Masa Lalu yang Kuat, Masa Kini yang Manis, Masa Depan yang Dinanti
Perjuangan Candra Darusman untuk menciptakan keseimbangan industri entertainment Indonesia sebenarnya hanya mengulang apa yang ia lakukan pada masa lalu. Bagi yang belum tahu, festival Jazz Goes To Campus (JGTC) merupakan karyanya saat masih kuliah di Universitas Indonesia, dan kini sudah memasuki umur 46 tahun.
Saya pun penasaran kenapa JGTC bisa terus relevan hingga kini. Ternyata resepnya sederhana. "Sebenarnya mulainya nggak terlalu susah karena kami nggak ada benchmark pada saat itu. Kemudian di tahun '77-78 para musisi jazz yang kami undang tuh senang banget main di kampus di depan mahasiswa yang apresiatif. Padahal panggungnya sederhana, tapi emosional dan komunikasi ke telinga dan hati penonton tuh langsung dapat banget. Terus tetap berlanjut dari tahun ke tahun, tapi yang jadi benang merahnya itu mahasiswa yang tiap tahun konsisten untuk menyelenggarakan JGTC," tegasnya.
Semangat yang terus dibawa JGTC pun juga diakui Candra Darusman sebagai salah satu formula untuk mendukung bangsa dalam membentuk karakter karena semuanya dimulai dari empat hal: disiplin, tepat waktu, konsisten, dan tekun. Melalui empat hal tersebut yang terus dilakukan oleh banyak orang, maka musik mampu membuat bangsa ini memiliki mental dan pikiran yang terbentuk secara kuat sekaligus berkarakter.
Melihat perjuangan masa kini yang dilakukan Candra Darusman sekaligus masa lalu yang juga sama kuatnya, maka yang patut ditunggu adalah masa depan. Baginya, perjuangan untuk mendukung penegakan hak cipta dan royalti saat ini cenderung lebih sulit lagi. "Zaman dulu bisa gampang diurus polisi [untuk pembajakan CD dan kaset], tapi sekarang butuh keahlian teknologi yang jauh lebih kompleks. Di sinilah industri musik bisa bikin website download yang legal supaya jadi pilihan serta didukung campaign untuk meningkatkan awareness masyarakat biar makin banyak yang sadar [untuk tidak illegal downloading]," tegas Candra yang baru saja sempat merilis ulang album debutnya, Indahnya Sepi dalam format vinyl.
Baru-baru ini om Candra juga ngerilis vinyl album debut Indahnya Sepi. Kenapa vinyl sih om?
Indahnya Sepi ini dirilis tahun 1981. Saat itu saya umur 22-23 tahun di kampus, lalu saya dapat kesempatan ngerekam 12 lagu dan itu ada lagu "Kau" yang jadi single utama. Kemudian oleh Demajors dibuat versi vinyl-nya. Ternyata yang beli banyak anak muda hahaha. Kenapa vinyl? Karena lagi tren ya. Kalaupun nggak ada turntable-nya pun, mereka bisa beli buat koleksi.
Selain Indahnya Sepi, lagu "Pemuda" dari Chaseiro juga jadi bagian penting dari perjalanan Candra Darusman. Bagaimana proses terciptanya lagu itu?
Waktu itu saya diundang oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Di sana saya bikin lagu ini. Sebenarnya judul aslinya itu "Wartawan". Jadi, kalau dinyanyiin: "Wartawan, ke mana langkahmu menuju..." Dari segi liriknya sebenarnya mengkritik wartawan. Tapi kalau saya mengkritik mereka, nanti malah di-blacklist lagi. Jadi ya sudah saya ubah "Wartawan" jadi "Pemuda". Lalu saya dan Chaseiro menang sebuah festival, akhirnya kami diajak rekaman ke Musica. Di situlah kami ngerekam album Pemuda termasuk lagu "Wartawan". Waktu itu juga lagi ada pergerakan mahasiswa jadi sekalian aja merepresentasikan itu.
Jadi di tahun 2023, apa rencananya selanjutnya dari om Candra di musik dan FESMI?
Saya merasa umur seperti saya ini mencari anak muda yang bisa meneruskan apa yang saya lakukan. Sekarang saya mau kasih perjuangan ini ke anak muda selanjutnya. Selain itu juga bikin musik sedikit sekaligus main sama cucu. Pengen sih bikin album yang bercorak akustik tapi latin bossanova yang beneran live. Sudah ada, tapi belum dijadwalkan saja.